Jimly Asshiddiqie |
Guru besar ilmu hukum yang kini menjadi senator di DPD RI itu menyebut RUU Cipta Kerja telah menimbulkan kekacauan di tengah kekacauan pada masa pandemi virus corona 2019 (Covid-19).
"Di tengah covid ini (RUU Ciptaker) bukan menjadi solusi, tetapi dia menciptakan kekacauan di tengah kekacauan gara-gara covid," ujar Jimly, Selasa (6/10/2020).
Seperti diketahui, berbagai elemen buruh di berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa dan mogok kerja guna menolak keputusan DPR dan pemerintah atas RUU yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law itu.
Jimly mengatakan, sebenarnya pemerintah juga tahu soal penolakan yang muncul atas RUU Ciptaker. Menurutnya, penolakan tidak hanya datang dari kalangan buruh, tetapi juga aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM). Namun, kata Jimly, pemerintah tetap melanjutkan RUU Ciptaker. Menurutnya, proses perdebatan atas RUU Ciptaker sudah berjalan saat pembahasan di DPR.
"Jadi, ya kita hormati saja kalau menurut saya. Kan perdebatannya sudah. Pemerintah tahu, bukan tidak tahu. Namun ini perspektifnya beda, sudut pandang cara melihatnya itu beda," katanya.
Jadi, tekan Jimly, cara pandangnya sama sekali berbeda. Bukan tidak tahu, tentu negara itu kan melihat masalahnya lebih luas, melihat juga tangangan yang terjadi di luar negeri. Melihat juga hal-hal yang plus minusnya yang lain. Jadi keberatan-keberatan dari daerah, dari aktivis lingkungan, aktivis hak asasi manusia itu sudah disuarakan semua, sudah lengkap.
"Saya kira tidak bisa kita menganggap tidak. Walaupun di tengah pandemi, tetapi tetap pemerintah punya sikap. Begitulah kira-kira. Merespons situasi pasca pengesahan, kalau mogok buruh berlangsung lama kan bisa berdampak ke ekonomi. Bikin tambah parah? Ya karena memang ekonomi kita kan sedang kolaps. Jadi, kalau dia kolaps gara-gara demo ini, praktis sebenarnya sudah 60 persen mogok juga karena covid kan? Dengan adanya gerakan mogok terhadap RUU yang disahkan ini, menjadi katakanlah dari 60 menjadi 90 persen".
Sebenarnya, menurut Jimly, justru yang lebih utama untuk disiapkan adakah kebijakan seperti apa yang harus dituangkan dengan melanggar undang-undang sehingga memerlukan UU baru.
Kalau misalnya terjadi perpindahan investor dari China ke luar negeri. Itu kan harus ditampung dan semua negara tetangga pasti rebutan. Nah cara mengadopsi itu, menampung perpindahan pabrik-pabrik dari China ke Indonesia, itu memerlukan kebijakan khusus, memerlukan UU sendiri, bukan UU (Ciptaker) ini. Ada UU khusus yang harus kita terapkan dengan hasil negosiasi. Katakanlah 20 atau 30 perusahaan yang akan pindah ke Indonesia diberi perlakuan khusus, karpet semerah-merahnya dengan UU, itu bisa. Bilamana perlu dengan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Tetapi itu nanti. Nanti, dan dinegosiasi dengan konkret dulu kebijakannya seperti apa untuk menampung itu. Bila perlu disiapkan pulau khusus, pulau tiga ribu, misalnya. Itu disiapkan, diberi status khusus di situ sebagai melebihi kawasan khusus industri yang sudah ada sekarang, misalnya. Dan untuk itu memerlukan UU baru. Itu gampang, bikin Perppu.
"Yang UU Cipta Kerja yang bikin ribut ini tidak efektif untuk itu. Jadi saya rasa, manfaatnya belum jelas ini UU ini, tetapi bikin ribut, menimbulkan pembelahan, ketidakpercayaan makin luas, kebencian permusuhan makin luas padahal manfaatnya belum jelas. Malahan, suatu UU baru itu, apalagi kalau norma yang diubahnya begitu banyak, itu di satu segi, di buku saya saya terangkan, mengenai omnibus dan penerapan omnibus di Indonesia itu. Saya kan menggagas omnibus law ini sudah sepuluh tahun lebih, tetapi maksudnya untuk menata hukum Indonesia, bukan sekadar untuk ekonomi. Menata menyeluruh, di bidang politik, pendidikan, kebudayaan, kesejahteraan. Hukum kita ini belum tertata, harus ditata," urai Jimly.
Yang terjadi sekarang, menurutnya, UU Cipta Kerja hanya dimanfaatkan untuk ekonomi dulu. Oke saja, tetapi plus minusnya adalah, semakin banyak pasal yang dirumuskan, ditetapkan, mengubah norma yang ada, itu dalam keadaan normal makin baik. Tetapi dalam suasana tidak normal, yang dibutuhkan itu kebijakan yang ringkas-ringkas, makin singkat.
Misalnya, dalam keadaan tidak normal kita butuh kebijakan A, kebijakan A ini kalau kita lakukan akan mengatasi problem ini, ini, dan ini. Kebijakan A itu cukup kita rumuskan dalam tiga kalimat. Maka, buat saja UU selembar dengan tiga kalimat, tiga pasal, cukup. Tetapi dia menyelesaikan masalah. Misalnya bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, begitu? Itu misalnya. Jadi, dalam keadaan normal, makin tebal UU itu makin baik.
Sebaliknya, imbuh Jimly, dalam keadaan luar biasa, dalam keadaan darurat, makin tipis makin baik, karena membutuhkan kecepatan. To the point. Misalnya membuat UU kebijakan baru, cukup dengan lima kalimat, kenapa mesti 500 kalimat? Kalau cukup dengan 10 kalimat, kenapa mesti 10 ribu kalimat? Ini untuk menjawab. Jadi membuat UU itu jangan kayak membuat buku, semua teori-teori dikumpulkan di situ, segala macam asas, segala macam ketentuan pendahuluan, waduh lengkap sekali. Padahal yang anda perlukan hanya ngomong tiga kalimat. Itu lho. Jadi ini tidak efisien. Nah, akibatnya, kalau banyak (aturan yang dihapus), akan ada periode di mana norma yang lama dicabut tidak berlaku lagi, norma yang baru belum efektif. Itu yang namanya nomos one, nomos two, itu yang selalu saya gambarkan, proses dari nomos one ke nomos two, ada keadaan namanya anomos, bahasa lain anomos itu anorma, anomi. Itu keadaan tanpa aturan. Makin banyak pasal yang dimuat untuk mengubah pasal yang lama, norma lama makin banyak yang dibuang, tidak efektif lagi, norma baru ini membutuhkan waktu untuk efektivitas, maka ada keadaan di tengah-tengah, itu keadaan anomi, tidak beraturan, sama dengan kacau. Jadi UU ini menciptakan kekacauan di tengah kekacauan. Di tengah covid ini bukan menjadi solusi, tetapi dia menciptakan kekacauan di tengah kekacauan gara-gara Covid.
Seharusnya ini (UU Ciptaker) diterapkan dalam keadaan biasa, normal. Jadi perlu sosialisasi, perlu ada perdebatan publik yang saling mendengar, cukup waktu, sehingga omnibus law itu efektif dan bermanfaat untuk diterapkan untuk menata hukum Indonesia.
Tetapi dalam keadaan tidak normal, justru sebaliknya yang perlu kita lakukan itu UU yang tipis-tipis, meng-address konkret masalah apa. (Contoh) ada kebijakan baru yang mau kita praktikan tapi melanggar UU. Supaya tidak melanggar UU ya bikin UU baru. Kalau waktunya enggak sempat ya bikin Perppu. Jadi, kesempatan untuk bikin Perppu sebanyak-banyaknya ya sekarang ini. Keadaan darurat kok. Tapi di-address satu-satu dengan maksud tujuan yang jelas.
Misalnya kayak tadi, ada 30 perusahaan sudah negosiasi dengan BKPM, mau pindah dari China ke Indonesia dengan syarat a, b, c, d. Lalu Vietnam menawarkan hal yang sama, Thailand menawarkan hal yang sama, lalu kita ingin menawarkan hal lebih menarik padahal UU belum ada. Negosiasi dulu, setelah negosiasi baru kita bikinkan Perppu untuk mereka. Masuk itu. Jadi kan konkret manfaatnya, namun tidak mengganggu UU yang lain.
Misalnya, oke, kita buatkan mereka pabrik, berikan 10 pulau, dan di 10 pulau itu banyak terumbu karang, boleh diberangus terumbu karang itu dengan melanggar UU Lingkungan Hidup, tetapi UU Lingkungan Hidup-nya, itu tidak dibatalkan untuk seluruh Indonesia. Dia hanya dibatalkan untuk pulau yang diperuntukkan bagi investor itu saja. Dia dikecualikan dengan UU khusus ini. Jadi, norma hukum lingkungan yang berlaku dari Merauke sampai Sabang, itu tetap. Jangan disalahgunakan tiba-tiba di seluruh Indonesia normanya menjadi sama. Padahal maksud kita hanya untuk menampung investor yang delapan, atau sepuluh dari China.
Itu sebabnya, di masa darurat, UU itu semakin tipis semakin baik. Tetapi di masa normal, saya sudah sepuluh tahun mendorong, kita harus menerapkan omnibus teknik. Begitu. Karena ini sudah disepakati, ya sudah. Biar nanti sejarah menunjukkan pengalaman, supaya kita juga belajar dari sejarah, kan?
Sumber: jpnn