JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi RI (Indonesia) pada kuartal III 2020 akhirnya diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar minus 3,49 persen. Angka itu lebih baik jika dibandingkan kuartal sebelumnya yang minus 5,32 persen, namun lebih buruk dari perkiraan Presiden Jokowi.
Ekonom CORE Indonesia Indonesia, Mohammad Faisal, bahkan tak menduga kontraksi (pertumbuhan ekonomi negatif) pada kuartal III 2020 ini masih sedalam itu. Padahal menurutnya, pada periode tersebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sempat dilonggarkan.
“Saya tadinya berpikir kontraksi tidak sedalam itu walaupun sudah lebih baik dari kuartal II, tapi kuartal II anjlok karena pengetatan,” kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia itu, Kamis (5/11/2020).
Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 ini sebesar minus 2,9 persen. Sementara Presiden Jokowi memproyeksikan minus 3 persen.
“Kita tahu kemarin, di triwulan II pertumbuhan ekonomi kita di angka minus 5,32 (persen). Di kuartal ketiga ini, kita juga mungkin sehari, dua hari, tiga hari ini akan diumumkan oleh BPS, kita juga masih berada di angka minus, perkiraan kita di minus 3 (persen) naik sedikit,” ujar Jokowi dalam Sidang Kabinet di Istana Negara, Senin (2/11).
Faisal seperti dilansir Antara mengingatkan, realisasi pertumbuhan ekonomi kali ini perlu menjadi catatan, karena PSBB sempat dilonggarkan namun ekonomi belum bisa mengalami perubahan cukup besar.
“Artinya potensi ke depan bisa jadi dalam beberapa kuartal, kita masih akan mengalami pertumbuhan yang kontraksi,” imbuhnya.
Terkait berbagai stimulus (bantuan) pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Faisal menilai hal itu bukan untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi. Tapi untuk membantu masyarakat miskin dari dampak pandemi.
“PEN bukan untuk membuat pertumbuhan ekonomi positif. Itu supaya tidak anjlok lebih dalam, yang miskin dan pengangguran tidak bertambah. Untuk mendorong ekonomi positif itu ekonomi mesti bergerak, digerakkan konsumsi, khususnya menengah ke atas,” imbuhnya.
Untuk itu, menurutnya pekerjaan rumah besar yang harus ditanggulangi adalah menangani pandemi. Karena selama ada peningkatan kasus COVID-19, konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas akan tetap tertahan atau menunda belanja.
Sumber: kumparan