JAKARTA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus memerangi mafia tanah.
Hal ini terus dilakukan karena mafia tanah sangat merugikan para pemilik tanah, melalui praktik-praktik pemalsuan dokumen pertanahan. Akibatnya menghasilkan sengketa dan konflik pertanahan, sehingga menyulitkan pemerintah memberikan kepastian hukum hak atas tanah.
Terkait dengan hal tersebut, Kementerian ATR/BPN terus memberi peringatan kepada masyarakat, mengenai bahayanya mafia tanah.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP), RB Agus Widjayanto mengungkapkan praktik-praktik mafia tanah. Menurutnya hal ini dimulai saat Kepala Desa (Kades) mengeluarkan girik/alas hak atas tanah dan dibuatkan salinan atas girik tersebut.
“Atau membuat surat keterangan tanah untuk keperluan mengurus sertipikat tanah lebih dari satu. Padahal sudah ada SE dari Ditjen Pajak Nomor 32 Tahun 1993 Tentang Larangan Penerbitan Girik. Kalau melihat hal ini kan sebetulnya girik itu sudah dilarang,” ungkap Dirjen PSKP saat memberikan paparan pada Rapat Koordinasi Satgas Anti Mafia Tanah di Gedung Krimum, Aula Satya Haprabu, Rabu (3/3/2021) kemarin.
Pelarangan pemberlakuan girik juga dipertegas kembali melalui SE Ditjen Pajak Nomor 44 Tahun 1998. “Tapi, kondisi yang terjadi adalah girik tetap berlaku dan Kementerian ATR/BPN juga membutuhkan girik untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah pemilik tanah sebenarnya, sebelum didaftarkan. Dan itu, akhirnya mengakibatkan banyak pemalsuan mengenai alas hak atas tanah. Tidak hanya girik saja, ada Surat Eigendom, SK Redistribusi yang lama untuk mengklaim suatu bidang tanah,” jelas Dirjen PSKP.
Mafia tanah juga memprovokasi segelintir masyarakat untuk menggarap atau mengokupasi tanah-tanah yang kosong atau sedang dimanfaatkan.
Mafia tanah juga mengklaim bahwa segelintir orang tersebut sudah menduduki tanah dan menggarap tanah tersebut dalam jangka waktu yang lama.
“Mereka juga merubah atau menggeser bahkan menghilangkan patok tanda batas tanah. Selain itu, mafia tanah juga menggunakan jasa preman untuk menguasai objek tanah, dengan cara memagarnya, lalu menggemboknya dan mendirikan suatu bangunan di atasnya,” papar R.B. Agus Widjayanto.
Tidak hanya beragam aksi di lapangan, di pengadilan pun mafia tanah punya sepak terjang. “Salah satunya melakukan gugatan rekayasa di pengadilan untuk mendapatkan hak atas tanah. Padahal baik penggugat maupun tergugat merupakan bagian dari kelompok mafia tanah tersebut dan pemilik tanah yang sebenarnya malah tidak dilibatkan. Ada juga melakukan gugatan tiada akhir, yang menimbulkan banyaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang isi putusannya bertentangan satu sama lain sehingga putusan tersebut tidak dapat dieksekusi,” kata Dirjen PSKP.
Dalam diskusi, Tikno, Kepala Unit (Kanit) Harta Benda (Harda) dari Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Timur menyampaikan pertanyaan seputar girik. Ia mengungkapkan bahwa di Kota Administrasi Jakarta Timur, ada laporan mengenai sengketa pertanahan yang terjadi dikarenakan girik.
“Pertanyaannya adalah ada rekan dari praktisi hukum yang menyatakan bahwa sesungguhnya kantor kelurahan itu tidak punya buku girik, tetapi yang sebenarnya adalah Kantor Pertanahan. Apakah benar demikian?,” tanya Tikno.
Menanggapi hal tersebut, Dirjen PSKP menyatakan bahwa SE dari Ditjen Pajak pada tahun 1993 dan 1998 sebenarnya sudah sangat jelas, yakni tidak boleh ada penerbitan girik baru.
“Yang punya kewenangan untuk mengetahui girik itu adalah kantor pajak. Seperti diketahui, sebelum tahun 1960, pajak tanah dikenakan kepada pemilik tanah. Lalu, kemudian tahun 1970-an, pajak itu dikenakan kepada yang memanfaatkan tanah dan dijadikan bukti kepemilikan tanah oleh kantor agraria, pada masa itu dan kantor pertanahan pada masa sekarang. Terkait Buku Letter C maupun Buku Letter D tidak diambilalih oleh BPN. Sebenarnya, selain girik juga disertakan riwayat tanah yang berasal dari kantor pajak. Tapi sejak tahun 1998, kantor pajak tidak lagi menerbitkan riwayat tanah. Ini yang membingungkan dan kebanyakan oleh oknum kepada desa membawa pulang buku C tadi. Ini membuat sulit,” ulas Dirjen PSKP.
“Intinya bahwa kita perlu menyederhanakan bukti hak-hak lama, kalau bisa ditiadakan. Semua proses lewat pemberian hak atas tanahnya,” ujar R.B. Agus Widjayanto.
#humaskementerianatrbpn