Oleh: MH SAID ABDULLAH *)
BENCANA seolah silih berganti. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang tahan banting, kata Bung Karno. Bencana alam bukanlah hal baru. Jauh sebelum peradaban modern dengan dukungan iptek yang kita kuasai saat ini, nenek moyang kita telah mengakrabi beragam bencana alam.
PVMBG Kementerian ESDM mencatat Indonesia adalah negeri dengan jumlah gunung terbanyak ketiga di dunia. Dari total 139 gunung, 127 di antaranya adalah gunung berapi aktif. Dan yang paling aktif sebanyak 69 gunung. Indonesia juga memiliki 295 patahan gempa yang menjadi pemicu gempa dan tsunami.
Selain dua faktor mayor di atas, bencana seperti tanah longsor, banjir bandang, banjir rob, badai angin, dan hujan es adalah sederet bencana lainnya yang disebabkan alam dan cara kita mengelola alam ini.
Dunia telah berkomitmen untuk mengurangi bencana iklim dan Indonesia terikat di dalamnya sejak kita meratifikasi Protokol Kyoto dan Paris Agreement. Termasuk berbagai kesepakatan terbaru pada COP26 di Glasgow pada Oktober lalu.
Pengurangan Risiko Bencana
Peristiwa alam seperti gunung meletus, gempa, tsunami, banjir, dan badai angin hanya akan menjadi peristiwa alam bila tidak ada korban. Bila ada korban, baik luka, meninggal, maupun kerugian harta benda, akibat peristiwa alam ini, bisa kita sebut bencana alam. Tugas pemerintah dan segenap pihak, termasuk kita seluruh rakyat, adalah mengurangi dan menghindarkan adanya korban atas peristiwa alam tersebut.
Jika kita membaca sajian data postur bencana oleh BNPB dari rentang Januari–Oktober 2021, telah terjadi 2.208 bencana alam. Sebanyak 894 bencana banjir (40,4 persen), 589 angin puting beliung (26,6 persen), 406 tanah longsor (18,3 persen), serta 258 kejadian tanah longsor (11,6 persen). Untuk gempa bumi sebanyak 26 kejadian (1,1 persen) dan gelombang pasang serta abrasi 22 kejadian (0,9 persen).
Jika kita lihat wilayah kejadiannya, bencana di sepanjang tahun 2021 sebanyak 976 (44,2 persen) kejadian terjadi di Pulau Jawa. Bencana di rentang Januari–Oktober 2021 menelan korban 549 orang meninggal, 74 orang hilang, serta 134.621 unit rumah dan 3.597 unit fasilitas umum mengalami kerusakan.
Sedemikian besar dampak bencana yang kita terima setiap tahun, kerugian materi dan imateri terus terjadi. Urusan mengurangi dampak risiko bencana tidak bisa kita tunda dengan pertimbangan apa pun.
Kebencanaan harus menjadi pertimbangan strategis dalam kita menyusun rencana dan melaksanakan pembangunan.
Sejujurnya, pembangunan kita masih dipandu watak ekonomi semata. Bila membiarkan praktik ini terus berlangsung, kita akan memanen bencana dengan ongkos yang lebih besar.
Mari kita bandingkan total kerugian ekonomi antara gempa di Jepang tahun 2011 dan Aceh 2004. Dari peristiwa alamnya, gempa dan tsunami Aceh jauh lebih dahsyat skalanya. Namun, karena lokasi kejadiannya di Jepang sebagai pusat ekonomi, nilai kerugian ekonominya jauh lebih besar.
Pemerintah Jepang menaksir gempa dan tsunami 2011 mengakibatkan kerugian hingga USD 309 miliar. Sementara taksiran kerugian ekonomi tsunami di Aceh 2004 mencapai Rp 51,4 triliun atau setara USD 3,5 miliar. Artinya, semakin maju pembangunan kita, tetapi minim mitigasi risiko bencana, kerugian ekonomi akibat bencana makin besar.
Anggaran Terpadu
Perusahaan reasuransi Swiss Re mencatat nilai kerugian akibat bencana global pada semester pertama 2021 sebesar USD 77 miliar (setara Rp 1.107 triliun) dan sebanyak Rp 1.064 triliun di antaranya akibat bencana alam serta Rp 43 triliun akibat man made disaster. Di Indonesia kerugian akibat bencana alam sesuai data Kementerian Keuangan mencapai rata-rata Rp 22,8 triliun per tahun.
Khusus untuk bencana gempa bumi dalam sejarah kebencanaan kita mencatatkan kerugian ekonomi paling besar. Tsunami di Aceh pada 2004 menjadi bencana penyumbang terbesar kerugian negara Rp 51,4 triliun. Selanjutnya gempa Jogjakarta 2006 sebesar Rp 29,15 triliun, gempa Padang 2009 (Rp 28,5 triliun), gempa dan tsunami Sulteng pada 2018 (Rp 23,1 triliun), dan gempa NTB 2018 (Rp 18,2 triliun).
Besarnya nilai kerugian ekonomi yang kita terima dari bencana membutuhkan perhatian serius pemerintah dan dukungan banyak pihak. Kemampuan APBN tidaklah cukup besar. Pada 2021 anggaran penanganan bencana hanya Rp 4,1 triliun dan 2022 mencapai Rp 5 triliun dari cadangan bencana (bansos) dan cadangan penanggulangan bencana lain-lain Rp 4 triliun. Selebihnya anggaran penanggulangan bencana yang ada di masing-masing APBD yang besarannya ditentukan oleh tiap-tiap pemda.
Saya memberikan apresiasi dan dukungan ketika Presiden Jokowi menerbitkan Perpres 75/2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana. Pengumpulan dana bersama ini dikelola Menkeu yang bersumber dari APBN, APBD dan sumber dana lainnya.
Untuk mengembangkan dana bersama ini, Menkeu dapat menginvestasikan ke berbagai instrumen investasi, baik jangka pendek maupun panjang, dengan penuh kehati-hatian dan akuntabel.
Melalui pengelolaan dana bersama ini kita dapat melakukan kerja gotong royong dan memudahkan pencatatan, pengelolaan, serta distribusi anggaran bencana. Langkah ini sekaligus menjadi ukuran kesiapsiagaan anggaran bencana yang kita miliki secara nasional. Kita berharap pengumpulan dana bersama ini memang tidak hanya bertumpu pada APBN dan APBD. Kita berharap dukungan perusahaan swasta nasional dan asing serta berbagai lembaga internasional.
Idealnya di sana bersama untuk penanggulangan bencana ini minimal sejumlah rata-rata kerugian akibat bencana alam tiap tahunnya. Tetapi, bila kita menggunakan ”rumus” korporasi, jumlah ideal dari emergency fund adalah sebanyak enam kali dari pendapatan perusahaan tiap bulannya.
*) Penulis adalah Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Banggar DPR RI)