JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) menyoroti rasio utang pemerintah yang terus meningkat sejak tahun 2015.
Meski pada 2018 rasio utang pemerintah mengalami penurunan jadi 29,81 persen.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan terus meningkatnya rasio utang pemerintah disebabkan tingginya transfer daerah yang memiliki porsi sepertiga dari keseluruhan belanja pemerintah.
Akan tetapi, besaran belanja transfer daerah tersebut tidak tercatat di dalam neraca pemerintah.
"Sehingga tentu saja ini akan mempengaruhi dari sisi kemampuan kita untuk menunjukkan bahwa belanja pemerintah terlihat di dalam neraca keuangannya pemerintah pusat," ujar Sri Mulyani ketika ditemui di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, laporan keuangan daerah hingga saat ini belum terkonsolidasi dengan laporan pemerintah pusat.
Belanja ke daerah yang tidak masuk ke neraca pemerintah pusat membuat ada ketimpangan antara belanja dan penerimaan.
Selain itu, belanja pemerintah masih didominasi belanja barang untuk pembayaran gaji hingga belanja operasional.
"Sehingga kalau kemudian ada konsen seperti utang yang kemudian tentu akan dipengaruhi oleh apakah belanja pemerintah menciptakan apa yang disebut belanja modal, yang kemudian mempengaruhi ekuitas pemerintah itu juga sangat dipengaruhi oleh tadi," ujar dia.
BPK melaporkan, peningkatan rasio utang pemerintah dimulai dari 2015 hingga 2017. Pada 2015 rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 27,4 persen, tahun 2016 sebesar 28,3 persen, tahun 2017 naik lagi jadi 29,93 persen.
Walaupun demikian, pada 2018 rasio utang menurun menjadi 29,81 persen.
BPK menyatakan, peningkatan rasio utang tersebut tidak lepas dari realisasi pembiayaan utang dari tahun 2015-2018 yaitu Rp 380 triliun pada 2015, Rp 403 triliun pada 2016, Rp 429 triliun pada 2017, dan Rp 370 triliun pada 2018.
Sampai dengan 31 Desember 2018, nilai pokok atas utang pemerintah sebesar Rp 4.466 triliun yang terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp 2.655 triliun atau 59 persen dan utang dalam negeri sebesar Rp 1.811 triliun atau 41 persen.
Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) memberikan beberapa catatan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2018.
Dianggap Gagal Capai Target
Sebelumya Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, pemerintah tidak dapat mencapai target terhadap beberapa indikator.
Yaitu pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,17 persen dari target 5,40 persen, juga lifting minyak hanya mencapai 778.000 barel per hari dari target sebanyak 800.000 barel per hari, dan lifting gas hanya mencapai 1,14 juta barrl per hari dari target 1,2 juta barel per hari.
"Kedua, rasio utang pemerintah pusat terus mengalami peningkatan sejak 2015 meskipun rasio utang tersebut masih di bawah ambang batas 60 persen dari PDB," ujar Moermahadi ketika menyampaikan hasil audit LKPP kepada DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Moermahadi menjelaskan peningkatan rasio utang tersebut tidak lepas dari realisasi pembiayaan utang dari tahun 2015-2018 yaitu sebesar Rp 380 triliun pada 2015, Rp 403 triliun pada 2016, Rp 429 triliun pada 2017, dan Rp 370 triliun pada 2018.
Sampai dengan 31 Desember 2018, nilai pokok atas utang pemerintah sebesar Rp 4.466 triliun yang terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp 2.655 triliun atau 59 persen dan utang dalam negeri sebesar Rp 1.811 triliun atau 41 persen.
"Ketiga, realisasi belanja subsidi tahun 2018 sebesar Rp 216 triliun melebihi pagu anggaran yang ditetapkan APBN sebesar Rp 156 triliun dan meningkat sebesar Rp 50 triliun dibandingkan dengan tahun 2017," ujar dia.
Hal tersebut terjadi antara lain karena pembayaran utang subsidi tahun-tahun sebelumnya sebesar Rp 25 triliun, sementara realisasi nilai harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) tahun 2018 sebesar 67,5 dollar AS per barel lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi APBN yang hanya 48 dollar AS per barel.
Selain itu, realisasi nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.247 per dollar AS lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi APBN sebesar Rp 13.400 per dollar AS. Selain hal tersebut, terdapat penyediaan bahan bakar minyak dan listrik oleh badan usaha melalui skema subsidi maupun skema penugasan, yang harga jualnya ditetapkan pemerintah di bawah harga keekonomisan.
"Pemerintah dan DPR perlu membahas skema pengelolaan keuangan dan pelaporan pertanggungjawaban yang tepat atas penetapan harga jual di bawah harga keekonomisan tersebut," ujar dia.
Sebelumnya, Defisit perdagangan mencapai rekor terburuk di April 2019 membuktikan bahwa resep-resep yang dikerjakan oleh tim ekonomi Jokowi, termasuk Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang berada di dalamnya telah gagal.
“Resep-resep apakah itu?"
"Seperti diketahui, sejak tahun lalu, berbagai resep untuk memperbaiki berbagai defisit dalam indikator seperti neraca perdagangan coba dilancarkan pemerintah Jokowi."
"Sebut saja, resep menaikkan PPh pasal 22, seribuan jenis barang impor yang efektif 13 September 2018, melaui peraturan menteri keuangan," ungkap Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Menurut Gede Sandra, resep itu tidak efektif karena yang dikenakan tarif adalah barang-barang yang nilainya tidak signifikan seperti shampo, kosmetik, dan lain-lain.
Sementara, untuk impor yang besar-besar seperti baja dari Tiongkok, masih terus masuk dalam jumlah besar padahal Tiongkok terbukti melakukan politik dumping untuk komoditi bajanya,” kata Gede Sandra.
Jadi, kata Gede Sandra, terbukti kebijakan Sri Mulyani dalam menekan defisit perdagangan non migas tidak berdampak.
Selain itu, kata Gede Sandra, kebijakan tim ekonomi Jokowi lainnya seperti konversi energi biodiesel B20 untuk industri juga belum terealisasi sesuai harapan.
Buktinya, kata Gede Sandra, impor migas kita masih menyumbang porsi terbesar, lebih dari 60% total defisit perdagangan di April 2019.
Sementara, kebijakan pemerintah yang seharusnya berdampak cukup positif, seperti pengembalian devisa hasil ekspor (DHE), yang mengadopsi ide Rizal Ramli, baru bulan Mei 2019 berlaku efektif. Jadi, belum dapat diukur manfaatnya.
"Itulah sebabnya indikator eksternal lainnya seperti transaksi berjalan (current account) masih terus juga catat defisit besar."
"Defisit transaksi berjalan kuartal 1 2019 sebesar 2,6% PDB lebih buruk dari periode yang sama di tahun 2018 sebesar 2,4% PDB,” ujar Gede.
Selain lebih buruk dibandingkan tahun lalu, nilai defisit transaksi berjalan Indonesia kuartal I 2019 sebesar USD 7 miliar merupakan yang terburuk di kawasan ASEAN.
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura semuanya mengalami surplus transaksi berjalan berturut-turut: USD 2,6 miliar, USD 6 miliar, USD 1,7 miliar, dan USD 17,6 miliar.
Yang menemani di zona defisit transaksi berjalan hanya Filipina, USD 201 juta, tidak sebesar Indonesia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "BPK Soroti Utang Pemerintah, Ini Tanggapan Sri Mulyani", dan dengan judul "Ini 3 Catatan BPK untuk Laporan Keuangan Pemerintah Tahun 2018", Penulis : Mutia Fauzia