JAKARTA -- Politikus PDIP Trimedya Pandjaitan mengakui adanya kekhawatiran di internal partainya soal eksistensi trah Soekarno. Menurutnya jika bukan trah atau keturunan Bung Karno yang melanjutkan PDIP, nasib mereka bakal sama dengan keluarga Soeharto di Partai Golkar.
"Lihat saja keluarga Pak Harto di Golkar kan seperti apa? Padahal Golkar yang dirikan Soeharto dari nol. Ke depan juga kalau bukan trah Soekarno menurut penilaian subjektif kami akan sepeti itu," kata Trimedya, Anggota Komisi III DPR, Selasa (20/9/2022).
Dengan dasar pemikiran tersebut, Trimedya dan kader-kader lain PDIP di DPR yang tergabung dalam Dewan Kolonel, mendukung Puan Maharani sebagai calon presiden (Capres).
"Jadi apapun bagi kami ya Mbak Puan sebelum ibu (Megawati Soekarnoputri) memutuskan lain. Kalau ibu putuskan lain, ya kami tentu tegak lurus," tuturnya.
Trimedya sebelumnya mengungkap soal adanya Dewan Kolonel di DPR yang bertugas mendongkrak popularitas dan elektabilitas Puan Maharani. Trimedya yang didapuk sebagai koordinator mengungkapkan kisah di balik pembentukannya.
Menurut dia, ide pembentukan Dewan Kolonel berawal dari usulan Johan Budi, anggota fraksi PDIP yang juga mantan jubir KPK.
"Abis rapat ada pengarahan Mba Puan. Kan pembina fraksi dan pembina fraksi cuma satu, Mbak Puan saja. Kemudian masuk ruang pimpinan fraksi, Johan Budi bilang kita loyalis mbak harus buat sesuatu, Dewan Kolonel. Kita tunjukkan bahwa kita loyalis Mbak Puan," katanya.
Setelah Dewan Kolonel itu terbentuk dan Trimedya menjadi kordinator, Ketua Fraksi PDIP DPR Utut Adianto menyampaikan kepada Puan Maharani saat ke luar kota bersama. "Pas Pak Utut ke luar kota sama Mbak (Puan) disampaikan. Mbak Puan seneng," ujarnya.
Trimedya menjelaskan, tidak ada program yang rigid dalam Dewan Kolonel ini, tetapi ada koordinatornya di masing-masing komisi di DPR dari Komisi I sampai Komisi XI yang akan membuat kegiatan di setiap komisi dan juga daerah pemilihan (dapil) dalam rangka mengharumkan nama Puan Maharani.
"Apa yang bisa kita lakukan setiap komisi kita lakukan di dapil juga. Kalau bahasanya Pacul (Bambang Wuryanto/Sekretaris Fraksi) kan bagaimana mewangikan Mbak Puan di dapil kita masing-masing,?" terang Trimedya.
Trimedya mengatakan, Dewan Kolonel ini sudah berlangsung selama 5 bulan dengan semangat agar penerus PDIP tetap trah Sukarno, agar PDIP tidak mudah dikendalikan.
Adapun koordinator di masing-masing komisi di antaranya, Komisi I DPR Dede Indra Permana, Komisi II DPR Junimart Girsang, Komisi III DPR dirinya sendiri, Komisi IV DPR Rizky Aprilia, Komisi V DPR Lasarus, Komisi VI DPR Adi Sulistyo, Komisi VII DPR Dony Oekon, Komisi VIII DPR My Esti Wijayanti, Komisi IX DPR Abidin Fikri, Komisi X DPR Agustina Wilujeng dan Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno dan Masinton Pasaribu. "Jenderal cuma dua, Jenderal Pacul dan Jenderal Utut," tandasnya.
Puan Klaim Sang Ayah Arsitek Kemerdekaan Sejumlah Negara di Dunia
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Bidang Pemerintahan dan Keamanan Puan Maharani mengatakan Presiden pertama RI yang juga kakeknya, Sukarno, berperan membangun komunikasi antarbangsa dan negara.
Puan menyebut Bung Karno juga turut menjadi arsitek kemerdekaan sejumlah negara di dunia.
"Menurut saya Bung Karno yang aktif membangun jembatan antarbangsa, di situlah beliau menjadi arsitek kemerdekaan bangsa-bangsa dengan semangat membangun tatanan dunia baru," kata Puan dalam sambutannya di acara diskusi Bung Karno di kantor DPP PDIP, Jakarta, Minggu (3/7/2022).
Puan mengatakan karena perannya tersebut, Sukarno mendapat gelar doktor honoris causa di bidang teknik sains dari Universitas Berlin, Jerman.
"Mengapa mereka ingin menganugerahi gelar itu kepadanya? Ternyata presiden Universitas Berlin mengatakan, menurut mereka Presiden Bung Karno telah membuat jembatan (komunikasi) yang hebat," ujarnya.
Bung Karno, aku Puan, sempat bingung kala dianugerahi gelar kehormatan tersebut. Pihak panitia pun menjelaskan kepada kakeknya tersebut bahwa Bung Karno berjasa dalam membangun jembatan komunikasi antarnegara-negara di dunia.
Puan menerangkan semangat Bung Karno dalam membangun tatanan dunia baru juga terlacak dalam pleidoinya di pengadilan Hindia Belanda pada pada 1930. Kala itu, lewat pleidoi berjudul Indonesia Menggugat, Bung Karno sangat menentang kolonialisme dan imperialisme.
Gagasan Bung Karno soal kemerdekaan juga dilihat dalam pidatonya di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Bung Karno dalam pidato itu menginginkan agar Pancasila menjadi dasar falsafah Indonesia.
"Kita membaca pidato Bung Karno di sidang BPUPK pada 1 juni 1945 yang menginginkan dasar falsafah dan ideologi negara Indonesia merdeka Pancasila," katanya.
#snc/gal/bin/cnn