Di hari-hari ini, tiap kali suara sirene ambulans menerobos hujan menuju pemakaman, kematian seakan-akan hadir di beranda.
Kita memakai kata “meninggal dunia”: jenazah yang dikuburkan itu jadi tanda hilang. Perpisahan dengan dunia adalah perpisahan radikal, hingga kematian tak sekedar dialami sebagai kejadian.
Ketika kita menyebutnya “Maut”, ia seakan-akan sebuah sosok, “person”, bukan sebuah momen. Amir Hamzah bahkan berbicara kepadanya dalam sajaknya yang putus asa:
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku bertaut
Di waktu ini gelap gulita.
Tampak, kematian dilihat sebagai sesuatu yang diminta datang. Artinya ia bukan bagian esensial dari “aku”. Ia di luar “aku”.
Pada dasarnya sikap sajak itu paralel dengan pandangan tentang kematian dalam puisi Chairil Anwar.
“Nisan” — sajak yang awal, dari tahun 1942 — masih menampilkan kematian sebagai peristiwa. Tapi dalam sajak itu sudah terasa, peristiwa itu — momen itu — adalah demonstrasi kekuatan yang maha besar. Chairil menyebutnya kekuasaan “maha tuan”. Si nenek pasrah; ia rela menerima segala yang tiba.
Tapi dengan itu Chairil lebih mengutarakan satu perasaan (‘kalbu”) yang tertusuk ketimbang sebuah belasungkawa. Kalimatnya menyimpan protes: ia tunjukkan sang “maha tuan” dengan angkuh bertahta di atas “debu dan duka” — di atas yang sepele dan yang rapuh.
Dan ia pandang dengan iba jenazah neneknya dan berkata:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
Di situ Maut mirip Yama dalam mithologi India.Di kerak bumi, dewa orang mati itu menjaga para almarhum. Konon dalam kitab Vedha, ia raja yang periang. Tapi kemudian mithologi itu berkembang dan Yama berubah. Ia jadi hakim yang menilai perbuatan manusia untuk dihukum atau dikaruniai.
Manusia tak bisa menangkis. Pasti kalah. Makin berumur kita, makin jauh kita dari masa kanak — ketika kita jatuh cinta buat pertama kali dan menyangka hidup adalah jalan yang asyik tanpa akhir — makin sadar kita bahwa “Hidup hanya menunda kekalahan.”
Batas itu niscaya. Seperti diucapkan dalam sajak “Derai-derai cemara”, alam memberi isyarat bahwa pagi akan berakhir dan “hari jadi akan malam”. Dan kita pun tahu, tak semua selesai.
Ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Puisi Chairil murung. Ia menyadari — seperti kita baca dalam sajak “Yang terampas dan yang putus” — bahwa akhirnya kuburan di Karet adalah “daerahku y.a.d.”, di mana tubuh akan “diam dan sendiri”. Maut datang, dan hidup terampas dan putus.
Sajak ini, sebuah suara intens pesimisme, melihat kematian sebagai lawan kehidupan.
Tapi ada pengalaman lain. Sebuah sajak Subagio Sastrowardojo justru menunjukkan Maut bukan teror, bahkan bukan sesuatu yang asing.
“Dan Kematian Makin Akrab” membawa kita ke sebuah suasana berkabung, tapi pada saat yang sama merasakan
...kematian makin akrab, seakan-akan kawan berkelakar yang mengajak tertawa..
Dengan kata lain, kematian tak berada di luar hidup. Ia bagian hidup sehari-hari. Tak ada perpisahan total: kita masih seperti berhadapan muka, “seperti lewat kaca bening”, dan yang mati seakan-akan berkata,”Lihat, tak ada batas antara kita”.
Kematian hanya selaput
Gagasan yang gampang diseberangi,
Sajak Subagio sayu, tapi seperti ditulis dalam baris ke-9, yang terekam adalah suasana di mana “tak ada kesan kesedihan”.
Ditulis di Amerika ketika Presiden Kennedy mati ditembak dengan alasan yang tak jelas, sajak ini mirip sebuah renungan ketika seseorang mati mendadak, mati muda. Pada saat yang sama, Subagio menghadirkan adegan lain: anak-anak bermain layang-layang dan pohon ketapang makin lebat.
Artinya, hidup bukan jalur gelap. Kematian bukan sebuah teka-teki seram yang perlu dikejar jawabnya. Kematian sebuah misteri, tapi demikian juga hidup.
Dalam La mort (“Maut“), filosof Prancis Jankélévitch menyebut misteri juga ada “dalam tatapan sahabat, dalam senyum yang tak cerah, dalam isak yang tertahan...”. Dengan kata lain, kematian sebenarnya tak menakutkan, “semakin akrab”, kata Subagio.
Saat yang akrab itu juga ditulis dengan lembut oleh Emily Dickinson di abad ke-19:
Because I could not stop for Death,
He kindly stopped for me
The Carriage held but just Ourselves
And Immortality
Karena aku tak bisa berhenti untuk menanti Maut
Ia dengan ramah menjemput
Dalam keretanya hanya ada dia dan aku, sendiri
Dan hidup yang abadi
Perjalanan itu bukan yang pertama dan terakhir. Maut selelalu bersama kita dalam satu gerbong. Ia bukan memotong perjalanan. Ia bagian perjalanan, di mana Tuhan hadir, untuk memakai kata-kata Jankélévitch, dalam keajaiban tiap saat, dalam “musim semi dan kelahiran kembali yang terus menerus..”.
Mungkin itu yang ingin saya bayangkan ketika ambulans nanti menjemput jasad saya.
#Goenawan Mohamad