JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais optimistis jika penyelenggaraan pemilu tidak dinodai kecurangan, maka Prabowo Subianto akan memenangkan Pilpres 2019.
“Insya Allah dengan doa dan usaha kita, pada magrib 17 April 2019 kita akan adakan syukuran, dan Prabowo-Sandi akan dilantik 20 Oktober 2019,” ucapnya, dalam diskusi 'Refleksi Malari, Ganti Nakhoda Negeri?” yang digelar Seknas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).
“Selama rentang waktu 17 April sampai 20 Oktober 2019 itu, kita jadikan Pak Joko Widodo seperti bebek lumpuh, karena sudah pasti kalah dan jangan berbuat macam-macam yang bisa rugikan pemerintahan selanjutnya,” sambung Amien Rais.
Sebelumnya, mantan Ketua MPR itu mengancam Komisi Pemilihan Umum (KPU), jika lembaga penyelenggara pemilu itu terbukti melakukan kecurangan.
Amien Rais menegaskan dirinya akan mendorong gerakan massa bersama untuk menggempur KPU, jika nantinya terbukti ada kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu.
“Awas, KPU jangan sampai berbuat kecurangan. Kalau memang terbukti kita akan turun bersama-sama menggempur KPU,” katanya.
Amien Rais menyatakan, sejumlah kasus seperti tercecernya KTP elektronik, mengindikasikan adanya dugaan rencana kecurangan.
“Kita lihat KTP-el dibuang sembarangan di tong sampah, di semak, di sawah, kurang ajar sekali. Kita harus perhatikan ini. Kita ini lebih pandai dari pemerintah,” tegas Amien Rais Rais.
Sebelumnya, Amien Rais juga mengingatkan KPU untuk netral. KPU, menurut Amien Rais, tidak boleh merasa paling berkuasa, karena hanya berperan sebagai penyelenggara pemilu.
"Cuma gini, saya hanya wanti wanti saudara-saudara KPU, Anda hanya pelaksana. Di sini saya katakan, please jangan sok kuasa, Anda itu cuma pelaksana ya," kata Amien Rais di Jalan Daksa Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (11/1/2019).
Menurut Amien Rais, ketidaknetralan KPU akan merugikan masyarakat yang memberikan hak pilih pada Pemilu 2019.
Salah satu contohnya, masalah daftar pemilih tetap yang tidak kunjung rampung.
"Saya katakan deh, KPU hati-hati, masa ada daftar pemilu tetap yang sekian juta ternyata bodong. Kemudian ada KTP elektronik, ada ratusan ribu dibuang ke tong sampah, dibuang ke semak belukar dan lain-lain. Ini apa-apaan ya?" tuturnya.
Amien Rais minta KPU jangan macam-macam dalam menyelenggarakan pemilu. Karena, katanya, kubu Prabowo-Sandi memiliki tim IT untuk mengantisipasi kecurangan.
"Tolong, karena kita sudah lebih pandai dari KPU, Insyaallah kita punya tenaga IT juga tidak kalah. Jadi jangan macam-macam lah ya, saya kira itu pesan kami ya," paparnya.
Terancam
KETUA Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandi, Djoko Santoso, mengatakan, pihaknya siap mundur dari ajang Pilpres 2019, jika potensi kecurangan tak bisa dihindari.
"Memang supaya tidak terkejut, barangkali, kalau tetap nanti disampaikan Prabowo Subianto, pernyataan terakhir Prabowo Subianto adalah kalau memang potensi kecurangan itu tidak bisa dihindarkan, Prabowo Subianto akan mengundurkan diri," papar Djoko Santoso saat bertemu Gerakan Milenial Indonesia, Minggu (13/1/2019).
Lantas, apa konsekuensi yang bakal diterima Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno jika memang benar-benar mundur dari kontestasi Pilpres 2019?
Pasal 236 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat 1 huruf f dilarang mengundurkan diri.
Hal itu terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.
Apalagi, capres dan cawapres yang diusung gabungan partai politik sudah menyepakati calonnya tak akan mundur.
Hal itu diatur dalam pasal 229 ayat 1 huruf f UU Pemilu, yang menyebutkan gabungan partai politik dalam mendaftarkan bakal pasangan calon ke KPU wajib menyerahkan surat pernyataan dari bakal calon tidak akan mengundurkan diri.
Lalu, aturan larangan untuk mundur juga ditegaskan dalam pasal 552 dan pasal 553.
Pasal 552 ayat (1) menegaskan, capres atau cawapres yang sengaja mengundurkan diri sejak penetapan pasangan calon hingga pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, akan dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp 50 miliar.
Sedangkan pasal 552 ayat (2) mengatur tentang pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan atau pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, akan dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp 50 miliar.
Kemudian, pasal 553 mengatur tentang calon presiden atau wakil presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, maka sanksi yang ditetapkan dalam pasal ini lebih berat, yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Ancaman mundur Prabowo Subianto dan timnya dari penyelenggaraan pilpres bukan kali ini saja terjadi.
Pada Pilpres 2014, Prabowo Subianto yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa, juga sempat menyatakan mundur dari proses penyelenggaraan Pilpres 2014, saat proses rekapitulasi suara.
Alasannya sama, mereka mencurigai adanya kecurangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Sebelumnya, TIM Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin tak mempermasalahkan wacana mundurnya calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dari kontestasi pemilihan umum.
Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua TKN Jokowi-Maruf Amin mengatakan, mundur dari pencalonan sepenuhnya kewenangan Prabowo Subianto. Namun, ada konsekuensi yang harus diterima.
"Ya kalau mundur silakan mundur. Cuma harus diingat, mundur itu kena denda, yang kedua pidana," kata Abdul Kadir Karding saat dikonfirmasi wartawan, Jakarta, Senin (14/1/2019).
Abdul Kadir Karding berujar, mundurnya Prabowo Subianto bisa didasari, karena kecurigaan Prabowo Subianto mengenai kecurangan di Pemilihan Umum 2019.
Meski, ucap Abdul Kadir Karding, Prabowo Subianto tak bisa membuktikan hal tersebut.
Prabowo Subianto ditengarai Abdul Kadir Karding ingin mem-framing opini, terutama mengenai pemilu dikangkangi oleh kepentingan petahana. Abdul Kadir Karding berpandangan wacana itu menimbulkan dampak negatf dan positif. Negatifnya, ada upaya delegitimasi pemiliham umum.
"Ini berbahaya bagi delegitimasi terhadap KPU, sekaligus juga delegitimasi terhadap pemerintahan," ujar Abdul Kadir Karding.
Namun, Abdul Kadir Karding melihat ada dampak positif jika Prabowo Subianto hengkang dan menyisakan satu kontestan di Pemilu 2019. Itu pun kalau Prabowo Subianto benar-benar memenuhi ancamannya.
"Sangat menguntungkan Pak Jokowi karena tidak ada lawan. Jadi sebaiknya bicara yang positif-positif saja," tutur Abdul Kadir Karding.
Sebelumnya, Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandi Djoko Santoso mengatakan, jagoan pihaknya siap menyatakan mundur jika potensi kecurangan tak bisa dihindari.
"Memang supaya tidak terkejut, barangkali, kalau tetap nanti disampaikan Prabowo Subianto, pernyataan terakhir Prabowo Subianto adalah kalau memang potensi kecurangan itu tidak bisa dihindarkan, Prabowo Subianto akan mengundurkan diri," papar Djoko Santoso saat bertemu Gerakan Milenial Indonesia, Minggu (13/1/2019).
(dtc/zal/pen)