Oleh: Goenawan Mohamad (GM)
TIAP tahta, tiap kekuasaan, memproduksi ilusi. Di dalamnya ada sandiwara dan kebohongan. Ilusi itu memperdaya, tapi bisa juga menghibur. Tak kalah penting, ia menyambung percakapan dengan mereka yang di luar. Kekuasaan dibina dengan ditonton.
Awal Juni 1953, Ratu Elizabeth II dinobatkan di Gereja Westminster Abbey. Untuk pertama kalinya sejak 900 tahun, upacara ini dibuka buat siapa saja: ia disiarkan melalui televisi. Sekitar 27 juta penduduk menyaksikan acara yang dulu tertutup itu. Mereka ikuti tiap babak — dan terpesona. Penobatan telah jadi spectacle. Pertunjukan dan ilusi bertaut; orang merasa asyik.
Tapi tak semua terpukau. Dalam “The Crown” — sebuah seri film TV produksi Netflix yang mengesankan tentang hidup Ratu Elizabeth II — ada selingan penting dalam adegan penobatan itu. Sutradara membubuhkan “Verfremdungseffekt” seperti dalam teater Bertold Brecht: penonton seakan-akan diingatkan agar tak tenggelam sepenuhnya dalam cerita hingga lupa bersikap sebagai pengamat yang kritis.
Di pusat adegan ini Duke of Windsor. Ia raja yang turun tahta hanya 11 bulan di istana. Ia menyerahkan tampuk kerajaan kepada adiknya, George IV, ayah Elizabeth, karena tradisi dan Gereja menentangnya mempermaisurikan perempuan yang dicintainya, seorang janda. Sejak itu ia dikucilkan.
Hari itu ia tak diundang ke Westminster Abbey. Di rumah, bersama tamu-tamunya, ia hanya menyaksikan penobatan kemenakannya, Elizabeth II, di layar TV.
Sebagai orang yang pernah hidup dalam istana, ia bisa jelaskan upacara itu dengan lengkap. Tapi terasa terbersit cemburu ketika ia menunjuk ke gemerlap yang sedang dipanggungkan di London itu:
“…Renggutkan cadar itu — maka apa yang kalian dapatkan? Seorang perempuan muda yang biasa saja, dengan kemampuan seadanya dan tak banyak imajinasi. Tapi bungkuslah dia, urapi dia dengan minyak, maka sim salabim, apa yang kalian dapatkan? Seorang dewi.”
Satu hal yang saya sukai pada “The Crown”: lebih dari sekedar fragmen biografi seorang ratu, karya Peter Morgan ini memperlihatkan politik dalam sisinya yang dilupakan: kekuasaan adalah pementasan.
Kekuasaan berhasil bukan karena menindas dengan bedil dan menyuap dengan uang, tapi karena efektif memainkan ilusi.
Dalam salah satu episode, Perdana Menteri Churchill meminta Elizabeth mengunjungi negeri-negeri Persemakmuran, ketika imperium Britania Raya guyah oleh gerakan kemerdekaan di Asia dan Afrika. Sri Ratu perlu menyambangi bekas koloninya, bukan untuk menunjukkan satu kekuatan imperial, melainkan untuk membangun ilusi bahwa aura dan pengaruh lama masih utuh.
“Jangan sampai mereka melihat Elizabeth Windsor yang sebenarnya”, kata Churchill menasihati ratunya. “Biarlah mereka melihat sisi paduka yang kekal”.
Dan November 1963, dengan sedikit gentar Ratu yang berumur 27 itu berangkat ke 13 negara, menempuh 40 ribu mil lewat udara, laut dan darat selama tujuh bulan. Ia berbekal teks pidato yang tak ia susun sendiri, 100 potong pakaian upacara, 36 topi, 50 pasang sepatu ….
Elizabeth II berhasil: ia jadi bagian ilusi kekuasaan Inggris yang kekuatan represifnya praktis tak ampuh lagi tapi tetap tak bisa dicampakkan.
Hubungan antara ilusi panggung dan kekuasaan tentu tak bermula di Inggris di pertengahan abad ke-20. Bukan hanya di masa televisi sekarang negara bekerja dengan apa yang disebut Yaron Ezrahi "necessary political fictions". Bahwa “citra” adalah “kuasa” dan “kuasa” adalah “citra” mungkin itu ada dalam sejarah mana saja.
Clifford Geertz mengira ia menemukan yang unik dengan telaah antropologinya, “Negara, The Theater State in 19th Century Bali “. Dalam pengamatannya, di kerajaan-kerajaan Bali abad ke-19, "power served pomp, not pomp power", bukan pameran kemegahan untuk kekuasaan, melainkan sebaliknya: kekuasaan politik untuk bikin pameran kemegahan.
Di Bali abad ke-19, kata Geerrz, seluruh upacara puri adalah pertunjukan yang diulangi dengan beribu-ribu citra tentang digdayanya sang raja dalam menghadapi Maut, khaos, gejolak, api…
Tapi benarkah kekuasaan politik ada untuk memamerkan kemegahan (“pomp”) dan bukan pameran kemegahan yang bekerja untuk memperkukuh kekuasaan? Lalu untuk apa kemegahan? Kenapa dipamerkan? Geertz tak menjawab.
Katakanlah ada hasrat “kemegahan untuk kemegahan” — dan itu cukup. Tapi teater - juga negara sebagai teater— selamanya disajikan untuk orang lain.
Seperti di abad ke-17, di Prancis. Louis XIV adalah teater tersendiri. Ia mendirikan Istana Versailles yang mengundang orang datang dan ia menulis satu risalah, “Mémoires”. Di sana ia jelaskan kepada anaknya, bahwa ia jadi seorang raja yang tak hanya buat dijangkau dan dilihat kalangan istana. Rakyat banyak bisa menontonnya.
Di masa awal pemerintahannya, ketika ia muda, ia bahkan menari dalam festival. Di usia lebih lanjut, ia minta dilukis sebagai Iskandar yang Agung, dan mengerahkan produksi gambar yang merekam kesempurnaan dirinya, sang Raja Matahari.
Dengan kata lain, di sini kekuasaan, dengan panggungnya, menganggap penting apa yang oleh Walter Benjamin disebut “Ausstellungswert” (“nilai pameran”). Berarti sang penguasa yang mutlak pun mengasumsikan ada orang di luar. Mereka penonton. Diharapkan juga: pemberi aplaus.
Di atas tahta, sendirian dengan kekuasaan di tangan, memang sunyi. Pertanyaan gampang mengusik: kenapa saya di puncak ini? Tak selalu kita sadar. Tapi ilusi (tentang wahyu, pulung, Tuhan dan nasib) mau tak mau dibangun. Tiap kali kita perlu ada jawab atau pembenaran.
##