dr. Hj. Merry Yuliesday, MARS
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat
PEMBANGUNAN kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, ditandai dengan peningkatan Umur Harapan Hidup
(UHH). Ada 4 (empat) faktor yang sangat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, yaitu: 1. Faktor Lingkungan, 2. Faktor Perilaku, 3. Faktor Pelayanan Kesehatan dan 4. Faktor Keturunan.
Faktor lingkungan dan faktor perilaku merupakan faktor yang sangat dominan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan melalui 3 (tiga) pilar yang meliputi 1. Paradigma sehat melalui upaya promotif dan preventif, 2. Peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, 3. Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) yang dikenal dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Kawasan kumuh di Padang |
Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di permukaan tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya, antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis.
Ketiga, dampak oleh kedua kondisi tersebut sering mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber pencemaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan seluruhnya.
Kawasan kumuh di pinggir pantai Kota Padang |
Pemukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, serta kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat (UU No 1 Tahun 2011).
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pemukiman kumuh diantaranya
sanitasi yang tidak memadai, praktek kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan serta air yang terkontaminasi. Semua hal tersebut dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat. Penyakit-penyakit yang terkait dengan ini diantaranya disentri, kolera, diare, typus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernafasan
kronis dan infeksi parasit usus.
Di samping itu, keluarga miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung melakukan praktek-praktek kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kesehatan pada anak.
Kawasan pemukiman kumuh tidak terlepas dari penyediaan air bersih dan sanitasi yang merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan harus terpenuhi. Derajat kesehatan masyarakat paling besar ditentukan oleh faktor lingkungan, termasuk derajat kesehatan di kawasan kumuh.
Daerah kumuh pada hakekatnya sangat erat hubungannya dengan penataan bangunan yang tidak teratur, tempat sampah yang kurang, tidak punya jamban/MCK, sarana air bersih yang kurang memadai. Kondisi ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti ekonomi, sosial budaya, tingkat pendidikan dan perilaku masyarakat yang kurang mendukung.
Menyikapi hal tersebut Kemenkes melalui Dinas Kesehatan memiliki wewenang terhadap perubahan perilaku hidup bersih dan sehat dan telah diintervensi dengan pendekatan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) sesuai Permenkes No 3 Tahun
2014.
Berdasarkan pengecekan langsung melalui aplikasi Smart STBM yang dikeluarkan Kemenkes, hingga Agustus 2018 lalu masih ada sebanyak 1,2 juta atau 22,38 persen masyarakat Sumatera Barat masih melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Hal ini berarti 1 dari 5 orang penduduk provinsi ini masih belum memiliki kesadaran akan pentingnya sanitasi bersih.
Di dalam STBM ada 5 Pilar yang terkait dalam penanganan lingkungan kumuh, yaitu:
1. Stop Buang Air Besar Sembarangan
2. Cuci Tangan Pakai Sabun
3. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga
4. Pengolahan sampah rumah tangga
5. Pengelolaan limbah rumah tangga.
Sampel komplek permukiman dengan sanitasi, penyediaan air minum dan drainase tertata baik |
menggunakan metode pemicuan dengan pemberdayaan masyarakat. Yang tujuan akhirnya yaitu masyarakat dapat menyadari perilaku nya yang selama ini tidak bersih menjadi bersih.
Dalam pelaksanaannya, STBM masih menerapkan 1 pilar yaitu Akses Sanitasi yang dapat terpantau melalui Smart STBM, Sumatera Barat akses jamban 77.01 % dengan jumlah nagari ODF (Open Defecation Free) atau yang biasa disebut dengan nagari yang sudah stop buang air besar sembarangan 176 dari 1.117 nagari/kelurahan yang ada di Sumatera
Barat. Jadi ada 941 nagari/kelurahan yang belum stop buang air besar sembarangan, dan ada 2 (dua) kota yang sudah ODF yaitu Kota Solok dan Kota Payakumbuh.
Dalam pencapaian ini diperlukan sinergitas kerjasama antara OPD terkait masalahd aerah kumuh sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing dilakukan dengan pokja AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan), seperti Dinas Kesehatan bertanggungjawab dalam merubah perilaku, sementara Dinas Pekerjaan Umum (PU) bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan fisik sarana dan prasarana. Selanjutnya koordinasi antar program yang ada di lintas sektor, seperti:
Program PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Masyarakat) yang tersebar di 16 Kabupaten/Kota. Program ini meliputi penyediaan air bersih dan adanya kewajiban masyarakat untuk berubah perilaku hidup bersih dan sehat dengan cara membuat jamban setelah air mengalir di rumah mereka.
Program Sanimas (Sanitasi Masyarakat) merupakan kegiatan pemicuan dilakukan oleh petugas puskesmas selanjutnya baru dibangun sanitasi komunal. Sanimas tersebar di beberapa kabupaten/kota yang ada di Sumbar.
Program Kota Ku yang ada di beberapa kota di Sumbar. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan melalui koordinasi lintas sektor mulai dari Pusat (Kemenkes), Dinkes
Provinsi/Kabupaten/Kota dan Puskesmas.
Upaya lain yang dilakukan oleh sektor kesehatan adalah melalui Konsep Kota Sehat (KKS) yang pertama kali dikembangkan oleh WHO tahun 1980. KKS merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan demi mencapai kota yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan, ketentraman dan kesehatan bagi masyarakat dalam menjalankan kegiatan kehidupannya.
KKS tidak hanya fokus pada permasalahan pelayanan kesehatan belaka, namun kepada segala aspek yang mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Keberadaan kawasan kumuh dalam suatu kota/kabupaten akan menyebabkan gagalnya KKS. Pemukiman kumuh yang identik dengan lingkungan yang buruk serta perilaku hidup bersih dan sehat yang rendah, akan menimbulkan berbagai massalah kesehatan di kawasan tersebut.
Berdasarkan data 2017, terdapat 6.400 Hektar kawasan kumuh di Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten Padangpariaman terbanyak, dengan kawasan kumuh 2.926 hektar. Disusul Pesisir Selatan dengan luas 1.190 hektar.
Penduduk yang tidak tinggal di pemukiman kumuh tidak mungkin hanya tinggal di dalam pemukiman kumuh tersebut. Sebagian bekerja, bersekolah, maupun melakukan aktifitas lain di luar pemukiman kumuh. Dikhawatirkan
penduduk yang tinggal di pemukiman kumuh telah terjangkit suatu penyakit dan akan menularkan penyakit tersebut kepada orang lain dibluar pemukiman kumuh. Ketika penyakit yang ditularkan dapat berkembang dengan cepat, maka bukan tidak mungkin KLB (Kejadian Luar Biasa) akan terjadi di seluruh kota.
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Kemenkes dan lintas kementerian
lainnya yaitu Program Kabupaten/Kota Sehat. Program ini bertujuan untuk memicu pemerintah daerah untuk mendapatkan penghargaan Swatisaba.
Sumatera Barat mengikuti penghargaan ini mulai tahun 2005 dan untuk 2017 penghargaan Padapa diraih oleh
Kabupaten Solok Selatan. Penghargaan Wiwerda oleh Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Bukittinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kabupaten Solok dan Perhargaan tingkat atas yaitu Wistara didapat oleh Kota Payakumbuh. Bahkan sudah 5 kali "kota botiah" ini memperoleh Wistara dan nomor 1 tingkat nasional.
Kota Padang sudah mendapatkan Wistara sebanyak 4 kali dan Kota Padang Panjang mendapatkan Wistara ke 5.
Selain penghargaan Kabupaten/Kota Sehat ada juga lomba Lingkungan Bersih dan Sehat (LBS) yang juga melibatkan lintas sektor, termasuk organisasi seperti
TP-PKK.
Dari seluruh upaya yang telah dilakukan, diharapkan adanya komitmen yang tinggi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan pemangku kebijakan tertinggi di pemerintahan seperti gubernur, walikota dan bupati dalam rangka memberantas lingkungan kumuh di Sumatera Barat.
Walaupun secara tugas dan fungsi untuk masalah daerah kumuh berada pada sektor
PU-PR, namun demikian penanganan masalah daerah kumuh harus dilakukan oleh multi sektor terkait, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
***