JAKARTA -- Sidang perkara dugaan korupsi perizinan lahan kelapa sawit PT Duta Palma Grup di Indragiri Hulu, Riau, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/1/2023), dengan terdakwa Surya Darmadi.
Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Herban Heryadana yang memberi kesaksian menyatakan, dalam menentukan kawasan hutan perlu ada kesepakatan Menteri LHK dengan Pemerintah Daerah, termasuk di Riau.
Kesepakatan tersebut kemudian diformalkan dalam bentuk peta tata guna hutan dengan Surat Keputusan Menteri.
"Kalau kami pelajari dari peta yang ada, peta TGHK bisa ketahuan fungsinya kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan. Di TGHK masih berbunyi HPK atau APL," kata Herban, menjawab pertanyaan kuasa hukum Surya Darmadi, Juniver Girsang.
Kawasan hutan itu sebenarnya tidak mengacu ke wilayah-wilayah administrasi, tetapi dibagi berdasarkan batas-batas administrasi.
Herman menjelaskan bahwa APL adalah area yang statusnya bukan kawasan hutan dan membenarkan jika di Riau ada yang dikonversi dan ada wilayah APL.
Pada 2017, dikeluarkan SK penundaan pemberian izin yakni SK.351/MENLHK/SETJEN/PLA.1/ 7/2017 tanggal 31 Juli 2017 tentang Penetapan Peta indikatif penundaan pemberian izin pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain.
SPT Duta Palma sudah beroperasi sebelum SK penundaan pemberian izin tersebut keluar, sehingga diminta menyelesaikan persyaratan-persyaratan yang belum dipenuhi,
Juniver lalu menyinggung soal pengukuran kawasan dalam Pasal 14, bahwa ada penunjukan kawasan hutan yang berati belum real kawasan hutan.
Herban menjelaskan, bekas kawasan hutan itu merupakan kewenangan Kementerian LHK.
“Penataan batas kawasan hutan itu dilakukan oleh panitia tata batas, anggotanya dari UPT kami, kemudian dari ATR/BPN, kemudian dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota," jelas Herman.
Ia mengatakan bahwa di Riau sudah ada penetapan kawasan hutan dengan SK yang bervariasi.
Ditemui setelah sidang, Juniver mengatakan perusahaan di lokasi Duta Palma terjadi tumpang tindih aturan ketentuan TGHK dengan peraturan daerah. Akibatnya pengurusan izinnya menjadi terhalang sejak tahun 2012. Kewenangan yang berbeda di pusat dan daerah juga menjadi salah satu penyebab, setidaknya sampai tahun 2015.
Dikarenakan terjadi tumpang tindih kebijakan daerah dan pusat itu maka lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administratif, menurut Juniver.
"Setiap perizinan yang sudah terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu 3 tahun untuk memenuhi syarat-syarat agar mempunyai hak sebagaimana HGU dan Hak Pakai," katanya.
"Berlakunya UU Cipta Kerja ini sebetulnya tidak ada lagi permasalahan terhadap Duta Palma karena sudah diakomodir UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020," katanya.
Oleh karenanya, kata Juniver, dalam keterangan saksi dari KLHK sudah dengan tegas menyatakan tidak boleh ada proses karena sudah masuk di dalam SK 351, di mana Duta Palma harus memenuhi syarat-syarat karena sudah terlanjur menguasai kawasan hutan.
"Terlalu dini Kejaksaan mengajukan persoalan ini. Karena apa? Karena tadi di persidangan sudah terbukti bahwa perusahaan-perusahaan yang memasuki kawasan hutan itu, tahap 1 itu sebanyak 1.192 perusahaan,” ujar Juniver.
Kalau Kejaksaan konsisten, kata Juniver, ribuan perusahaan itu harus diproses sebagaimana mereka memproses kepada Duta Palma.
"Namun, apakah tidak menjadi masalah ekonomi, tenaga kerja yang ribuan ada di lokasi ini apabila diproses dan dipenjara? Nah, ini akan penuh penjara. Dan pengadilan harus siap memproses, jadi tidak ada diskriminasi. Tidak ada kambing hitam, tidak ada pilih-pilih jika ingin menegakkan hukum dengan benar," tandasnya.
#rmo/sal/ren