JAKARTA -- Tindak Pidana Korupsi (TPK) dugaan suap jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Probolinggo belum lama menjadi perhatian serius oleh publik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sang bupati berinisial PTS serta suaminya HA sebagai tersangka dalam perkara tersebut pada 30 Agustus 2021.
Apa dan bagaimana hal itu masih terjadi? KPK menjawab pertanyaan tersebut melalui webinar yang diselenggarakan pada Kamis (16/9/21) lalu dengan merangkul seluruh kepala daerah di Indonesia (bupati dan wali kota) sebagai peserta diskusi.
Ada tiga bentuk jual beli jabatan yang menimbulkan TPK, kata Ketua KPK Firli Bahuri, di antaranya ialah gratifikasi, suap serta pemerasan.
“Yang sering terjadi pada jual beli jabatan adalah pemerasan. Para penyelenggara yang memiliki kekuasaan ditambah dengan rendahnya integritas akan melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan. Seketika seorang kepala daerah/penyelenggara negara baru saja dilantik, maka dia akan berpikir siapa saja yang menjadi tim sukses, siapa saja yang bukan tim suksesnya".
Firli juga menyebut dirinya pernah mempertanyakan mengenai pengangkatan pejabat sementara kepala desa yang nyatanya juga diperjualbelikan dengan harga Rp20 juta dan memberikan imbalan hasil sewa pengelolaan tanah bengkok kurang lebih Rp5 juta/hektar.
Dalam materi yang disampaikan Firli, pemerasan diindikasi dengan permintaan sepihak dari penerima (pejabat), bersifat memaksa, biasanya dengan kalimat “Apakah Anda masih mau bertahan menduduki jabatan tersebut? Jika mau bertahan Anda harus bayar sekian..,” ungkap Firli mencontohkan, serta adanya penyalahgunaan kuasa.
Berbeda dengan suap. Suap adalah salah satu TPK yang diatur dalam UU khususnya pasal 5 UU tahun 31/1999, barangsiapa memberi untuk menggerakkan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangan jabatan maka seseorang yang menghendaki jabatan atau ingin mempertahankan jabatan maka dia akan memberikan berupa hadiah/janji yang masuk dalam kategori TPK penyuapan.
Penyuapan, kata Firli, ditandai dengan adanya pertemuan/kesepakatan antara penerima dan pemberi dan dilakukan secara rahasia/tertutup.
Lain lagi dengan gratifikasi, ia berhubungan dengan jabatan, bersifat tanam budi, serta tidak membutuhkan kesepakatan. Saat ini bagaimana solusinya? KPK, kata Firli, mengembangkan Monitoring Centre for Prevention (MCP), program ini ialah tata cara untuk mengatasi rentan TPK yang dilakukan oleh penyelenggara negara, khusus terjadi jual beli jabatan ada dua program yang dikembangkan yaitu Manajemen Aparatur Sipil Negara.
“Tidak akan pernah terjadi jual beli jabatan apabila seleksi jabatan, pembinaan SDM dilaksanakan secara profesional, akuntabel, transparan, kompetitif, kejujuran, dan juga dilaksanakan sebagaimana mestinya merit sistem,” kata Firli.
Kedua, tata cara ialah melakukan pengawasan, dan pembinaan SDM. “Apa yang bisa kita kerjakan ialah tidak ada kecuali melakukan pengawasan yang ketat. Bisa juga melibatkan pengawas eksternal sehingga menutup ruang untuk celah jual beli jabatan,” tutup Firli.
#rel/bin