JAKARTA -- Pemerintah diminta membuat data valid terkait jumlah masyarakat miskin yang akan menerima bantuan. Hal ini untuk mencegah praktik korupsi dalam penyaluran bantuan sosial.
"Saya bilang pemerintah belum siap. Hal itu dapat dilihat dari segi data dan metode dalam memberikan bantuan sosial," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti pada webinar bertajuk, Polemik Pengelolaan Dana Filantropi, yang dipantau di kanal YouTube, Jakarta, Sabtu (9/7/2022).
Menurut Bivitri, ketidaksiapan tersebut dapat dilihat dari kasus korupsi di Kementerian Sosial yang menjerat Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Belakangan, katanya, cukup banyak kritik terkait data kurang valid mengenai jumlah masyarakat miskin yang wajib dibantu.
Ia menyampaikan sarden tidak layak konsumsi yang merupakan bantuan sosial covid-19 dan disalurkan Kementerian Sosial adalah contoh dari ketidaksiapan tersebut. Pada akhirnya, katanya, uang negara yang digelontorkan dalam jumlah besar sia-sia. Bahkan, dikorupsi beberapa orang, termasuk Menteri Sosial pada saat itu..
Bivitri menilai birokrasi di Tanah Air juga kurang cepat menanggapi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, bencana alam, dan lain sebagainya. Bahkan, berbagai lembaga kemanusiaan atau filantropi lebih sigap menanggapi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
"Sebelum peristiwa ACT meledak, kita melihat kecepatan dari filantropi ini termasuk Dompet Dhuafa, Palang Merah Indonesia (PMI) dan lainnya lebih cepat bereaksi membantu masyarakat," ujarnya.
Kecepatan dari lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut karena tidak ada birokrasi yang panjang sebagaimana di instansi pemerintah. Bivitri menyebut panjangnya birokrasi di pemerintah tidak lepas dari keharusan karena ada kekhawatiran temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika tidak hati-hati.
"Itu benar. Tapi kan birokrasi fleksibel untuk menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya darurat?," katanya.
#src/azf