Oleh: Arda William Pemerhati Sosial dan Pendidikan
TERKUAKNYA kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum guru bernama Herry Wirawan atau inisial "HW" di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, sontak membuat gempar publik. HW melakukan pemerkosaan terhadap murid-murid perempuannya di Madani Boarding School. Oleh HW, murid-murid yang sedang menimba ilmu, dipaksa memenuhi nafsu bejatnya.
Madani Boarding School didirikan oleh HW sejak tahun 2016 dan hanya HW gurunya. Sejak berdiri sampai kasus ini terbongkar ke ranah publik, sudah belasan murid perempuan menjadi korban.
Dari belasan korban rata-rata berumur antara 15 - 20 tahun dan telah melahirkan sembilan orang bayi. Semua murid yang menimba ilmu di Madani Boarding School tersebut tidak dipunggut biaya. Semua biaya pendidikan ditanggung oleh (HW) dan murid-murid yang sekolah disana rata-rata masih hubungan keluarga dan juga ada yang tetanggaan.
Selepas kasus HW, yang terbaru adalah kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru ngaji berinsial MMS (52) di Benji, Kota Depok. Oknum guru ngaji tersebut mencabuli 10 orang santriwati di sebuah pondok, tempat yang biasa digunakan untuk pertemuan majlis taklim yang dia dirikan. Rata-rata korban berusia 10 tahun. Dengan diiming-imingi uang Rp 10 ribu, dengan intimidasi, korban dipaksa memegang alat vital pelaku dan bagian sensitif lainnya. Kelakuan bejat pelaku sudah berlangsung sejak Oktober sampai Desember 2021.
Dari sekilas rentetan kejadian di atas, bisa disimpulkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi fenomena gunung es di negara ini. Kasus yang tidak dilaporkan juga tidak sedikit.
Menurut Ketua Komnas perempuan, Andy Yentriyani, sejak bulan Januari hingga bulan September 2021 sudah terjadi 4.000 kasus. Tren ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sekretaris Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perilindungan Anak (KemenPPPA), Pribudiarta N Sitepu menyebutkan kekerasan pada anak sepanjang tahun 2019 terjadi sebanyak 11. 057 kasus, tahun 2020 sebanyak 11. 279 kasus dan 12. 566 kasus hingga November 2021.
Kebanyakan korban adalah anak-anak perempuan. Anak-anak yang tidak berdaya, anak-anak yang masih polos dan masih panjang jalan kehidupannya. Akibat kejadian tersebut korban menjadi trauma seumur hidup. Mereka jadi pribadi-pribadi yang gamang menhadapi masa depan. Masa depannya hancur oleh ulah bejat pelaku yang tidak bertanggung jawab. Sang predator dengan segala kedoknya. Mereka, anak perempuan yang rata-rata masih belia tidak bisa berbuat apa-apa dan cita-cita yang mereka impikan menjadi sirna begitu saja.
Tidak bisa dipungkiri terjadinya kasus perkosaan tersebut tidak terlepas dari gaya hidup masyarakat itu sendiri. Gaya hidup atau live style yang mendorong munculnya nafsu seksual seperti beredarnya pornografi dan pornoaksi melalui media-media secara masif. Gambar-gambar maupun video yang menpertontonkan hal-hal yang mengundang syahwat, sangat mudah diakses melalui smart phone.
Pemerintah tidak bisa membendung situs-situs porno yang menyebar di dunia maya yang dengan mudah masuk ke smartphone kita. Dari anak-anak tingkat sekolah dasar hingga dewasa sudah memiliki smartphone pribadi. Mereka bebas mengakses hal-hal tersebut tanpa ada yang bisa menghalanggi.
Fenomena yang saat ini menggurita, terkait dengan alur pemikiran liberal- sekuler. Dalam pandangan ini, manusia bebas melakukan apa saja, dengan catatan tidak merugikan orang lain. Masalah seksual merupakan masalah pribadi/privat, negara tidak berhak ikut campur baik dalam aturan ataupun sanksi. Negara hanya berhak mengatur urusan yang menyakut khalayak ramai (publik).
Paham Liberal-Sekuler merupakan cara pandang barat yang disebarluaskan secara global. Paham yang juga telah masuk dan berkembang di negeri yang kita cintai ini. Paham yang memisahkan antara aturan agama dengan aturan kehidupan. Aturan agama hanya ada dan berlaku untuk individu-individu saja, untuk urusan masyarakat dan negara, diatur dengan akal pikiran manusia. Akal pikiran manusia yang menjadi tolak ukurnya. Manusia hanya dapat melihat berdasarkan fakta-fakta yang ada. Tidak dapat menjangkau makna yang ada di balik fakta-fakta yang terjadi.
Akal pikiran manuasia yang lemah dan mempunyai keterbatasan. Keterbatasan dalam segala hal, juga terbatas dalam membuat hukum dan sanksi.
Sanksi hukum bagi pelaku begitu ringan sehingga tidak ada efek jeranya. Sanksi yang berlaku hanya hukuman penjara sekian tahun dan kalau berbuat sesuai aturan dapat potongan masa hukumannya. Sehingga, tidaklah heran jika yang berlangsung saat ini, terutama di sektor pendidikan sebagai kondisi Darurat Kekerasan Seksual dan Lembaga Pendidikan. Dimana sosok-sosok yang seharusnya menjadi tauladan, panutan, sumber ilmu kebajikan, justru mencampakkan peran-peran mulia tersebut. Mereka justru hadir sebagai predator bagi peserta didik, insan-insan yang seharusnya dilindungi,diayomi.
Berbanding terbalik dengan korban tindak kekerasan seksual. Bagi korban kejadian itu berefek seumur hidup. Korban dipandang buruk oleh masyarakat sekitarnya dan bahkan sulit mencari pendamping hidup.
Adapun hukum kebiri yang diusulkan oleh banyak pihak, bertentangan dengan Hak Azazi Manusia (HAM). Di dunia juga mendapat protes oleh negara yang ada di belahan bumi lain. Hal ini terkait dengan efek dari suntikan yang melumpuhkan alat vital juga dapat melumpuhkan sel-sel yang lain ada pada tubuh si pelaku.
Menurut hukum Islam, kasus pemerkosaan, bagi pelaku yang belum menikah dihukum 100 kali cambukan. Sedangkan bagi pelaku yang telah menikah, berlaku hukum rajam hingga mati. Hukum rajam yakni badan si pelaku dikubur dari leher sampai ujung kaki, kepala dilempar dengan batu oleh semua orang yang lewat di jalan tersebut hingga si pelaku meninggal.
Dalam Islam, akidah dan syariat Islam adalah nyawa dan badan dari lembaga pendidikan. Kurikulum pendidikan didasarkan pada akidah Islam dan materi yang diajarkan menjabarkan bagaimana terwujudnya pribadi yang terikat kepada seluruh syariat Islam. Hal itu diajarkan dan ditanamkan sejak dini di level pendidikan dasar. Peserta didik, dididik sejak awal menjadi generasi yang patuh terhadap aturan Allah Swt.
Hubungan pria dan wanita diatur sedemikan rupa sehingga tidak tercampurbaurkan laki-laki dan perempuan. Kerena pada dasarnya, dalam masyarakat Islam, kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah. Namun demikian masih ada kesempatan pertemuan antara keduanya jika ada kepentingan yang syar’ i.
Hasil dari sistem pendidikan seperti ini adalah generasi berkepribadian Islam, luar dan dalam. Mereka ini yang menjadi pilar penjaga peradaban Islam. Peradaban Islam yang menguasai sepertiga dunia selama lebih kurang 14 abad lamanya.
###