JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengingatkan pesantren untuk beradaptasi di era revolusi industri 4.0 sebagaimana disampaikan olehnya dalam Webinar Internasional dalam rangka Peringatan Hari Santri 2021 yang diadakan oleh Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU), Rabu (20/10/2021).
Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa persepsi masyarakat terdahulu terhadap pesantren telah berubah.
Kini, pesantren bukan lagi sekadar pusat pendidikan keagamaan.
BACA JUGA: FEM: Jadikan Santri "Benteng Kokoh" Umat di Ruang Digital!
"Pesantren bertransformasi menjadi lebih berdaya, tidak hanya mendalami agama namun juga mampu menggerakkan perekonomian di lingkungan pesantren sendiri dan sekitarnya,” ujar Ma’ruf, Rabu (20/10/2021).
Transformasi peran pesantren dikukuhkan melalui UU No. 18/2019 yang menegaskan 3 fungsi utama pesantren yakni sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia, dan lembaga yang melakukan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah telah merangkul pesantren melalui program unggulannya yakni Santripreneur dan Petani Muda yang digalakkan guna membentuk wirausaha baru, termasuk regenerasi petani dan mengembangkan potensi lahan non-produktif di pesantren.
Upaya ini dibarengi dengan pengembangan usaha yang dilakukan pesantren di bidang keuangan, perikanan, pertanian, hingga pariwisata.
“Untuk mendukung perekonomian pesantren, pemerintah juga membantu berupa Kredit Usaha Rakyat Syariah dan membentuk Bank Wakaf Mikro untuk meningkatkan akses permodalan usaha di lingkungan pesantren. Pemerintah membangun lebih dari 1.000 balai latihan kerja untuk mengembangkan keterampilan para santri,” imbuh Ma’ruf.
Sejarah Hari Santri
Dalam pidatonya, Ma’ruf menceritakan kembali sejarah penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri, yang berangkat dari peran ulama dan santri melawan penjajahan sejak awal abad ke-19 yang disebut sebagai religious revival atau kebangkitan agama oleh sejarawan Prof. Sartono Kartodirdjo.
Kebangkitan santri dan ulama turut menginspirasi kebangkitan nasional, ditandai dengan turut berperangnya mereka melawan tentara NICA.
“Pada saat itulah, hadratussyekh Kiai Haji Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad yang ditindaklanjuti PBNU dengan mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 di Surabaya,” lanjut Ma’ruf.
BACA JUGA: UU Pesantren Bukti Pemerintah Hadir di Tengah Kaum Muslimin
Santri dan ulama pun tergerak mengusir tentara NICA dalam pertempuran 10 November di Surabaya. Sejak itulah, 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Setelah kemerdekaan, pesantren tumbuh pesat sehingga kini berjumlah lebih dari 34 ribu yang tersebar di Indonesia. Namun menurut Ma’ruf, pesantren perlu terus beradaptasi.
“Perubahan pola kehidupan sosial masyarakat, revolusi pendidikan, dan era disrupsi menuntut pesantren melakukan penyesuaian dan perubahan dengan tetap menjaga citra eksistensinya. Santri perlu meningkatkan peran dalam berinovasi dan bersaing secara global,” tandas Ma’ruf.
Untuk itu, Hari Santri Nasional menjadi momentum bagi santri, ulama, maupun para pemimpin bangsa agar kembali memupuk semangat cinta tanah air dan persatuan yang akan meminimalisir tumbuhnya eksklusivisme, intoleransi dan radikalisme di Indonesia.
Santri nadhliyyin dihimbau tidak hanya memiliki semangat ‘senantiasa menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik,’ namun Ma’ruf menambahkan bahwa santri perlu ‘melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terus menerus dan berkelanjutan.’
#tribun