Elza Peldi Taher
SEMINGGU selepas Lebaran, Jakarta masih puasa dari kemacetan. Jalan-jalan protokol yang biasanya mendidih oleh deru kendaraan kini sejuk dan lengang. Antasari, Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto, urat nadi yang saban hari menjadi sungai logam berarus deras—kini masih lancar. Kota yang biasanya tak pernah tidur kini tampak seperti tengah menikmati siesta panjang.
Jakarta yang dikenal dengan kemacetan 24 jam itu sedang beristirahat. Tapi jeda ini hanya sementara. Minggu ini, mesin besar itu akan segera kembali berdentum. Dalam hitungan hari, ia akan menarik masuk jutaan manusia dari pinggiran, dari stasiun-stasiun, terminal, dan gerbang tol. Kota ini ibarat dapur besar yang kembali dibuka setelah jeda hari raya—menyambut para tukang masak, tukang cuci, dan tukang cicip, yang siap kembali menghidupkan tungku. Mengangkut para pembesar dan politisi yang habis pulang ke kampung halamannya.
Jakarta adalah anomali geografis sekaligus sosial. Siang hari, penduduknya 12 juta. Begitu malam turun, tinggal 7 juta. Lima juta lainnya adalah para komuter—datang dari radius Jabodetabek, seperti kawanan burung yang terbang pagi-pagi buta dan pulang menjelang petang. Mereka tak tinggal di Jakarta, tapi hidup mereka digantungkan padanya.
Setiap tahun, menjelang Lebaran, para pejabat melempar imbauan yang tak pernah absen: “Orang yang tak punya keterampilan sebaiknya tidak datang ke Jakarta.”
Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno mengingatkan agar para pendatang tak datang dengan tangan kosong—karena mereka akan bersaing langsung dengan penduduk kota yang sudah matang secara keahlian.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, turut bersuara: siapa pun yang merantau ke Jakarta harus siap secara mental dan keterampilan agar tak menjadi beban.
Gubernur Pramono Anung menekankan pentingnya memiliki identitas resmi dan kesiapan kerja, sementara anggota DPRD DKI, Hardiyanto Kenneth, minta pengurus RT/RW lebih ketat mengawasi pendatang baru.
Niat para pejabat itu mungkin baik, tapi terdengar seperti nasihat dari menara gading. Sebab kenyataannya, Jakarta tetap saja menjadi magnet. Tak hanya bagi mereka yang punya keterampilan, tapi juga bagi yang hanya membawa tekad dan keberanian. Jakarta seperti tanah aluvial—tak perlu disiram pupuk, tetap subur bagi siapa saja yang mau menanam harapan, meski hanya dengan cangkul tua dan tangan kasar.
Lihatlah, mereka yang datang dari kampung dengan bekal minim tetap bisa menyambung hidup. Ada yang menjadi kuli bangunan, penjual gorengan, sopir, buruh harian, pembantu rumah tangga, pengamen, tukang tambal ban. Pekerjaan-pekerjaan yang mungkin tak masuk radar statistik elite pengambil kebijakan, tapi justru menjadi tulang-tulang kecil yang menyangga tubuh raksasa bernama Jakarta.
Jakarta, meski keras dan galak, adalah ibu tiri yang murah hati. Ia marah dengan polusi, tapi tetap memberi makan. Ia menyemburkan panas dan tekanan, tapi tak pernah menutup pintu bagi siapa pun yang ingin mencoba peruntungan. Orang datang ke Jakarta bukan karena kepala batu, tapi karena kota ini, betapapun bising dan brutalnya, tetap menjanjikan sesuatu yang tak dimiliki kampung halaman: kemungkinan.
Imbauan para pejabat, karena itu, lebih terdengar seperti suara angin di tengah terminal—didengar lalu lewat begitu saja. Bukan karena rakyat tak mau taat, tetapi karena Jakarta tetap menjanjikan harapan. Ia bukan surga, bukan pula tanah gersang. Ia adalah ladang keras yang masih bisa menumbuhkan panen bagi mereka yang tak takut kotor tangan.
Para pemimpin barangkali terlalu sibuk menghitung angka-angka, hingga lupa menengok ke bawah—ke lapak kaki lima, ke stasiun pagi, ke pasar-pasar yang berdenyut sejak subuh, ke lorong-lorong tempat kehidupan kota ini sesungguhnya berputar.
Jakarta adalah tanah yang subur. Bukan karena rencananya, tapi karena daya hidup orang-orangnya. Kota ini tetap berdiri, justru karena mereka yang kerap dianggap tak layak tinggal. Seperti yang dikatakan Tan Malaka: Kemiskinan dan kekurangan tidak boleh membuat orang kehilangan keberanian. Di sanalah ujian hidup dimulai.”
Mereka yang datang ke Jakarta bukan karena tak tahu diri, tapi karena punya keberanian untuk mengubah nasib. Kadang keberanian itu lebih penting dari sekadar keterampilan. Kota ini tumbuh bukan hanya oleh rencana, melainkan oleh semangat bertahan orang-orang kecil yang tak pernah disebut namanya dalam rapat-rapat dinas.
Mereka adalah akar yang mencengkeram tanah kota. Mereka mungkin tidak tampak, tapi tanpanya, Jakarta akan roboh pelan-pelan. (*)
Pondok Cabe Udik 5 April 2025