JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menyunat hukuman mantan Bupati Kepualuan Talaud, Sri Wahyumi Manalip dari 4,5 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara. MA mengakui hukuman itu di bawah ancaman minimal yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi (tipikor) yaitu minimal 4 tahun penjara. Apa alasan MA?
Pasal 12 UU Tipikor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi:
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sedangkan Pasal 12A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2)Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
"Bahwa oleh karena ancaman pidana pada Pasal 12 a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, maka penerapan hukum yang dikenakan terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana hendaknya tidak mengorbankan prinsip keadilan, untuk itu Mahkamah Agung mempertimbangkan menerapkan pasal a quo secara contra legem (penerobosan hukum) dengan mengurangi pidana yang akan ijatuhkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana seperti yang akan dikemukakan di bawah ini," demikian pertimbangan majelis PK dalam putusannya yang dilansir website MA, Rabu (9/6/2021).
Sidang pemberian vonis itu diketuai Suhadi dengan anggota Eddy Army dan M Askin. Penerobosan itu karena barang yang akan dijadikan suap itu diamankan KPK duluan, sebelum sampai ke eks bupati cantik tersebut. Sehingga delik gratifikasi belum terpenuhi. Barang itu adalah:
1. Tas tangan merek Balenciaga seharga Rp 32.995.000.
2. Tas tangan merek Chanel seharga Rp 97.360.000
3. Jam tangan merek Rolex seharga Rp 224.500.000
4. Cincin merek Adelle seharga Rp76.925.000
5. Anting merk Adelle seharga Rp 32.075.000.
"Ternyata dan terbukti Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana sama sekali belum menerima barang-barang tersebut. Jangankan menerimanya, ternyata Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana sama sekali belum pernah melihat barang-barang tersebut, karena Bernard Hanafi Kalalo dan Benhur Laenoh sebelum menyerahkan barang dimaksud terlebih dahulu telah ditangkap petugas KPK di Hotel Mercure - Jakarta," ujar majelis PK.
Suap itu dari Benhur guna memuluskan langkah Bernard dalam memenangi lelang proyek revitalisasi Pasar Beo dan revitalisasi Pasar Lirung di Talaud tahun anggaran 2019. Benhur diminta Sri Wahyumi menawarkan sejumlah proyek kepada swasta dengancommitment fee10 persen kepada Sri Wahyumi. Dari situ, sejumlah aliran suap yang diterima Sri Wahyumi, beberapa di antaranya diberikan melalui Benhur.
Eks bupati cantik itu akhirnya bebas pada April 2021. Namun dalam hitungan jam, Sri ditangkap KPK lagi karena diduga menerima gratifikasi Rp 9,5 miliar terkait dengan proyek infrastruktur.
"KPK meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan sejak September 2020 dan menetapkan tersangka SWM (Sri Wahyumi Maria Manalip) sebagai tersangka," ucap Deputi Penindakan KPK Karyoto dalam konferensi pers, Kamis (29/4/2021).
#dtc/bin