JAKARTA -- Ustaz Tengku Zulkarnain menulis cuitan tentang keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Twitter pada Sabtu (20/2/2021).
Menurutnya, tidak semua keturunan anggota PKI anti-Islam. Justru menurutnya, ada keturunan anggota PKI yang sholih.
"Anak PKI tdk semuanya bermental PKI anti Islam. Ada beberapa kenalan saya anak PKI tapi berbeda 180° dgn bapaknya yg PKI anti agama dan membenci tokoh Islam. Mereka benar benar sholih," kata Zul.
Ia mengakui, kebanyakan keturunan anggota PKI memang membenci Islam dan ulama.
"Tapi kenyataan juga ada anak-anak PKI yg masih semodel sama bapak mereka. Benci Islam dan Ulama," tulisnya.
Ada Tudingan Rekayasa Sejarah
Adapun PKI menurut literasi yang terkesan permisif terhadap paham komunis, ditulis sebagai sebuah partai politik yang pernah berjaya di masa Presiden Soekarno.
Adapun komunisme, basis ideologi partai tersebut, menurut literasi tersebut, juga hanyalah sebuah ideologi, tak ubahnya ideologi lain semacam kapitalisme, sosialisme, anarkhisme, humanisme dan lain sebagainya.
Buruknya nama PKI, masih menurut literasi tersebut, tidak terlepas dari kesuksesan propaganda politik yang diusung oleh Soeharto.
Terkesan menyalahkan sosok berjuluk "Bapak Pembangunan" tersebut, literasi tersebut menulis bahwa sampai sekarang, bahkan ketika sudah 22 tahun usia Soeharto lengser, mayoritas masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa PKI dan organisasi atau hal-hal yang bersangkut paut dengannya, begitu jahat, kejam, biadab dan tak bertuhan.
Bahkan Wijaya Herlambang, dalam disertasi doktoralnya di Universitas Queensland, Australia, yang kemudian dibukukan dengan judul 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' (Marjin Kiri, 2013), menuliskan bahwa--berdasarkan riset dan wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh yang dilakukannya selama bertahun-tahun--Amerika Serikat berada di balik rekayasa sejarah yang diciptakan Soeharto.
Amerika, yang konon memusuhi ideologi komunisme dan sejenisnya (Marxisme, Leninisme, sosialisme), menurutnya ikut berperan dalam memerangi komunisme di Indonesia.
"Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan sepenuhnya atas upaya kekuatan politik dan kebudayaan pro-barat dalam gerakannya menghadang laju komunisme di Indonesia," tulis Herlambang dalam bukunya itu.
Selain bantuan militer dan ekonomi, Pemerintah AS juga menggelontorkan bantuan sangat besar untuk “memajukan” pendidikan dan kebudayaan di Indonesia melalui berbagai institusi filantropi dan kebudayaan untuk membentuk aliansi anti-komunis di Indonesia.
"Dukungan ini, sejalan dengan kebijakan politik luar negeri AS. Di Indonesia pola penghancuran komunisme dilakukan dengan mendiskreditkan politik dan kebudayaan komunis," lanjut Herlambang.
Peran Pemerintah AS dalam memerangi komunisme di Indonesia dilakukan dengan menunggangi oposisi sayap kanan yang berseberangan dengan Soekarno, yang tak lain adalah Soeharto.
"Motivasi AS sangat jelas, yaitu: pertama, AS menyadari potensi kekayaan alam Indonesia yang besar –terutama minyak– harus dikuasai. Kedua, AS waspada terhadap perkembangan PKI yang pesat sejak 1950; pasca kekalahan pada 1948. Melalui Congress for Cultural Freedom (CCF) –sebuah lembaga berpusat di Paris– CIA bekerja dengan memberikan pengaruh terhadap individu yang memiliki posisi strategis di bidang politik dan kebudayaan. Misi utama CCF adalah melepaskan tautan para seniman dan intelektual dari komunisme," demikian Herlambang memaparkan.
Tak cuma melalui jalan militer dan politik, AS juga menyusup ke bidang kesenian dan kebudayaan. Sejumlah seniman dan budayawan dilibatkan untuk menghasilkan karya-karya yang membenarkan bahwa PKI ataupun komunis itu kejam, jahat, dan dan bertuhan.
Sutradara film 'Pengkhianatan G30S/PKI' Arifin C Noor dan juga penulis novelnya Arswendo Atmowiloto, termasuk dua orang di antaranya.
Apa yang dibabarkan Herlambang itu diperkuat pula dengan sejumlah kesaksian orang-orang yang hidup pada masa Gerakan 30 September 1965, termasuk salah satu saksi kunci, yakni Dokter Liauw Yan Siang.
Dokter Otopsi Sebut Tak Ada Penyiksaan
Dokter Yan Siang, dokter yang mengotopsi enam jenazah jenderal yang menurut sejarah versi Soeharto disebut disiksa, menyatakan bahwa sesuai hasil visum et repertum, enam jasad jenderal tersebut tidak mengalami penyiksaan.
Dokter Liauw adalah satu-satunya dokter yang memeriksa mayat jenderal korban penculikan pada malam 30 September 1965, kecuali jenazah ajudan Jenderal A.H Nasution, yakni Kapten Anumerta Pierre Tendean, yang diperiksa oleh Dokter Lim Joe Thay.
"Iya. Kecuali yang Tendean itu bukan saya yang kerjakan [tertawa]. (yang kerjakan) Dr Lim," kata Dokter Liauw Yan Siang, ketika diwawancarai oleh Alfred D Ticoalu di Amerika Serikat tahun 2000 silam.
Salinan hasil visum et repertum jenderal yang mati pada Gerakan 30 September 1965 (dokumen Alfred Ticoalu)
Dokter Liauw Yan Siang sendiri hanya memegang salinan hasil visum itu. Ia tidak memegang yang asli. Namun, ia yakin bahwa itu memang hasil visum yang dilakukannya.
"...Dr. Frans Pattiasina yang ditugaskan untuk menandatangani…, dan suruh ngetiknya semua dia yang ditugaskan. Tapi dia nggak mengerjakan pemeriksaan ini. Maka dia datang pada saya untuk bantuan itu…, mengoreksi apa-apa yang saya kerjakan itu, apa bener semuanya di sini," katanya, seperti dikutip dari laman Indoprogress.
Martin Aleida, salah satu eks tahanan politik (ekstapol) 1965 yang hingga kini masih hidup, dalam memoarnya yang berjudul 'Romantisme Tahun Kekerasan' (Somalaing Art, 2020), menulis bahwa tidak benar para jenderal disiksa (mata dicongkel dan kemaluan diiris pakai silet) sebelum dilemparkan ke dalam sumur tua di wilayah Lubang Buaya di Jakarta Timur.
"Mata mereka dicongkel. Kemaluan mereka diiris menggunakan silet. Kebohongan yang memanas-manasi, untuk membakar kebencian itu disebarkan melalui media yang di bawah kontrol angkatan darat... " demikian tulis Martin pada halaman 10.
Pancing Bung Karno Berucap Tak Senonoh
Sosok yang paling marah atas fitnah itu adalah Bung Karno, Presiden pertama RI. Apalagi, Soekarno merujuk hasil visum et repertum enam jenderal yang tewas itu, yang keluar pada 6 Oktober 1965, yang menyatakan bahwa tidak ada kemaluan korban yang dimutilasi atau mata yang dicongkel.
"Betapa marah dan gemasnya Bung Karno menangkis fitnah tersebut, sehingga dia menggunakan kata-kata yang tak senonoh, yang tak pernah dia ucapkan seumur hidupnya..." (halaman 11).
Menurut Martin, yang harus bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain sebelum akhirnya tertangkap di Jakarta, suasana pascagerakan 30 September 1965 kala itu begitu mencekam. Bukan hanya orang-orang yang terlibat langsung dalam gerakan itu saja yang diburu, tetapi juga semua orang yang berafiliasi dengan PKI atau berideologi kiri, termasuk para petani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia.
Salah satu pembantaian petani yang ia ketahui, terjadi di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Ironisnya, para petani itu dibantai usai ditunjuk oleh pastur saat tengah beribadah di gereja.
"Di Flores, saat umat sudah memenuhi gereja, dengan mengabaikan bisikan kasih sayang dari Roh Kudus, di otak dan hatinya, seorang pastur menunjuk satu per satu, siapa di antara umatnya, yang duduk dengan setia itu, yang menjadi simpatisan Barisan Tani Indonesia, organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang telah memperjuangkan tanah bagi mereka yang tak bertanah," tulis Martin pada halaman 18.
Padahal, petani-petani itu sama sekali tak tahu menahu apa yang terjadi di Jakarta ketika para jenderal dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
"...ujung jari pastur itu berubah tidak menjadi tautan doa, tetapi perintah pembinasaan yang dikutuk Bapa di surga. Korban adalah mereka yang tak berdaya, tak punya kesempatan untuk membela diri terhadap tuduhan terlibat dalam pembunuhan para jenderal nun jauh di seberang laut, di Jakarta," lanjut Martin pada halaman 19.
Peristiwa kelam yang pernah terjadi di Flores itu pun pernah dikutuk oleh mantan Gubernur NTT, Ben Mboi, dalam memoarnya yang berjudul "Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja' (Kepustakaan Populer Gramedia, 2011).
"Benar-benar merupakan the blackest and the blackest months of my life, dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin," tulis mantan anggota resimen Para Komando Angkatan Darat itu dalam memoarnya.
Dalam buku itu Ben juga menulis:
"Pada suatu hari ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling Kota Ende, lalu dipamerkan di suatu tugu di tengah kota. Istri saya memanggil Kepala Seksi Satu Kodim, 'Sersan, kalau semua wanita dan anak-anak di Kota Ende, termasuk anak-istri sersan mengalami histeria karena menonton dua kepala orang tanpa badan itu, siapa yang akan menangani dan bertanggungjawab?... Akhirnya kedua kepala itu dikuburkan. Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup!".
#indozone