JAKARTA -- Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah, mendapat kritik. Sejumlah pihak menilai PMA ini menjadi salah satu faktor terjadinya jual beli jabatan dalam pemilihan rektor di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil H. Kamaruddin Amin, MA
menjelaskan bahwa PMA 68/2015 itu tidak serta merta terbit. Menurutnya ada proses perdebatan panjang di DPR, kampus dan masyarakat dalam penyususan PMA tersebut.
"Sebelum PMA ini terbit, pimpinan PTKIN dipilih oleh Senat. Senat lalu menyerahkan tiga nama kepada Menteri Agama untuk dipilih salah satunya. Dalam perkembangannya, sebagian masyarakat kampus kemudian menilai bahwa calon rektor atau ketua yang dipilih harus nomor satu dari pilihan senat," terang Kamaruddin di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Mekanisme ini, lanjutnya, dalam perkembangannya menjadi instrumen yang menciptakan polarisasi masyarakat kampus menjadi sangat tajam. Di dunia kampus, muncul tim sukses, bahkan sejak dua tahun sebelum pemilihan sehingga polarisasi sudah mulai mencuat. Dampaknya, setelah rektor terpilih, ada pendukung yang merasa punya jasa lalu meminta jabatan. Sementara yang kalah harus bergeser. "Perseteruan seperti ini bahkan bisa terjadi selama satu periode masa jabatan," tegasnya.
"Ini salah satu latar belakang kenapa PMA ini muncul. Kampus menjadi sangat politis dan dampaknya sampai mahasiswa karena masing-masing punya dukungan," sambungnya.
Menurut Kamaruddin, Menag Lukman Hakim Saifudin melihat hal ini sebagai kondisi yang tidak produktif. Untuk itu, Kemenag berijtihad untuk mengeluarkan kebijakan agar suasana kampus lebih kondusif. "Maka dibuatlah PMA 68 tahun 2015," ujarnya.
#Mekanisme PMA 68
PMA 68/2015 tetap memberikan kewenangan kepada senat untuk memberikan penilaian secara kualitatif kepada calon. Penilaian itu antara lain mencakup integritas, kompetensi akademik, pengalaman dan kemampuan manajerial, leadership dan kerjasama calon rektor atau ketua.
"Penilaian Senat menjadi salah satu dasar dan pertimbangan komisi seleksi (komsel) dalam memberikan penilaian kepada calon. Artinya, penilaian senat sangat penting dalam proses seleksi dimaksud," tutur Kamaruddin.
Hasil penilaian kualitatif dari Senat, dikirim ke Kementerian Agama untuk dilakukan seleksi oleh Komsel yang dibentuk oleh Menteri Agama. Komsel bertugas melakukan fit and propert test atas nama-nama yang dicalonkan oleh Senat.
Selanjutnya, kata Kamaruddin, Komsel bekerja untuk menghasilkan tiga nama terbaik, lalu diserahkan kepada Menag untuk dipilih salah satunya. Tiga nama yang diserahkan itu adalah orang-orang yang oleh Komsel dinilai layak menjadi Rektor atau Ketua, sehingga Menag bisa memilih salah satunya.
"Komsel seleksi diisi oleh orang-orang yang mempunyai integritas dan tidak bisa diintervensi. Menag atau siapapun tidak bisa mengintervensi tim komisi seleksi. Anggotanya ada tujuh orang guru besar," tuturnya.
"Ini salah satu ijtihad Menag untuk menciptakan suasana kondusif di Kampus. Memang ada yang mengkritik, tapi tidak sedikit yang mengapresiasi," sambungnya.
"Bahkan, di Amerika (negara yang paling demokratis), rektor tidak dipilih oleh senat, melainkan "dicari" oleh Tim Komite Pencari Rektor," katanya lagi.
Kamaruddin menambahkan bahwa PMA ini sudah memilih 27 rektor PTKIN dan semuanya berjalan dengan lancar, tidak ada keributan, kondusif, serta tidak ada polarisasi civitas akademika secara signifikan. Sehingga, PMA ini diapresiasi banyak pihak, termasuk civitas akademika.
"Ribut-ribut ini muncul kan karena adanya peristiwa OTT yang melibatkan Kanwil dan Kakankemenag, kemudian diasumsikan pemilihan rektor juga bermasalah; sesuatu yang tidak identik," ujarnya.
Meski demikian, Kamaruddin memastikan bahwa pihaknya terbuka untuk perbaikan PMA 68/2015. "Kami terbuka untuk dilakukan evaluasi dan mendiskusikan kembali aturan ini," tandasnya.
(rel/ede)