Penulis : Ecevit Demirel |
HINGGA hari ini, khalayak masih akrab dengan istilah wartawan
bodrek, wartawan preman dan banyak lagi istilah minor lainnya. Pada satu
sisi ada yang membela idealisme wartawan, ada pula yang mendukung
pemberian "tali asih" atau "amplop" pada wartawan.
Nah, ketika sekelompok jurnalis _keukeuh_ menolak "budaya amplop",
timbul pertanyaan di benak kita. Apakah karena mereka sendiri sudah
mapan? Misalnya sudah dapat gaji (plus bonus) yang baik dari
perusahaannya bekerja, atau sudah emang sedari bayi-nya sudah mapan?
Pertanyaan ini muncul setelah melihat realita di lapangan, rata-rata
kehidupan wartawan media swadaya atau kasarnya "kelas teri", masih dalam
skala memprihatinkan. Masih berpenghasilan pas-pasan.
Hingga detik ini, masih sangat banyak perusahaan media yang belum mampu
memberi wartawannya penghasilan layak. Penghasilan awak media -- tidak
terkecuali para pemimpin mass media --, rata-rata masih di bawah UMR.
Bayangkan saja, saban hari musti mengeluarkan biaya operasional dan
biaya produksi, musti setor berita, namun penghasilan dengan derasnya
keringat yang mengucur tidaklah sebanding!
Dari realita tersebut, maka tak sedikit pula media (cetak/online) yang
meminta wartawannya turut serta mencari dan mengorder iklan. Ya, tentu
saja demi memperoleh penghasilan yang layak seraya berjuang
mempertahankan eksistensi dan produktivitas media masing-masing.
Bicara soal idealisme pers, diakui atau tidak, wartawan dihadapkan
dengan persoalan perut dan tuntutan profesi yang digelutinya. Satu hal
yang patut diingat serta dipahami, wartawan juga manusia, bukan robot.
Intinya, ada solusi antara masalah perut dan masalah idealisme.
"Ngemeng ngemeng", meminjam bahasa komedian Tukul Arwana, hal yang
menjadi momok menyebalkan bagi banyak pihak -- termasuk kalangan
wartawan sendiri, yakni munculnya wartawan preman alias wartawan yang
maksa minta duit dengan beragam trik dan alasan. Sementara pada sisi
lain, banyak di antara pelakon premanisme pers (catatan; bukan
premanisme terhadap pers, dimana yang jadi korban premanisme adalah
wartawan) ini yang belum sepenuhnya memahami kaidah profesi
jurnalistik.
Premanisme pers, yaitu cara-cara pemberitaan yang memojokkan dan
menyudutkan, sehingga merugikan pihak-pihak yang ada dalam kelompok
masyarakat.
Segelintir pers akhir-akhir ini sering mempraktekkan apa yang dikatakan
‘pukul dulu urusan belakangan'. Jadi diberitakan dulu, kalau ada protes,
somasi dan sebagainya, itu urusan belakangan dengan berdalih telah
melakukan "cover bothside" yaitu wartawan telah mencoba menghubungi
pihak-pihak atau sumber informasi tetapi tidak bertemu langsung,
orangnya tidak di tempat, telepon tidak dijawab, pesan singkat tak
dibalas dan lain-lain.
Seharusnya bila sumber informasi tidak dapat dihubungi atau belum
memberikan konfirmasi, harus diupayakan mengumpulkan
keterangan-keterangan dari sumber-sumber lain. Sedemikian rupa, sehingga
informasi yang diperoleh menjadi lebih lengkap dan utuh, baru
disiarkan. Jadi sebuah pemberitaan yang baik bersifat akomudatif, tidak
berhenti pada satu sumber.
Dalam iklim kemerdekaan pers yang sangat liberal saat ini, penataan
terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) itu merupakan hal yang mendasar dan
pokok. Karena itu KEJ bukan “kartu mati” melainkan “harga mati”, dalam
arti harus dipahami dan ditaati kalau mau menjalankan tugas-tugas
jurnalistik secara baik. ***
# _Penulis adalah Ketua Ikatan
Kekeluargaan Wartawan (IKW), sebuah wadah sosial insan seprofesi di
Padang, Sumbar. Tulisan disarikan dari berbagai sumber_