JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh terdakwa eks Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemprov Banten Ardius Prihantono di kasus korupsi pengadaan lahan SMKN 7 Tangerang Selatan (Tangsel). MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Banten yang memvonis terdakwa selama 6 tahun penjara.
"Menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi terdakwa I Ardius Prihantono dan terdakwa II Agus Kartono," dalam putusan kasasi Mahkamah Agung yang dikutip, Selasa (29/8/2023).
Terdakwa II Agus Kartono adalah pihak swasta dalam pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel. Perkara ini merugikan negara hingga Rp 10,5 miliar.
Di tingkat Pengadilan Tipikor, tiga terdakwa divonis bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dalam perkara pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel. Ardius Prihantono, Agus Kartono dan Farid Nurdiansyah divonis bersalah dan dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan.
Ardius dikenakan hukuman uang pengganti Rp 414 juta dan bila tidak dibayar diganti hukuman penjara selama 1 tahun. Sedangkan Agus Kartono dikenakan uang pengganti Rp 6,2 miliar dengan ketentuan bila tidak dibayar dihukum 2 tahun bui. Dan uang pengganti untuk Farid Nurdiansyah sebesar 1,6 miliar dengan ketentuan dihukum bui 1 tahun 6 bulan jika tidak dibayar.
Di Pengadilan Tinggi Banten, hukuman kepada tiga terdakwa itu diperberat. Hukuman Ardius ditambah jadi 6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan.
Kemudian, Agus Kartono dihukum 7 tahun penjara denda Rp 100 juta subsider 3 bulan. Sedangkan Farid divonis bersalah dan dihukum penjara selama 6 tahun denda Rp 100 juta subsider 3 bulan.
Lama hukuman untuk uang pengganti Rp 6,2 miliar jika tidak dibayar untuk terdakwa Agus Kartono diubah dari 2 tahun menjadi 3 tahun bui. Sedangkan untuk terdakwa Farid ditambah dari 1 tahun menjadi 2 tahun jika uang pengganti Rp 1,6 miliar tidak dibayarkan.
Majelis menilai bahwa alasan kasasi terdakwa Ardius yang menyatakan bahwa perbuatannya adalah perdata dan TUN tidak dapat dibenarkan. Terdakwa dianggap memiliki mens rea atau niat dalam melakukan korupsi pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel.
"Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pula putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum atau undang-undang, maka permohonan kasasi dinyatakan ditolak," dalam pertimbangan putusan.
Putusan ini berdasarkan musyawarah Majelis Hakim Agung yang diketuai Soesilo. Dengan Hakim Anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Jupriyadi dibantu oleh M Jazuri sebagai Panitera Pengganti.
Kilas Balik Kasus
Proses pengadaan lahan untuk gedung SMKN 7 Kota Tangsel di RW 03, Kelurahan Rengas, Kecamatan Ciputat Timur, dinilai banyak kejanggalan. Pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten bahkan telah menggelontorkan anggaran Rp10,3 miliar untuk pembangunan gedung baru tersebut.
Namun gedung itu terancam tidak bisa digunakan atau setidaknya bermasalah karena tidak memiliki akses jalan segala arah. Warga setempat mengistilahkan tanah helikopter lantaran jika nanti sekolah itu sudah jadi hanya bisa diakses melalui udara.
Apalagi, lahan untuk SMKN 7 itu berada dilingkup tanah milik Franki, pegawai swasta yang berada di Jakarta. Sedangkan di sisi lainnya, lokasi itu ditutup dengan pembatas tembok milik perumahan.
Keterangan yang diperoleh menyebutkan, tanah seluas sekitar 5.000 m2 lebih itu dibeli Dindikbud Banten pada tahun 2017 dengan harga sekitar Rp2,9 juta per meter persegi.
Tanah tersebut milik Suyut. Namun proses pembeliannya, uang dari Dindidkbud Banten ditransfer bukan ke Suyut, tetapi ke Agus yang hingga sekarang belum diketahui identitas maupun peran dalam proses pembelian tersebut.
Lurah Rengas, Agus Salim, menjelaskan, dipilihnya lahan tersebut sebagai lokasi SMKN 7 Kota Tangsel berawal dari permintaan dari Dindikbud Banten.
Pada medio Juli 2017, pengawas SMK pada Dindikbud Banten bernama Imam, memberitahukan bahwa Dindik Banten membutuhkan lahan untuk pembangunan SMKN 7 Tangsel. Saat itu, kata Agus, ada tiga lokasi yang diusulkan untuk lahan sekolah dimaksud.
“Ada tiga lokasi yang diusulkan oleh tiga kelurahan. Kami mengusulkan lahan di RW 03. Dan akhirnya Dindikbud Banten memilih lahan yang awalnya milik Ibu Suyut itu sebagai lokasi SMKN 7,” ujar Agus Salim, saat ditemui di kantornya, Jumat (21/9/2018).
Agus Salim menjelaskan, pada awalnya lahan itu milik Suyut. Namun terjadi peralihan ke Agus. Sehingga, pada proses pembayarannya Dindikbud Banten mentransfer ke rekening Agus.
Namun, lanjut Agus Salim, saat dibebaskan proses pelepasannya pun hanya berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Suyut dan Agus.
“Jadi Dindikbud Banten membeli lahan itu dari Pak Agus yang surat-suratnya masih berdasarkan PPJB, belum ada AJB (Akta Jual Beli) tanah,” beber Agus Salim.
Sudah Tahu Tak Ada Akses
Terkait tidak adanya akses jalan ke lokasi sekolah, lanjut Agus, tim Dindikbud Banten pernah melakukan survei ke lokasi. Meskipun saat itu mereka tahu bahwa lokasi untuk sekolah tersebut tidak memiliki akses jalan, namun Dindikbud tetap melakukan pembebasan lahan.
Namun belakangan, bahwa terdapat akses jalan melalui pagar pembatas Perumahan Bintaro sepanjang 2 meter yang belakangan diklaim sudah tercatat sebagai aset Pemkot Tangsel.
“Kami sudah dapat surat dari Pemkot bagian aset yang menyatakan bahwa pagar atau jalan (menuju lokasi SMKN 7,red) tersebut merupakan aset Pemkot,” imbuh Agus.
Tak Punya Salinan SPH
Sementara, Camat Ciputat Timur Durrahman memastikan peralihan lahan dari pemilik lahan ke Dindik Banten telah dituangkan dalam Surat Pelepasan Hak (SPH).
Namun ironisnya, kata Camat, pihak Dindik Banten yang kala itu diwakili Sekretaris Dindik Banten Ardiyus tidak memberikan salinan dokumen kepemilikan tanah, termasuk pula SPH.
“Sampai saat ini kami tidak diberikan salinan dokumen maupun SPH. Memang sempat Pak Ardiyus berjanji akan memberikan salinan, tapi sampai sekarang nggak ada itu (dokumen dan SPH,red),” imbuh Durrahman.
Direktur LBH Tangsel Zulman Haris menilai terjadi kejanggalan dalam proses penjualan lahan dari Suyut kepada Agus yang dituangkan melalui PPJB.
Soalnya, proses jual beli antara Suyut dengan Agus berpotensi menghilangkan pajak 10 persen karena menggunakan PPJB yang notabenenya perjanjian dibawah tangan.
Sejatinya jual beli tanah dituangkan dalam Akte Jual Beli (AJB). Sebab dengan AJB maka ada potensi pajak sebesar 10 persen yang dibebankan negara kepada penjual dan pembeli.
“Kami menganggap Dindikbud Banten keliru karena melakukan pembebasan lahan dengan dasar kepemilikan PPJB dari Agus. Sementara AJB kan tentu ada potensi pajak buat negara, nah PPJB itukan legalitasnya tidak kuat karena sama saja di bawah tangan,” kata Zulman.
Kala itu media memantau, di satu pagar komplek Perumahan Bintaro terdapat banner yang isinya menolak fasilitas jalan digunakan oleh pihak manapun untuk kepentingan apapun.
“Kami warga RW 08 Bintaro Jaya Sektor 2 menolak Pembongkaran tembok pembatas wilayah RW 08 untuk keperluan pembuatan akses jalan dan untuk keperluan apapun yang akan digunakan pihak manapun,” demikian bunyi penolakan warga tersebut.
#dtc/bri/taa