JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik larangan mengambil foto, rekaman suara dan video persidangan tanpa seizin ketua pengadilan yang baru saja diterbitkan Mahkamah Agung. Lembaga ini menilai pelarangan itu menjadi angin segar bagi mafia, tetapi buruk bagi jurnalis.
"Menanggapi aturan ini, YLBHI berpendapat bahwa larangan memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan," kata Asfinawati saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (26/2/2020) malam.
Asfin berpendapat, isi surat edaran itu juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskan kepada masyarakat.
Terlebih, dalam surat edaran yang baru diterbitkan MA, ada ancaman pidana bagi orang yang tak mengindahkan ketua pengadilan.
Hal itu tertuang dalam bagian II. Tata Tertib Persidangan poin nomor 9. Pelanggaran tata tertib dikategorikan sebagai tindakan pidana, sehingga akan dilakukan penuntutan kepada orang yang bersangkutan.
"Ancaman pidana yang ada dalam surat edaran tersebut sudah terdapat dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam surat edaran ini," ucap Asfin.
Lagi pula, lanjut dia, kegiatan memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi. Sementara kegiatan jurnalistik, menurut Asfin, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.
"Ketua Pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu," kata dia.
Berdasarkan catatan YLBHI, Asfin mengatakan rekaman sidang di pengadilan memiliki sejumlah manfaat. Pertama, sebagai bukti keterangan-keterangan dalam sidang.
Ia memandang Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan proses persidangan. YLBHI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mau pun putusan majelis hakim.
Lebih lanjut, Asfin mengatakan keterangan saksi kadang tidak dikutip secara utuh baik oleh Jaksa maupun hakim, sehingga menimbulkan makna berbeda. Bahkan, merujuk pengalamannya sebagai pengacara publik, terdapat keterangan saksi tertentu yang tidak diambil sebagai pertimbangan.
"Dalam pengalaman LBH juga sering ditemukan bahkan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh Tim Penasihat Hukum," imbuhnya.
Asfin mengungkapkan rekaman sidang, baik audio mau pun video, juga bisa berperan sebagai pengawas bagi hakim dan pihak berperkara dalam bersidang. Mereka akan berpikir dua kali apabila hendak bertindak tidak baik dalam persidangan.
Asfin menuturkan masalah di ranah pengadilan belum banyak berubah meskipun terdapat sejumlah peraturan di MA yang membawa pembaruan.
"Tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. Pengadilan lambat merespons permintaan pihak-pihak yang berperkara," ungkapnya.
Berdasarkan sejumlah poin di atas, YLBHI mendesak agar surat edaran yang turut mengatur pembatasan kerja-kerja jurnalistik segera dicabut.
"Kami menyatakan meminta perihal larangan memfoto dan merekam persidangan dicabut dari SE Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 2/2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan," tandasnya.
Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Agil Oktaryal, memberikan catatan terkait izin Ketua Pengadilan Negeri soal pengambilan gambar dan rekaman sidang dalam surat edaran MA. Ia berpendapat semestinya aturan tersebut berada di level UU bukan SEMA. Sebab, menurut dia, keterbukaan dalam persidangan merupakan salah satu prinsip yang paling esensial.
Ia memandang aturan pembatasan kerja-kerja jurnalistik itu melanggar asas keterbukaan untuk umum.
"Asas ini harus diartikan bahwa persidangan itu bisa diakses melalui alat dan kanal mana pun, apalagi tren peradilan di banyak negara mulai terbuka. Harusnya kalaupun mau mengatur, ketentuannya bukan 'izin' melainkan cukup 'pemberitahuan'," kata Agil kepada wartawan, Rabu (26/2/2020).
Agil berpendapat sarana dan prasarana peradilan di bawah MA belum cukup memadai untuk menerapkan prinsip keterbukaan. Poin ini, kata dia, berbeda dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kanal informasinya sangat terbuka dan cepat.
"Misal risalah yang bisa ke luar satu jam pascasidang atau rekaman sidang di Youtube yang otomatis di-upload 10 menit setelah sidang," ujar Agil mencontohkan.
Selain itu, Agil menyoroti ihwal pemidanaan bagi pihak yang melanggar aturan yang tertuang di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Kata dia, ketentuan pidana hanya boleh diatur dalam produk hukum yang pembentukannya melibatkan dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif. Produk hukum yang dimaksud adalah undang-undang dan peraturan daerah.
"Selain itu tidak boleh, apalagi di surat edaran," pungkasnya.
"Keempat, mengancam kebebasan pers," ujar Agil lagi melihat adanya pembatasan terhadap kegiatan jurnalistik dalam surat edaran MA.
Sebelumnya, Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020 mengatur ketentuan mengenai Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan.
Bagian I angka 3 Tata Tertib Umum isi surat edaran itu berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan,"
Sementara pada bagian II angka 9 Tata Tertib Persidangan dikatakan, "Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya,"
Ada pun angka 7 mengatur, "Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua majelis untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat".
Sumber: cnnindonesia