PERINGATAN tersebut dirayakan oleh setiap insan perfilman Indonesia yang berawal pada tanggal 30 Maret 1950 silam, dimana hari itu adalah hari pertama pengambilan gambar film.
Film tersebut berjudul Darah & Doa atau Long March of Siliwangi. Film yang dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan tentang Indonesia juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli yaitu Usmar Ismail dan ternyata juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.
Usmar Ismail adalah seorang sutradara film Indonesia dan dianggap sebagai warga pribumi pelopor perfilman Indonesia.
Jasanya yang besar di bidang Perfilman membuat namanya dikenang dalam salah satu ajang penghargaan bagi insan perfilman di Indonesia: Usmar Ismail Awards.
Usmar Ismail Awards telah dua kali diadakan, sejak tahun 2016 lalu. Ajang ini juga dihadirkan untuk memperingati Hari Film Nasional dan menghormati bapak perfilman nasional, H. Usmar Ismail. Di tahun keduanya, ajang ini melibatkan kerja sama antara Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail dengan TRANS7.
Selama hidupnya, antara tahun 1950-1970, H. Usmar Ismail telah menghasilkan 33 film layar lebar dan suskes mendirikan Perfini (Pusat Perfilman Nasional Indonesia).
Sayangnya, H. Usmar Ismail meninggal di usianya yang belum genap 50 tahun, karena pendarahan di otak. H. Usmar Usmar wafat dalam kekecewaan yang mendalam, akibat kerjasama Perfini dengan International Film Company asal Italia saat membuat film Adventures in Bali yang bermasalah.
Karya Usmar Ismail yang sering disebut-sebut adalah film Tiga Dara (1956) yang pada 11 Agustus 2016 versi restorasinya ditayangkan kembali di bioskop-bioskop Indonesia.
Tiga Dara seringkali dianggap sebagai salah satu film terbaik Usmar Ismail. Namun, di sisi lain, Usmar Ismail berkali-kali mengungkapkan ketidaksukaannya kepada filmnya tersebut.
Usmar Ismail, yang dikenal sangat idealis dalam berkarya, menganggap Tiga Dara hanyalah film yang dibuat untuk tujuan komersial. Seperti dilaporkan Tirto dalam Mengawetkan Kala dalam Restorasi Tiga Dara, Tiga Dara memang diproduksi saat Perfini—yang didirikan oleh Usmar Ismail—tengah mengalami kesulitan keuangan.
Djadoeg Djajakusuma, sesama pendiri Perfini, turut menyampaikan kekesalan Usmar kepada Tiga Dara. Ia menyatakan bahwa Usmar Ismail memang tidak pernah menikmati sepenuhnya kesuksesan Tiga Dara.
“Usmar sangat malu dengan film itu. Niatnya menjual Tiga Dara ketika masih dalam tahap pembikinan memperlihatkan betapa beratnya bagi dia menerima kenyataan bahwa harus membuat film seperti itu," katanya seperti dikutip dari buku "Profil Dunia Film Indonesia".
Pasca-pembuatan Tiga Dara, Usmar Ismail seakan diperah untuk memproduksi film-film yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Produksi Tiga Dara selanjutnya diikuti oleh peluncuran Delapan Pendjuru Angin dan Asmara Dara yang juga sukses secara komersial. Kedua film tersebut memiliki genre yang sama dengan Tiga Dara.
"Meskipun uang masuk, Perfini toh tidak lagi membikin film-film seperti yang dicita-citakan Usmar semula," imbuh Djajakusuma.
Saat beredar di bioskop, Tiga Dara sukses mendapat keuntungan yang cukup besar. Tiga Dara sukses diputar selama delapan minggu berturut-turut dan menembus bioskop AMPAI (American Motion Pictures Association of Indonesia), berdampingan dengan film-film Holywood.
Seperti juga diungkapkan Usmar Ismail dalam buku "Mengupas Film", Tiga Dara merupakan film produksi Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) yang terlaris. Tiga Dara berhasil membukukan penjualan sebesar 10 juta rupiah dan keuntungan bersih hingga 3 juta rupiah, jumlah yang terhitung tinggi untuk masa itu.
#tirto