Oleh: Yohandri Akmal #


SEBELUMNYA perkenankan saya menyerukan jargon "satu pena!" untuk seluruh insan pers Indonesia. Semoga selalu mendapat perlindungan dari Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam menjalankan aktifitas.

Tulisan ini dibuat berdasarkan Pancasila, UUD 1945, kearifan pikiran, kondisi sosial, kode etik jurnalistik, pengalaman, keimanan dan kemanusiaan. Maka dari itu, diharapkan mampu memperbaiki keadaan bila rusak atau semakin berpartisipasi terhadap situasi pers nasional pada kurun waktu beberapa tahun ke belakang, saat ini hingga waktu-waktu mendatang.

Dasar Pancasila & UU 1945

Pers adalah penopang pilar demokrasi. Apabila ia lumpuh, maka wajib diselamatkan agar tetap kokoh.

Akses informasi melalui media massa musti sejalan dengan asas demokrasi, yakni adanya transformasi terbuka serta disebarkan secara merata. 

Dalam peranannya, pers perlu menjunjung kebebasan yang independen menyampaikan informasi secara jujur dan berimbang. Tentunya demi demokrasi, keadilan dan kebenaran. Tujuannya, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kearifan Pikiran

Oleh sebab itu, penting untuk difahami bahwa masing-masing perusahaan media berhak bernaung di bawah lembaga pers mana saja di Indonesia, baik perihal stempel verifikasi maupun sertifikasi media. 

Makanya, menjatuhkan pilihan ke Dewan Pers Indonesia (DPI) atau Dewan Pers (DP) merupakan hak prerogatif tiap-tiap perusahaan pers. Artinya, tidak boleh terpengaruh oleh tekanan sebagian kecil organisasi pers yang membuat kebijakan suka-suka.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini sudah banyak perusahaan pers yang mendaftarkan medianya ke Dewan Pers Indonesia atau DPI melalui proses wajar, yaitu “Sertifikasi.”

Kian hari, semakin banyak perusahaan media menjadikan DPI sebagai "rompi pelindung" insan pers, karena kebersamaan yang tercipta merupakan kekuatan bahkan telah mendapat pengakuan dari sejumlah tokoh dan praktisi pers. Sehingga, DPI memperoleh kepercayaan publik, khususnya kalangan pers negeri ini.

Selan itu, upaya mewujudkan keadilan pers secara merata yang hingga kini terus digaungkan oleh DPI bersama konstituennya, telah banyak menghasilkan perubahan positif. Baik tentang keberlangsungan dunia pers Indonesia, maupun pencapaian kemajuan perusahaan media. Fakta, wajar ketika DPI menerima banyak apresiasi dari insan pers tanah air.

Dengan demikian, sudah seharusnya setiap elemen penting negeri ini mensupport Dewan Pers Indonesia. Sebab peran DPI dalam membangun bangsa ini sangatlah besar. Sehingga, keberlangsungan kehidupan pers dekat dengan kesejahteraan.

Sebagai lembaga pers yang profesional, berakal sehat dan berkeadilan, DPI dalam mengambil kebijakan pasti mendukung ruang gerak perusahaan pers dan insan pers untuk berkembang. Ini kembali ke tujuan dasar DPI, yakni memperbaiki bukan merusak.

Di sisi lain, setiap insan pers tentunya  menginginkan lembaga pers seperti DPI yang terus berkiprah dalam memikirkan keberlangsungan perusahaan pers serta kesejahteraan kehidupan insan pers. Contohnya, beberapa waktu lalu ketika DPI melalui konstituennya turun langsung membela wartawan mengalami diskriminasi dan kriminalisasi.

Ketua Umum DPI, Hence G Mandagi yang dikenal vokal dalam membela insan pers di berbagai pelosiok tanah air, mengungkap perihal keganjilan verifikasi wartawan yang dipakai oleh perusahaan pers. 

“Dalam Peraturan Dewan Pers (DP) tentang Standar Perusahaan Pers yang baru, ada pasal nan mengatur bahwa Pemimpin Redaksi media harus bersertifikat Wartawan Utama (UKW Utama). Jika dasar hukum ini dipakai, tentunya sangat bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan,” katanya.

Karena menurut Hence, peraturan DP tentang Standar Perusahaan Pers yang mengatur verifikasi media diantaranya ada yang menyebutkan tentang UKW Utama, tidak boleh digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan. Alasannya, disinyalir berseberangan dengan UU.

Pelaksanaan UKW yang dilakukan Dewan Pers melalui Lembaga Sertifikasi Profesi yang lisensinya ditetapkan sendiri secara sepihak oleh Dewan Pers, juga bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 257).

Ini artinya UKW yang dilaksanakan oleh Dewan Pers cacat hukum, karena pelaksananya adalah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang lisensinya bukan dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP. Demikian ungkap Hence.

Selain itu, standar kompetensi yang digunakan DP, tidak memenuhi Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (KKNI) yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Seharusnya, wartawan yang belum punya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), dibuat mengacu pada pedoman pembuatan standar kompetensi yaitu KKNI. 

Dasar SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan.

“Peraturan DP itu bukanlah bagian dari peraturan perundangan. Jadi, DP tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sah tidaknya perusahaan pers. Sebab UU Pers hanya mengatur bahwa keabsahan perusahaan pers adalah berbadan hukum. Perlu difahami, verifikasi media DP adalah bentuk SIUPP dari Departemen Penerangan di masa Orde Baru yang sudah dibubarkan karena membelenggu kemerdekaan pers. Media yang tidak terverifikasi DP, tidak menjadi masalah sepanjang media tersebut juga sudah tersertifikasi di Dewan Pers Indonesia melalui organisasi pers konstituen DPI,” papar Hence G Mandagi.

Artinya, dalam pemaparan di atas, dapat disimpulkan pelaksanakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) harus mengantongi lisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Hal memalukan bila memaksakan kehendak tanpa syarat, semoga dimengerti.

Ada baiknya apabila sertifikasi maupun verifikasi perusahaan pers dan uji kompetensi wartawan (UKW) cukup sebatas pendataan pendukung. Sebab, belum tentu hal tersebut sepenuhnya bisa menjadi tolak ukur perilaku dan kemampuan objek data. Jadi, dalam memfilter praktisi pers profesional dengan non-profesional tidaklah segampang yang dilakukan.

Di sisi lain, Hence menambahkan bahwa Belanja Iklan Nasional mencapai Rp150 triliun pertahunnya. Sedangkan gaji wartawan di Indonesia masih banyak yang di bawah UMP. Jika dibandingkan dengan kontributor di salah satu televisi di London dan bertugas di China, penghasilan wartawan di Indonesia jauh sangatlah minim. Pendapatan perbulan kontributor televisi asal Inggris tersebur minimal Rp.50 jutaan (bila dirupiahkan) dan itupun bisa mencapai Rp.75 juta jika dia rajin melakukan peliputan. 

Andai saja Indonesia bisa seperti itu, alangkah terhormatnya insan pers. Atau menunggu es Kutub Utara mencair dulu untuk mengangkat harkat dan martabat pers? 

Belanja iklan media tiap tahun tidak kurang dari Rp150 triliun, namun sayang sekali, hanya dimonopoli oleh beberapa media besar. Parahnya lagi, wartawan masih saja digaji sangat rendah.

“Saatnya bangkit dan perjuangkan belanja Iklan nasional agar bisa terdistribusi ke daerah. Ayo insan pers bangun dari tidur panjangmu! Dewan Pers Indonesia siap menampung aspirasimu dan mari kita berjuang bersama karena kita pasti bisa!”, seru Hence G Mandagi.

Kondisi Sosial

Salah seorang pemerhati pers Sumatera Barat, H. Burhanuddin, S.Sos, MH, mengatakan, pekerjaan pers bertujuan untuk memperkuat negara.

“Bekerja sebagai pers, haruslah dari perintah hati sebelum menuangkannya pada setiap ketikan yang ditulis. Sebab, perintah hati itu berbeda dengan perintah pelaksanaan. Jadi, bila hati sudah sejalan dengan pelaksanaan kerja pers, maka rakyat akan mendapatkan informasi yang benar dan negara bertambah kuat,” ungkapnya.

Menurut Burhanuddin, masyarakat semestinya berperan dalam mempelopori pers dan itu sudah banyak ditemukan dalam hasil riset. Selain itu, publik pasti mendambakan tuangan tinta yang berani menyuarakan keadilan untuk rakyat.

“Pers adalah corong penyejuk, lembut ketika dirasa dan nyaman ketika dibaca. Kritikan berimbang dengan menghargai hak asasi seseorang melalui sentuhan pemaparan tulisannya, adalah salah satu peran (fitrah) profesi jurnalistik. Kerja pers harus bertanggung jawab kepada publik, “ tutup Burhanuddin.

Kode Etik Jurnalistik

Selain mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, lembaga pers seyogianya dapat menerima, memproses pengaduan serta menindaklanjuti informasi dari pengadu menyangkut dugaan adanya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. 

Dalam hal ini lembaga pers harus bijak, profesional dan mampu mengkaji secara keseluruhan terkait pemberitaan yang disengketakan. Jangan asal mengeluarkan “Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi” tanpa kajian nan berkeadilan, sehingga mengakibatkan teradu (wartawan) berpeluang dipidanakan.

Lembaga Pers berkeharusan pula melindungi insan pers. Selain itu, lembaga pers ketika melakukan penilaian karya tulis wartawan yang diduga melanggar Kode Etik Jurnalistik, janganlah merasa seperti “Pahlawan”, namun mengambil keuntungan di balik perjuangan insan pers yang melakukan kontrol sosial.

Jelasnya, jikalau setiap laporan pengadu ke lembaga pers ditanggapi lalu berujung menyudutkan teradu (wartawan) tanpa kajian yang profesional, tepat dan adil, maka dipastikan akan membuka celah perilaku diskriminasi, kriminalisasi dan pembungkaman terhadap kerja pers. Dapat dipastikan pula bahwa fungsi kontrol sosial pers sebagaimana amanahkan oleh UU, berakhir mati suri.

Memang tidak pula dipungkiri kalau terkadang ada ditemukan ketidakberimbangan karya tulis seorang wartawan, terlebih pada kategori berita investigasi atau investigating report, sehingga berujung dilaporkannya si wartawan dengan tuduhan pencemaran nama baik atau melanggar UU ITE jika berita yang dipersoalkan dipublikasi di media online.

Maka dari itu, seorang pekerja pers dalam melaksanakan peran kontrolnya, selain mengacu pada Kode Etik Jurnalistik, harus diimbangi dengan akhlak. Apabila sebaliknya, maka pelanggaran etika akan terjadi, baik pada pemberitaan maupun pelaksanaannya.

Pengalaman

Berkaitan investigating report, saya punya pengalaman pribadi. Mulai 2016 hingga sekitar dua tahun berjalan, pemberitaan saya secara berkelanjutan mengupas berbagai indikasi penyimpangan yang mengarah pada dugaan korupsi pada sebuah sebuah perusahaan besar di Provinsi Sumatera Barat. Saya jalankan fungsi kontrol tanpa ada kata menyerah.

Pada setiap kali pengupasan, saya berusaha untuk selalu berpijak pada kehati hatian. Teknik penulisan saya lakukan secara safety dalam koridor keberimbangan dan berpedoman pada kode etik jurnalistik. Saya menyadari pemberitaan investigasi identik dengan resiko. Meski begitu, kebenaran harus disuarakan.

Pendapat teman yang menjadi tandem saya waktu itu, berita investigasi merupakan produk berita yang memuat tentang bagaimana suatu kasus diselidiki, termasuk dalam bentuk komunikasi jurnalistik. Pemaparan secara benar harus dapat diulas dan dikemas sebaik mungkin. Tujuannya agar bisa menggugah minat pembaca sehingga timbul rasa berpikir kritis yang seakan terlibat dalam proses perjalanan berita kasus yang saya lakoni itu. 

Pencarian bahan berupa fakta yang menjadi data dalam berita tersebut saya himpun dari sumber. Wawancara langsung ataupun via selular dilalui tanpa lelah. Mulai penelusuran lapangan hingga literatur tertentu, bahkan pemberitaan sebelumnya juga menjadi referensi.

Selanjutnya,, pengumpulan data penting terus saya lakukan sebanyak banyaknya untuk mendukung keakuratan pemberitaan. Alhasil, jumlah pembaca tetap ketika dilihat dari referensi hitsstats, sangat luar biasa. Berita tersebut sekaligus menjadi trending topics terutama di daerah saya. 

Waktu itu, hampir semua kinerja yang dilakoni oleh beberapa petinggi perusahaan besar tersebut terindikasj sarat penyimpangan, sehingga saya ekspos secara maraton. 

Sebanyak 98 kali edisi pemberitaan, menjadikan sebagian petinggi perusahaan yang bermasalah kasak kusuk. Selanjutnya Tim Auditor Pusat dari perusahaan tersebut, mengaudit dan memutasi oknum yang bernoda. 

Ironisnya, narasumber terkait pemberitaan saya tersebut bukanlah orang jauh, melainkan sederet petinggi di perusahaan besar yang menjadi objek pemberitaan investigasi yang tulis. Mereka terdiri dari yang masih aktif (bekerja) maupun yang telah pensiun. Namun, semua identitas mereka tetap saya rahasiakan.

Tak cukup sekedar melayangkan surat klarifikasi (hak jawab) sebanyak dua kali, kepala biro humas di perusahaan besar itu juga membuat laporan ke salah satu lembaga pers pusat, sehungga setelahnys saya menerima kiriman surat penilaian, dengan surat terakhir berisi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Adapun salah satu point dari isi surat tersebut menyatakan bahwa karya jurnalistik saya tidak berimbang. Parahnya lagi, saya dikatakan terindikasi memeras. 

Keimanan

Tuduhan pemerasan saya tanggapi dengan santai seraya berpasrah diri kepada Sang Pencipta (tawakal). Saat itu mereka mungkin belum mengetahui betapa takutnya saya dengan dosa memeras. Andai saja waktu itu saya bisa berkhotbah (berceramah) di depan mereka, tentunya saya akan menjelaskan tentang kebajikan-kabatilan dan persoalan halal-haram, sehingga rohani dan akhlak si penuduh dapat tercerahkan.

Meski begitu, seiring pelaporan dan tuduhan yang dilayangkan, saya malah semakin bersemangat menerbitkan pemberitaan investigasi secara berkesinambungan. Bahkan, pernah dalam sehari memuat tiga episode, sehingga satu persatu indikasi penyimpangan di perusahaan besar tadi terkuak dan diketahui oleh publik.

Bahkan, pengupasan secara maraton tentang berbagai penyimpangan dan dugaan korupsi di tubuh perusahaan itu, juga saya iringi dengan metode journalism story telling.

Singkat cerita, perusahaan tersebut berbenah usai berkecamuk akibat pemberitaan saya. Hal itu dibuktikan, ketika terjadinya sejumlah pergantian jabatan dan mutasi yang diharapkan dapat menjadi penguat sektor ekonomi bangsa dan rakyat sebagai pemiliknya. 

Kemanusiaan

Suara pers adalah aspirasi rakyat. Maka kebebasan pers harus terjaga, jangan bertujuan untuk meraup keuntungan yang salah, agar tidak menjadi penghianat rakyat.

Seperti pada pemaparan sebelumnya, sesungguhnya wartawan itu hebat sekaligus cerdas, baik dalam ketajaman berfikir maupun kepiawaian menyajikan informasi. Namun jangan sampai diam ketika diatur oleh secuil penghianat pers yang menjilati kepentingan.

Wartawan itu kritis, wartawan itu pekerja sosial dan kerja wartawan merupakan pekerjaan mulia. Namun jangan jadikan kekritisan, kesosialan dan kemuliaan itu berbanding terbalik dengan yang sebenarnya.

Pesan saya, jadilah wartawan kritis tanpa mau dibodoh-bodohi, hadirlah sebagai wartawan sejati tanpa mau dipreteli.

Dikutip dari salah seorang teman seprofesi saya, dikatakannya kebebasan pers saat ini seyogianya diimplementasikan dengan menjunjung rasa tanggungjawab. Hal itu dilakukan agar pers bisa memberikan asas manfaat, bernilai positif terhadap proses kehidupan bangsa dan masyarakat.

Pers memiliki tanggungjawab sekaligus mendorong lembaga negara untuk bergerak secara demokratis menuju kondisi kehidupan yang lebih baik, sebagaimama diamanatkan Proklamasi 1945.

Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, pers harus berusaha untuk membangun dialog yang aktif dengan masyarakat, juga pemerintahan.

Pers adalah bagian dari cita cita perjuangan bangsa. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, pers memang bisa berubah, namun pers harus tetap mempunyai misi mengantarkan cita cita bangsa Indonesia.

Untuk bisa eksis, media harus tetap menggunakan logika dan profesionalisme tanpa kenal menyerah. 

Media online adalah wujud media massa kini dan masa depan. Agar tetap diminati masyarakat, maka media online harus mampu memenuhi empat unsur logika. Yaitu logika profesionalisme, logika politik, logika bisnis dan logika media. Bukan logika uji kompetensi yang pelaksanaannya cuma beberapa jam saja.

Ada beberapa karakteristik pers bebas dan independen dalam demokrasi. Pertama; tidak ada pers yang menjadi organ resmi negara atau pemerintah. Kalaupun ada lembaga pers di bawah naungan negara atau pemerintah, harus diletakkan dalam status hukum yang mandiri, terpisah atau terlepas dari kendali administrasi pemerintah.

Sebagai pranata demokrasi, pers bersifat otonom (mengatur dan mengurus diri sendiri). Dalam khazanah otonomi, pers semacam ini menjalankan otonomi fungsional. Kedua; pada saat ini ada diskursus yang berkelanjutan mengenai substansi “kebebasan pers” dan “independensi pers”. 

Di masa lalu, dua persoalan tersebut diatas semata mata hanya dalam konteks politik. Artinya pers dikuasai penguasa politik, pers di bawah tekanan dan dikenai berbagai pembatasan.

Di penghujung pemaparan, perlu untuk kembali dijelaskan bahwa keadilan pers bukan semata ada di Dewan Pers. Namun ada Dewan Pers Indonesia dengan marwahnya, yang bisa dijadikan pegangan dalam menemukan keadilan pers yang lebih nyata. Sebab  itulah prinsip pers bersama kaidahnya, berhak berlindung kepada lembaga pers apapun di Indonesia.

Pada penghujung tulisan, perkenankan saya menghaturkan "Wassallam" dan terimakasih kepada media (cetak/online) atas berkenannya memuat tulisan saya ini. Semoga bermanfaat. 

# Penulis adalah praktisi pers, owner media online dan pengurus sejumlah komunitas awak media di Sumatera Barat


re-editing: redaksi sumatrazone






 
Top