Oleh: Rizal Tanjung
di atas kursi sunyi yang berderit pelan,
duduk lelaki tua dengan tangan penuh warna,
kuasnya bukan sekadar kayu dan bulu,
melainkan pena puisi, menulis di wajah senyap semesta.
kanvas tak lagi bisu,
sebab darinya lahirlah engkau—
perempuan dari dalam bingkai,
bernafas dari sentuhan lembut rindu.
ia tak melukismu, kasih,
ia memanggilmu dari dimensi yang tak tampak,
mengukir setiap lengkung bibir dan siluet ragu
dengan getar hati yang patah namun tetap ingin.
engkau, gadis dari bayangan khayal,
bergaun merah jambu, semerah bara dalam dada,
matamu seteduh malam setelah hujan
yang jatuh diam di balik kaca masa lalu.
ia sentuhkan kuas di pipimu,
seperti angin yang menyisir rambut senja,
dalam diam, ia menyulam keabadian
pada rona kulitmu yang tak pernah mati.
cinta ini bukan sekadar bentuk,
tapi gema yang tak bisa dipeluk oleh waktu.
cinta ini adalah doa yang menjelma wujud,
di antara garis-garis kuas dan detak-detak yang tak sempat terucap.
engkau tak bicara,
namun setiap hela napasmu dalam bingkai
adalah syair bisu yang menampar sunyi,
membuatnya terisak dalam irama tak kasat mata.
waktu pun iri melihatmu,
sebab engkau tak tua, tak lelah, tak pergi,
sementara ia, sang pelukis,
menitipkan usia pada setiap helai rambut yang memutih demi mencintaimu.
ini bukan lukisan,
ini adalah janji yang ia ukir saat hujan,
ketika dunia tak mengerti
bahwa mencintai tak harus memiliki,
cukup mengabadikan dalam keabadian.
dan saat malam turun memadamkan lampu,
kanvas itu tetap menyala,
sebab engkau bukan dari cat dan kain,
engkau adalah imaji cinta—yang hidup selamanya dalam puisi tak bernama.(*)
Sumatera Barat, 12 April 2025