dok.sinarlampung.com |
“Sejumlah rekomendasi sengketa antaranya media NP dengan Bupati, bahwa media NP harus memuat hak jawab pihak bupati. Harus memuat hak jawab dan minta maaf sebanyak berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selain itu, media NP agar memberhentikan Pemred yang belum memiliki sertifikat wartawan utama. Harus diganti. Pemred harus bersertifikat Wartawan Utama,” tegas Hendri, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (31/7/2019), usai memimpin sidang sengketa pers antara pihak narasumber, seorang bupati yang sebelumnya sempat menyatakan tidak mau berdamai dengan media NP karena merasa nama baiknya sebagai pribadi dan sebagai pimpinan daerah, telah dicemarkan dalam pemberitaan yang dilakukan NP berulang-ulang hingga lebih dari 10 edisi.
Sidang sengketa pers antara Bupati Poso dengan media NP di Dewan Pers ini dipimpin Hendry Chaeruddin Bangun yang juga Ketua Komisi Pendataan Dewan Pers, dihadiri oleh Bupati Poso Darmin Sigilipu diwakili Kepala Bagian Humas dan Protokoler Setdakab Poso Armol Songko serta tim kuasa hukum yang terdiri dari Gunawan Rubana SH, Muhardi Siregar SH, Suprianus Kandolia SH, serta Sofyan Lawento kuasa hukum Bupati Poso dari Bagian Hukum Setdakab Poso.
Melalui kuasa hukumnya, Bupati Poso secara tegas menyatakan tidak mau lagi menggunakan hak jawab, karena sudah pernah dilakukan sebelumnya.
“Jadi pelaksanaan sidangnya terpisah. Sidang pertama itu kita diberi kesempatan untuk memberi keterangan dan komentar. Yang pertama, kita berikan penguatan terhadap pernyataan kita pada sidang sebelumnya. Yang kedua, kita berikan tambahan-tambahan sesuai dengan petunjuk Pak Bupati, bahwa terdapat kesalahan-kesalahan dalam pemberitaan dan konfirmasi, sudah kami sampaikan,” terang Kabag Humas dan Protokoler Setdakab Armol Songko, seperti dilansir dari www.sinarlampung.com
Berdasarkan keterangannya dalam sidang Dewan Pers, Armol mengaku Pemda Poso merasa tersinggung terhadap pemberitaan yang sudah 3 bulan berlangsung. “Saya sampaikan memang sangat tersinggung, ini sudah tiga bulan terus berulang. Beberapa faktor lainnya juga kami ungkapkan,” tambah Armol.
“Setelah keterangan kami didengarkan, dan setelah kami keluar dari ruang sidang, maka dipanggil lah teradu. Setelah selesai Teradu didengarkan keterangannya, kami sebagai pengadu dipanggil kembali untuk mencocokan keterangan Teradu,” terang Armol.
Menurutnya, pemberitaan yang dipublikasikan NP, dianggap sangat mengganggu karena memberikan pandangan dan kesan yang tidak baik. Meskipun secara umum publik Sulawesi Tengah, sangat paham dengan karakteristik NP, media yang saat ini tidak masuk dalam daftar media terverifikasi di Dewan Pers.
“Setelah Dewan Pers melihat dan mengkaji kondisi Teradu dengan berbagai keluhan yang kita sampaikan, Dewan Pers menawarkan kepada kita apakah mau islah alias berdamai, atau PPR. Hanya dua itu yang ditawarkan. Tapi kami memilih, kami tidak mau lagi duduk bersama, dengan berbagai persyaratan. Misalnya memberikan lagi kembali hak jawab, sesuai banyaknya berita yang telah dipublikasikan. Kami tidak mau! Kalau cuma satu minggu, mungkin kami bisa pertimbangkan, tapi ini sudah tiga bulan. Jelas marah kita,” tandas Armol.
Apa yang disampaikan Armol juga dipertegas oleh Gunawan Rubana. Sebagai salah satu pengacara yang ditunjuk Bupati Poso, Darmin Sigilipu untuk mendampinginya, Gunawan Rubana mempertegas bahwa sidang tersebut adalah pertemuan terakhir dengan Dewan Pers terkait perkara yang sedang dihadapi kliennya, dalam hal ini Bupati Poso.
(slc/bin)