#Vito Herlambang
ISTILAH 86 atau 'Lapan Anam' dalam komunikasi khas kepolisian adalah 8-6: Dimengerti. Namun, sudah pula menjadi rahasia umum jika fenomena 86 lainnya marak sekali di kalangan Penegak Hukum. Istilah 86 bisa diartikan: Damai.
Misalnya jika Anda tertangkap tangan bermain judi, lalu diborgol dan diangkut oleh beberapa oknum polisi dengan mobil patroli. Kemudian Anda ditakut-takuti sambil melewati kantor Polres atau Polsek seakan Anda akan dijebloskan saat itu juga ke penjara.
Nah, jika Anda cepat mengerti, isyarat demikian bisa diartikan sang polisi tadi mau me-86-kan kasus yang tengah menjerat Anda. Disana ada proses tawar menawar harga yang musti Anda bayar agar anda terlepas dari segala tuduhan. Besarnya nilai 86 tergantung siapa Anda, kasusnya seberat apa melucuti nama baik Anda. Ini fakta yang empiris.
Istilah 86 ada juga di kalangan penegak hukum selain polisi, seperti Jaksa dan Hakim. Semakin berat perkara yang menimpa Anda semakin banyak biaya 86 nya.
Namun, biasanya 86 di Kejaksaan dan Kehakiman lebih banyak bermain di ranah Pasal yang akan disangkakan kepada Anda, kemudian oknum Hakim akan memvonis Anda dengan hukuman paling ringan. Ada uang? Beres!
Saya pernah menyaksikan pengedar narkotika jenis ganja kering tertangkap tangan dengan barang bukti (BB) lumayan banyak! Sekilo kurang sedikit! Sang pengedar terciduk di kediamannya, diborgol lalu dinaikkan ke mobil. Selanjutnya diproses di kantor polisi. Ujung cerita, sang pengedar tadi hanya diganjar hukuman penjara setahun lebih! Olala! Kenapa bisa begitu ya?
Selidik punya selidik, lagi-lagi cilaka! Rupanya sang pengedar tadi pas disidang di Pengadilan Negeri (PN) hanya didakwa dengan Pasal Pemakai, bukan Pengedar! Ada apa? Tentu saja 86.
Istilah 86 juga merambah dunia Jurnalis. Media pada hakekatnya adalah pilar ke-4 Demokrasi. Maju mundurnya sebuah peradaban tidak terlepas dari peran Media sebagai alat kontrol sosial kemasyarakatan
Fenomena 86 di kalangan oknum wartawan juga bukan rahasia umum lagi. Modusnya adalah dengan mencari-cari kesalahan para pejabat, baik daerah maupun pusat. Para oknum wartawan pemburu 86 ini biasanya sangat jarang membuat berita. Kalau dulu sosok begini biasanya bergabung di koran mingguan. Namun di era yang relatif lebih canggih saat ini, mereka ada di berbagai jenis media. Mulai media cetak hingga media online. Kalau dulu, oknum pemburu 86 bahkan bisa merangsek ke lapangan hanya dengan bermodal Kartu Pers belaka.
Tindak pemerasan yang dilakukan oleh oknum wartawan pemburu 86 ini terhadap para Pejabat Korup biasanya dengan mengancam akan memfolow-up kasus yang melibatkan para pejabat tersebut. Jika tidak ada kesepakatan 86 atau negosiasi sejumlah uang di media tempat mereka bekerja, maka siap-siap saja berita seputar kelakuan para pejabat korup tersia di media mereka. Nah, lantaran perbuatan korup itu benar-benar fakta, tak ada pilihan lain maka terjadilah negosiasi hingga akhir ada kesepakatan 86. Alhasil, terjalinlah lingkaran setan antara Pejabat Korup dan oknum wartawan pemburu 86 ini. Nah, oleh kalangan jurnalis yang bekerja sesuai standar, wartawan jenis ini juga dikenal dengan Istilah Wartawan Bodrex.
Fenomena 86 lainnya sangat banyak jika diuraikan satu persatu. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) juga kerap berlangsung 86 antara para narapidana (Napi) dengan oknum Sipir hingga Pejabat Lapas! Contoh kecilnya, di Lapas ada pelarangan penggunaan handphone (HP), barang elektronik dan lainnya. Aturan tersebut jika dilanggar ada konsekuensinya seperti dimasukkan ke dalam ruangan isolasi 1x1m selama seminggu. Namun lagi-lagi cilaka! Lagi- agi semua bisa di- 86 -kan. Napi pindahan atau yang baru masuk biasanya diwajibkan isolasi selama beberapa hari di tiap Lapas. Namun asal ada Uang, semua bisa koq di- 86 - kan!
#penulis adalah pemerhati sosial dan perilaku aparat penegak hukum, berdomisili di Padang, Sumatera Barat