Wempie Yuliane
Dosen Fakultas Ekonomi Unand
Peneliti Pustrans Unand
KEMACETAN Iedul Fitri Tahun 2022 yang lalu (1443 H) menjadi pengalaman buruk bagi semua pihak, khususnya pengguna jalan, akibat adanya limpahan energi mobilitas yang tertahan selama 2 tahun pandemi covid-19. Tidak hanya Sumatera Barat, Jawa mengalami hal yang sama di mana kemacetan parah terjadi di jalan tol.
Dalam sebuah diskusi pakar transportasi Unand yang juga merupakan Ketua Pustrans Unand, Yostrizal mengungkapkan data kenaikan jumlah volume kendaraan masuk sebanyak 3 kali lipat dari yang biasanya.
Dengan penambahan volume yang demikian drastis serta hambatan-hambatan di jalan seperti kendaraan truk yang berjalan lambat, perilaku pengendara, pasar tumpah, jalan rusak, kendaraan keluar masuk, persimpangan jalan dan bencana adalah persoalan sekunder yang memperparah kemacetan.
Penambahan kapasitas jalan diyakini sebagian besar orang akan efektif mengurangi kemacetan yang terjadi. Namun pengalaman di berbagai Negara termasuk Amerika, ternyata pembangunan jalan akan mendorong permintaan perjalanan baru (induced demand) sehingga solusi tersebut hanya bersifat jangka pendek.
Ahli transportasi biasa menggunakan 3 pendekatan untuk mengatasi persoalan kemacetan: (1) mekanisme pasar, (2) pengaturan plat kendaraan (seperti genap ganjil, atau kelipatan 1,2,3) dan (3) pajak jalan (road pricing / congestion pricing) (Verhoef et al., 2016).
Di antara 3 pilihan tersebut yang memiliki efek kesejahteraan sosial paling tinggi (social welfare = net benefit: benefit-cost) adalah road pricing, diikuti mekanisme pasar dan terakhir pengaturan plat kendaraan kalau di Indonesia lebih dikenal istilah "genap ganjil".
Pertanyaannya, kenapa road pricing tidak diambil oleh pengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah kemacetan?.
Berdasarkan penelitian, road pricing memiliki tingkat penerimaan masyarakat paling rendah (artinya, kebijakan ini adalah keijakan yang tidak populis).
Sudah banyak kota besar di dunia yang menerapkan kebijakan ini sebagaimana yang akan diterapkan di Jakarta dengan menggunakan istilah Electronic Road Pricing (ERP).
Kebijakan road pricing memberikan ruang kepada masyarakat untuk menanggung atau tidak menanggung eksternalitas negatif di jalan raya berupa kemacetan, polusi udara, polusi suara, kecelakaan, keterbatasan ruang publik dan sebagainya (Schroder et al., 2022; Inoguchi et al., 1999; Greene & Wegener, 1997).
Pilihan kedua mekanisme pasar artinya tidak ada campur tangan pemerintah dalam bentuk pajak dan lainnya. Kebijakan ini memberikan manfaat (benefit) paling banyak dan pada saat sama biaya (cost) yang juga tinggi sehingga net benefit akhir berkurang. Pengurangan ini akibat biaya eksternalitas yang tinggi sebagaimana di atas.
Saya menduga kemacetan Iedul Fitri Tahun 2022 yang lalu memiliki eksternalitas yang jauh lebih tinggi karena sudah terjadi chaos, yang disebut tragedy of the common (Hardin, 1968). Mekanisme pasar ini yang berarti meniadakan campur tangan pemerintah dalam bentuk pajak dan pengaturan plat kendaraan disampaikan menjadi tidak optimal dari sisi kesejahteraan sosial karena adanya biaya eksternalitas negatif berupa kehilangan waktu perjalanan (time cost) dan biaya lingkungan (environmental cost) serta biaya sosial (social cost).
Kebijakan terakhir ini dalam bentuk pengaturan plat nomor kendaraan merupakan kebijakan yang paling rendah dari sisi kesejahteraan sosial, tetapi kebijakan ini yang paling sering diambil dalam mengurangi kemacetan.
Benefit yang paling rendah dibandingkan dua kebijakan lain karena karena 50 persen (dalam kasus genap ganjil) permintaan perjalanan tidak bisa dilakukan. Ada hilangnya manfaat dari 50 persen perjalanan yang tidak bisa dilakukan.
Manfaat paling besar dari kebijakan ini adalah biaya eksternalitas yang paling rendah dibandingkan dua kebijakan yang lain. Kelihatannya kebijakan ini paling kurang optimal tetapi kebijakan ini menjadi paling feasible untuk diterapkan karena tingkat penerimaan masyarakat yang relatif lebih baik.
Semua kebijakan di atas tidak akan ada artinya (sebagai sebuah kebijakan transportasi yang berkelanjutan) kalau tidak ada skenario transportasi berkelanjutan berupa transportasi umum dan transportasi aktif seperti jalan kaki dan sepeda. Dalam hal perjalanan antar kota, transportasi aktif menjadi kurang relevan.
Fungsi transportasi umum dalam penyelesaian eksternalitas negatif pasar transportasi adalah mengurangi penggunaan dan ketergantungan kepada transportasi pribadi.
Untuk Sumatera Barat pekerjaan rumah terbesar adalah mengaktifkan jalur kereta api Padang-Bukittingi dan Bukittinggi-Payakumbuh dan bus angkutan umum antar kota yang lebih aman, nyaman dan terjadwal.
Saya baru menyadari ternyata Ketua Pustrans Unand adalah seorang editor di Jurnal Sustainable Cities and Societies dan Jurnal Transport and Health, rujukan jurnal terkait transportasi berkelanjutan yang menjadi trend besar di banyak kota-kota dunia dalam 20 tahun terakhir.
Semoga kebijakan berbasis penelitian yang akan diambil menjadi kebaikan untuk Sumatera ke depan. Insha Allah.
###