SOLO, JATENG -- Meski mengakui berbagai asas dan falsafah relijius setempat, namun Undang-undang Sumatera Barat (UU Sumbar) bukan peluang membuat Peraturan Daerah (Perda) Syariah. UU ini sekedar memastikan bahwa Sumbar punya UU sendiri, terpisah dari Riau dan Jambi.
Demikian ditegaskan pakar hukum tata negara Agus Riewanto kepada awak media yang menghubunginya, Kamis (14/7/2022).
Salah satunya, urai Agus, bisa ditilik pada Pasal 5 huruf C, yang berbunyi adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara (ABS), syara' basandi kitabullah (ABK) sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku.
"Adanya prinsip ABS-SBK itu memang mencerminkan karakter masyarakat Sumbar. Hanya perlu diwaspadai kelak akan munculnya ruang keistimewaan dan penerapan perda-perda syariah di kabupaten/kota Sumbar yang bertentangan dengan prinsip Pancasila dan NKRI," ujar dosen FH UNS Surakarta itu.
Agus Riewanto menilai perlu kontrol dan komitmen elite lokal Sumbar dan masyarakat bahwa akomodasi ABS-SBK itu memang diakui dalam Pasal 18 UUD 1945.
"Namun tidak dalam pemaknaan seluas-luasnyanya kecuali hanya merekognisi nilai-nilainya. Bukan dimaknai keistimewaan seperti Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI dan Papua," cetus Agus.
Ia menegaskan DPR dan pemerintah pusat seharusnya sudah menutup keistimewaan daerah. Sebab, karakteristik empat daerah itu spesifik karena pertimbangan politik, ekonomi, keamanan dan pertanahan yang berbeda dengan Sumbar.
"Praktik desentralisasi asimetris hanya empat provinsi itu tidak untuk daerah lain, termasuk Sumbar," pungkas Agus.
#dtc/isp