JAKARTA -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) merilis laporan praktik Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai negara, salah satunya Indonesia. Sejumlah hal, mulai dari penggunaan PeduliLindungi hingga buzzer Indonesia disoroti oleh laporan HAM AS tersebut.
Dikutip dari 2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia yang dilihat dari situs Deplu AS, Jumat (15/4/2022), ada sejumlah hal yang disorot dalam laporan tersebut. Salah satunya terkait gangguan sewenang-wenang atau melanggar hukum terkait privasi.
"Laporan Tahunan Negara tentang Praktik Hak Asasi Manusia - Laporan Hak Asasi Manusia - mencakup hak individu, sipil, politik, dan pekerja yang diakui secara internasional, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan perjanjian internasional lainnya. Departemen Luar Negeri AS menyerahkan laporan tentang semua negara yang menerima bantuan dan semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada Kongres AS sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Luar Negeri tahun 1961 dan Undang-Undang Perdagangan tahun 1974," demikian tertulis di awal laporan itu.
AS mengklaim laporan itu ditujukan untuk memberikan catatan faktual dan objektif tentang status HAM di seluruh dunia - pada tahun 2021, yang mencakup 198 negara dan wilayah. Laporan Negara tentang Praktik Hak Asasi Manusia sudah dilakukan AS selama 5 dekade.
"Informasi yang terkandung dalam laporan-laporan ini sangat penting atau mendesak mengingat pelanggaran dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di banyak negara, kemunduran demokrasi yang terus berlanjut di beberapa benua, dan otoritarianisme yang merayap yang mengancam hak asasi manusia dan demokrasi," tulis Deplu AS.
PeduliLindungi Langgar Privasi
Dalam laporannya terhadap kondisi HAM di Indonesia, AS membahas gangguan sewenang-wenang atau melanggar hukum terkait Privasi, keluarga, rumah, atau korespondensi.
Laporan itu mengatakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengklaim petugas keamanan kadang-kadang melakukan pengawasan tanpa surat perintah terhadap individu dan tempat tinggal mereka dan memantau panggilan telepon. Laporan itu kemudian menyoroti penggunaan PeduliLindungi.
"Pemerintah mengembangkan PeduliLindungi, sebuah aplikasi smartphone yang digunakan untuk melacak kasus COVID-19. Peraturan pemerintah berupaya menghentikan penyebaran virus dengan mewajibkan individu yang memasuki ruang publik seperti mal untuk check-in menggunakan aplikasi. Aplikasi ini juga menyimpan informasi tentang status vaksinasi individu. LSM menyatakan keprihatinan tentang informasi apa yang dikumpulkan oleh aplikasi dan bagaimana data ini disimpan dan digunakan oleh pemerintah," tulis laporan itu.
Unlawfull Killing FPI Disorot
Tak hanya soal PeduliLindungi, laporan Amerika Serikat juga menyorot terkait unlawfull killing yang terjadi di Indonesia. Laporan soal unlawful killing ini diawali dengan pernyataan soal banyaknya laporan terkait operasi di Papua dan Papua Barat.
"Ada banyak laporan bahwa pejabat keamanan melakukan pembunuhan sewenang-wenang atau di luar hukum. Banyak dari laporan ini terkait dengan operasi kontra-pemberontakan pasukan keamanan terhadap kelompok separatis bersenjata di Papua dan Papua Barat," demikian tulis laporan itu.
Laporan itu menyatakan banyak kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum yang tak diusut oleh aparat. Jika dilakukan penyelidikan pun, menurut AS, maka ujungnya akan gagal mengungkap fakta yang sebenarnya.
"Pernyataan resmi terkait tuduhan kesewenang-wenangan terkadang bertentangan dengan laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan seringnya tidak dapat diaksesnya daerah-daerah di mana kekerasan terjadi membuat pembuktian fakta menjadi sulit," tulis laporan itu.
Laporan HAM AS ini mengutip laporan KontraS yang menyebut ada 16 kematian diduga karena penganiayaan oleh aparat keamanan antara Juni 2020 sampai Mei 2021. Laporan AS ini juga mengutip pernyataan Komnas HAM soal kasus penembakan laskar FPI.
"KontraS juga melaporkan 13 kematian diduga akibat penembakan polisi pada periode yang sama. Pada 8 Januari, Komnas HAM merilis laporannya tentang penembakan polisi pada Desember 2020 terhadap enam anggota Front Pembela Islam di jalan tol Jakarta-Cikampek di Provinsi Jawa Barat. Komisi menemukan bahwa polisi secara tidak sah membunuh empat anggota depan yang sudah berada dalam tahanan polisi dan menyebut pembunuhan itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pada bulan April seorang juru bicara polisi menyatakan bahwa tiga petugas polisi dari Polda Metro Jaya telah ditetapkan sebagai tersangka dan sedang diselidiki, mencatat bahwa satu dari tiga telah meninggal dalam kecelakaan pada bulan Januari. Pada 23 Agustus, media melaporkan pengajuan tuntutan terhadap kedua tersangka di Pengadilan Negeri Jakarta Timur," tulis laporan itu.
Laporan itu juga berisi kasus penangkapan Samsul Egar di Baubau, Sultra. Laporan itu menyebut Samsul Egar tewas tak lama usai ditangkap.
"Pada 25 April, Polres Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara menangkap Samsul Egar atas dugaan terlibat dalam peredaran narkoba. Menurut laporan media, polisi mengejar Egar; setelah dia ditangkap, dia terlihat diborgol di tanah dan tidak sadarkan diri. Egar dibawa ke rumah sakit di mana dia dinyatakan meninggal. Organisasi hak asasi manusia melaporkan Egar mengalami memar di tubuhnya. Polisi diduga tidak memberi tahu keluarga Egar bahwa mereka percaya dia adalah pengedar narkoba sampai 28 hari setelah kematiannya. Hingga 10 September, tidak ada indikasi bahwa pihak berwenang telah menyelidiki laporan tersebut atau mengambil tindakan terhadap petugas yang terlibat," tulis laporan itu.
Buzzer Disorot
Kebebasan berinternet di Indonesia juga dibahas dalam laporan HAM Amerika Serikat tersebut. AS mengulas soal buzzer hingga kabar penggunaan spyware (perangkat pengintai) buatan Israel.
Menurut laporan AS ini, peretas (hacker) pendukung pemerintah sering melakukan doxing terhadap kelompok-kelompok pegiat HAM. Hacker sering menganggu acara-acara online dan meretas akun-akun media sosial serta mengintimidasi pengkritik pemerintah. Mereka mengutip SAFEnet dalam laporan 2020, ada 147 serangan digital, kebanyakan terjadi saat Oktober, yakni selama marak demonstrasi terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Aktivis-aktivis juga melaporkan adanya 'food bombing' lewat aplikasi online yang dapat memesan makanan dan banyak pesanan makanan itu diarahkan ke LSM, wartawan, dan banyak lokasi lain dengan metode pembayaran 'cash on delivery'," tulis laporan itu.
AS juga mengulas peretasan webinar ICW pada 17 Mei, panggilan nomor asing yang dialami pegawai ICW, dan 'cyber harassment' yang dialami mahasiswa Universitas Teknokra di Lampung bernama Khairul pada Juni 2021. Pada Juli 2021, anggota kelompok Blok Politik Pelajar dituduh sebagai dalang demonstrasi 'Jokowi End Game', data pribadi mereka disebar secara online dan mereka menerima ancaman pembunuhan.
"LSM-LSM dan media melaporkan ada kelompok bayaran pasukan siber, biasa disebut 'buzzers', menggunakan bot dan akun media sosial palsu untuk membentuk wacana online. Peneliti melaporkan buzzer sering digunakan baik oleh kubu pro-pemerintah maupun anti-pemerintah. Media melaporkan pemerintah secara langsung mendanai sejumlah operasi buzzer," tulis laporan AS.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Juga Dibahas
Lebih jauh, laporan HAM AS ini juga membahas korupsi di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan yakni sosok Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Dalam laporan itu, di bagian 'korupsi dan kurangnya transparansi dalam pemerintah, AS menyoroti kurangnya upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia. Laporan ini menyatakan korupsi tetap mewabah terlepas dari penangkapan dua menteri (sekarang mantan menteri) yang dilakukan KPK terkait korupsi.
Laporan ini juga menyebut koordinasi antara penegak hukum yang berwenang mengusut kasus korupsi tidak konsisten. Lembaga yang dimaksud ialah KPK, Polri, Unit Kejahatan Ekonomi Khusus Angkatan Bersenjata atau POM TNI dan Kejaksaan.
"Koordinasi dengan unit angkatan bersenjata tidak ada. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki wewenang untuk menyelidiki anggota militer, juga tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus-kasus di mana kerugian negara bernilai kurang dari Rp 1 miliar," tulis laporan itu.
Laporan itu kemudian menyoroti soal tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dalam laporannya, AS mengutip LSM yang menyatakan TWK menjadi taktik menyingkirkan penyidik tertentu.
"LSM dan media melaporkan bahwa tes itu adalah taktik untuk menyingkirkan penyidik tertentu, termasuk Novel Baswedan, penyidik terkemuka yang memimpin kasus yang berujung pada pemenjaraan Ketua DPR dan yang terluka dalam serangan asam yang dilakukan oleh dua petugas polisi. Pada 30 September, komisi memecat 57 dari 75 yang gagal dalam ujian," tulis laporan tersebut.
Selain itu, AS juga menyoroti kasus etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. AS mengutip putusan Dewan Pengawas KPK dalam laporannya.
"Pada 30 Agustus, dewan pengawas komisi menetapkan bahwa Wakil Ketua Komisi Lili Pintauli Siregar bersalah atas pelanggaran etika dalam menangani kasus suap yang melibatkan walikota Tanjung Balai, Muhammad Syahrial. Dewan memutuskan Siregar memiliki kontak yang tidak pantas dengan subjek penyelidikan untuk keuntungan pribadinya sendiri dan memberlakukan pengurangan gaji satu tahun 40 persen untuk Siregar atas pelanggaran tersebut," tulis laporan tersebut.
#dtc/bin