Oleh: Danang Kurniawan
#Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang
PENGELOLAAN manajemen perkotaan merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Berkembang dan majunya sebuah perkotaan memicu adanya berbagai masalah sosial perkotaan, seperti halnya kemacetan, kriminalitas, banjir, pemukiman kumuh dan masalah lainnya.
Permasalahan tersebut merupakan imbas dari pengelolaan perkotaan yang terlanjur salah, dalam pengembanganya kurang melihat nilai kegunaan sebuah konektifitas ruang, dan sebagaian besar daerah di indonesia melakukan hal yang sama, sehingga sangat jarang kota di Indonesia yang mengkedepankan pengelolaan kota menggunakan konsep smart city dan sustainable development.
Tentunya permasalahan perkotaan tersebut sangat menjadi penghambat dalam pengembangan perkotaan untuk kedepanya, sehingga akan berdampak pada keberadaan sektor pelayanan publik salah satunya penyelenggaraan pemerintahan yang tidak kondusif.
Dalam pengelolaan urban politik, mengenai masalah perkotaan, dalam mengelola ibukota bukanlah sebuah hal yang mudah, dikarenakan ibukota merupakan estalase dari sebuah negara yang menjadi patokan basis peradaban di sebuah negara sosial, ekonomi, dan politik sehingga kesalahan pengelolaan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan.
“Ketika sebuah kota menjadi ibukota, kota tersebut biasanya akan mengalami pertumbuhan yang signifikan dan akibatnya menghasilkan dampak demografi dan ekonomi dari kekuatan yang terakumulasi (Dascher 2000).”
Daerah perkotaan yang memilki dampak cukup besar dari pengembangan sebuah perkotaan yang menjadi masalah nasional adalah Jakarta, mengingat Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia sehingga permasalahan yang terjadi menjadi fokus publik secara nasional.
Kemajuan Jakarta jelas membawa dampak positif dan juga negative dalam perkembanganya. Jakarta merupakan kota yang banyak memilki masalah perkotaan pada setiap tahunnya terus terjadi bahkan susah terselasaikan, masalah tersebut yakni kemacetan dan banjir merupakan masalah bersama di Jakarta.
Banjir dan kemacetan merupakan masalah yang sering terjadi di Jakarta hingga saat ini belum pernah terselesaikan, terbukti masalah tersebut dalam setiap memasuki musim pemilu muncul sebagai isu yang sering diangkat dalam program kandidat gubernur dan publik akan fokus pada pelayanan permasalahan perkotaan salah satunya antisipasi banjir, kemacetan, dan rumah kumuh perkotaan. Permasalahan tersebut seharusnya harus segera diatasi mengingat Jakarta merupakan etalase cerminan Indonesia di kancah internasional, dan juga keberadaan beberapa lembaga pemerintahan negara terdapat di Jakarta, sehingga dengan adanya permasalahan tersebut dapat mengurangi kinerja dari berbagai pelayanan pemerintah pusat.
Permasalahan tersebut merupakan sebuah masalah yang merupakan tugas dari pemerintah daerah, mengingat Jakarta merupakan sebuah daerah yang memiliki peran sendiri yang sesuai dengan otoritas UU Otonomi Daerah. Namun permasalahan tersebut memiliki porsi yang lebih mengingat daerah Jakarta adalah wilayah Ibukota yang saling memberikan pengaruh satu sama lain dengan pola pemerintahan pusat, sehingga pemerintah pusat melalui presiden selaku kepala pemerintahan dan juga yang memilki kewenangan lebih meresponsvmasalah yang terdapat di Jakarta dengan mengkaitkan tentang keberlangsungan pembangunan nasional.
Pemerintah pusat menilai ibukota negara di Jakarta sudah tidak layak lagi, karena masalah-masalah lama yang belum bisa terselesaikan dari tahun ke tahun.
Pemerintah pusat merespons melalui membuat perencanaan mengenai wacana alternatif pertama pemindahan dan pergiliran ibu kota bahwa kondisi Jakarta sebagai ibu kota negara yang terlalu lama sampai saat ini sangat tidak ideal buat pemerataan pembangunan nasional, seperti dilansir oleh CNN, Senin 24 April 2019 pada saat mewawancai Presiden Jokowi di kompleks istana kepresidenan.
Presiden Joko Widodo menyampaikan sejumlah alasan pemerintah berencana memindahkan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke wilayah lain. Beberapa alasan yang disampaikan antara lain, jumlah penduduk padat, pencemaran lingkungan, kemacetan, hingga banjir. melanjutkan masalah pencemaran lingkungan juga sudah menghantui wilayah Pulau Jawa. Bahkan, kata mantan Wali Kota Solo itu sungai-sungai di Pulau Jawa merupakan 10 sungai yang paling tercemar di dunia. Jokowi melanjutkan bahwa banjir besar di setiap musim hujan ekstrem turut menjadi ancaman di Jakarta. Namun, saat musim kemarau cadangan air bersih yang tersedia hanya 20 persen dari kebutuhan. "Tidak hanya kita bicara sekarang, yang sebelumnya juga menjadi jadi ancaman,” ujarnya.
Tak hanya itu, Jokowi mengaku mendapat informasi sebanyak 40 ribu hektar lahan produktif telah beralih fungsi di Pulau Jawa setiap tahunnya. Lahan-lahan tersebut beralih fungsi dari sebelumnya sawah menjadi properti.
Mencermati alasan pemerintah dalam wacana pemindahan ibukota dikarenakan permasalahan perkotaan yang sudah sangat parah di Jakarta, dan juga dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di luar Jawa sehingga mampu mengurangi konflik ego sektoral di Indonesia.
Polemik isu perpindahan ibukota juga direspons oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro yang mengatakan bahwa tujuan dari pemindahan ibukota adalah untuk memfokuskan Jakarta menjadi kota ekonomi.
“Untuk mengurangi beban Jakarta dan menjadikan Jakarta sebagai kota bisnis, ekonomi, keuangan yang berskala regional Asia Tenggara dan internasional,” kata Bambang saat ditemui di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2019).
Pemindahan ibukota jika melihat perkembangan di masyarakat banyak menuai berbagai tanggapan dari pihak pendukung pro dan pihak yang tidak setuju kontra atas sikap yang diambil pemerintah pusat. Keadaan tersebut merupakan sebuah hal yang wajar dalam mengelola pemerintahan apalagi ini merupakan skala nasional. Namun wacana pemindahan ibukota tersebut merupakan sebuah respons yang baik dari pemerintah, akan tetapi masyarakat jelas akan terpecah dua kubu dengan pendapat yang berbeda.
Jika melihat jauh terkait wacana pemindahan ibukota memang harus diperlukan kajian yang mendalam dengan berbagai aspek, sehingga mampu memberikan informasi yang lebih terkait wacana pemindahan ibukota, agar masyarakat juga turut mendukung apa yang dilakukan pemerintah melalui saran ataupun dukungan.
Pemindahan ibukota negara jika dilihat melalui aspek mewujudkan pembangunan yang merata dan adil ke semua daerah dinilai cukup tepat, sehingga pemindahan ke depannya pengelolaan ibukota akan mudah mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang sustainable development, pemindahan ibukota juga tentunya akan sangat mendukung daerah yang telah melaksanakan desentralisasi melalui UU Otonomi Daerah dengan baik, karena tujuan dari adanya UU tersebut adalah memecah pembangunan tidak sentralis di pusat, adanya pemindahan ibukota pusat ekonomi akan terpecah tidak lagi terpusat dan akan memberikna giliran kesempatan kepada daerah yang lain.
Secara jangka panjang akan mempengaruh fokus pembangunan dan mampu memecah sentralistik dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Sehingga dengan adanya pemindahan tersebut fokus pengembangan ekonomi akan mudah diuraikan dan didistribusikan ke daerah yang lain, dikarenakan Jakarta saat ini seperti sudah overload dalam pengembangan ekonomi, sehingga jelas pemetaan pelaku ekonomi akan mudah melakukan monopoli di suatu daerah dan kesenjangan sosial semakin tinggi di Jakarta dengan daerah lainnya.
Kalau kita perhatikan lebih jauh, Jakarta memiliki semuanya mulai dari ibukota negara, kantor kantor pemerintahan, kantor-kantor pusat BUMN, pusat perdagangan, konsentrasi populasi, pusat perindustrian dan lain-lain. Jelas kondisi ini tidak mencerminkan pengelolaan kota yang baik, karena fokus pembangunan cukup beragam sehingga akan mengedepankan pelaku pasar tidak lagi atas dasar pengelolaan pembangunan berkelanjutan. Idealnya, beberapa fungsi tersebut perlu dipindahkan ke kota lain.
Memindahkan aktivitas perekonomian akan sangat sulit, tapi bukan tidak mungkin fungsi sebagai ibu kota dipindahkan ke kota lain demi memperbesar daya dukung kota lama untuk nyaman dihuni dan memberi kesempatan kota baru dan kawasannya juga ikut berkembang.
Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa pemindahan ibukota negara di luar pulau Jawa. Untuk menjawab lokasi yang tepat mengenai pemindahan ibukota adalah daerah yang cocok adalah Kalimantan. Pulau ini masuk dalam opsi tujuan perpindahan ibukota, dengan alasan Kalimantan memiliki lahan masih sangat luas, serta secara geografis wilayah tersebut sangat jarang memilki sejarah tertimpa bencana alam.
Perlu kita sadari bahwa Kalimantan selama ini memiliki porsi lebih dalam memberikan suntikan dana ke APBN sehingga ini juga menjadi nilai lebih dalam mendukung berdirinya ibukota di Kalimantan.
Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah, juga telah memiliki keberadaan bandara serta pelabuhan sudah sangat menudukung, sehingga mengurangi beban biaya infrastruktur. Kesempatan dalam menghadirkan ibukota yang berwawasan lingkungan serta smartcity jelas akan terbuka, dikarenakan kemudahan dalam mengelola daerahnya karena masih memilki porsi pilihan yang lebih dalam memanfaatkan ruang. Sehingga dengan adanya permulaan dari pemerintah pusat dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan akan berpengaruh pada daerah daerah yang lain dalam menyusun pembangunannya.
Jika melihat wacana pemindahan ibukota dalam konteks pemekaran wilayah serta lebih dominan kemana wacana kebijakan pemindahan ibukota tersebut, juga memiliki berbagai tafsiran yang berbeda. Jika dilihat dari sifat kebijakan yaitu kebijakan terbilang terpusat atau top down, kelemahan dalam sebuah kebijakan top down terpusat adalah partisipasi dari komponen sosial, yakni stakeholder tidak maksimal, sehingga rentan akan terjadinya kegagalan kondisi di lapangan, karena jelas perpindahan ibukota harus memilki beberapa daya dukung salah satunya dari masyarakat, swasta dan daerah yang dijadikan sebagai ibukota baru.
Namun semua permasalahan mampu diatasi jika pemerintah pusat mampu merencanakan melalui mekanisme yang sangat partisipatif salah satunya mengkedepankan aspek kebersamaan antara pusat dan daerah, serta masyarakat dan swasta.
Kebijakan tersebut memiliki sifat top down dikarenakan beberapa faktor yang muncul. Jika kita lebih cermat melihat, salah satunya dipengaruhi perjalanan politik nasional yang semakin memanas.
Pemindahan ibukota mencuat tepat pada saat masyarakat masih disibukkan dengan penyelenggaraan pemilihan umum serentak presiden dan legislatif.
Banyak publik berpendapat bahwasanya pemindahan ibukota adalah sebuah strategi politik dalam mengalihkan isu politik yang pada saat itu mulai menuju ke ranah konflik, sehingga muncul kebijakan yang memiliki tendensi politik. Namun tidak dapat disalahkan mengingat sebuah kebijakan tidak bisa terlepas terkait dengan aspek politik, akan tetapi elite politik harus cermat dalam memerankan fungsinya sehingga mampu memberikan kebijakan yang mengedepankan asas keadilan bagi masyarakat bukan hanya bagi kepentingan segelintir orang saja.
Jika lebih cermat melihat secara keseluruhan, adanya wacana pemindahan ibukota terdapat hal menarik yang melatar belakanginya yaitu aspek politik. Panafsiran bahwasanya pemindahan ibukota merupakan syarat politik semakin jelas dilihat dari informasi yang diberikan dari istana ke masyarakat memang terbilang mendadak, dikarenakan pada saat Jokowi mencalonkan kembali sebagai kubu petahan wacana pemindahan ibukota tidak disampaikan sama sekalit dalam visi Misi ataupun program infrastrukturnya. Banyak masyarakat yang berpendapat itu merupakan strategi pengalihan isu melalui menggiring masyarakat ke focus pemindahan ibukota. Secara tidak langsung strategi wacana pemindahan ibukota mampu mengurangi dis-trust opinion mengenai pemilu di masyarakat yang sempat memanas, karena pada saat itu media disibukkan dengan berbagai penyelpenggaraan pemilu yang rentan akan konflik, dikarenakan masyarakat dihebohkan tentang penyelenggaraan demokrasi terbesar dalam pelaksanaannya yang kurang maksimal. Strategi tersebut bisa jadi awal permulaan narasi pemindahan ibukota agar masyarakat mampu terpecah dalam melihat perkembangan politik dan itu terbukti sampai sekarang belum ada tindaklanjut kembali mengenai rencana pemindahan ibukota.
Terlepas dari pro dan kontra mengenai pemindahan ibukota, tentunya memiliki beberapa catatan. Kebijakan tersebut memang tidak seluruhnya memilki dampak buruk. Di atas sudah digambarkan bahwa pemindahan ibukota memilki daya dukung dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan juga mampu menghadirkan pembangunan yang berkelanjutan dalam mewujudkan smartcity yang saat ini sudah menjadi tuntutan masyarakat perkotaan.
Dalam menghadirkan pembangunan berkelanjutan memang memerlukan ruang yang cukup dan sangat mendukung jika melihat permasalahan di Jakarta memang belum terselesaikan dari permasalahan banjir dan kemacetan.
Namun juga jika melihat sisi pemicu asal mula wacana kebijakan publik tersebut, nilai politiknya sangat tinggi, sehingga dalam perencaanaan serta pelaksanaannya akan dipengaruhi porsi politik yang lebih.
Akan tetapi saat ini masyarakat berharap pemindahan ibukota nantinya dapat dilakukan dengan mengkedepankan aspek kesejahteraan masyarakat, karena jika kebijakan tersebut masih memilki tendensi politik, jelas akan berdampak pada kegagalan sebuah pemindahan ibukota karena kelemahan daya dukung dari stakeholder, masyarakat dan swasta yang merupakan awal pemicu dari kegagalan tersebut, sehingga bukan tak mungkin Kalimantan pun akan bernasib sama dengan Jakarta.
**