Oleh: YOUSRI NUR RAJA AGAM, MH *
HARI ini, Rabu 11 Maret 2020 adalah hari terbitnya Surat Perintah 11 Maret yang disingkat Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, artinya surat tersebut genap 54 tahun usianya.
Sebuah surat resmi, dokumentasi negara yang menjadi “saksi” sejarah, ternyata tidak selamanya akurat. Biasanya selembar surat resmi, apalagi surat yang dikeluarkan oleh pejabat pengambil keputusan, dikonsep oleh seorang ahli atau pakar. Lalu surat itu ditelaah dan menjalani birokrasi dengan memberikan paraf dan disposisi untuk sampai kepada pejabat tertinggi yang mengeluarkan keputusan.
Kendati demikian, lain halnya dengan Surat Perintah Sebelas Maret yang dikenal dengan singkatan Supersemar. Surat Perintah dari Presiden Republik Indonesia, Dr. Ir. H. Soekarno tanggal 11Maret tahun 1966. Surat dari pejabat paling tinggi di Negara RI ini, selalu dipermasalahkan setelah era reformasi. Padahal, di zaman Orde Baru, saat Presiden RI, HM Soeharto masih berkuasa, Supersemar itu adalah surat “paling sakti”.
Begitu istimewanya surat ini, selama 32 tahun lebih “kelahiran” surat ini diperingati setiap tahun. Surat yang bernama Supersemar ini “ulang tahunnya” dirayakan tiap tahun. Bahkan melebihi perayaan ulangtahun hari bersejarah lainnya.
Nah, mengapa begitu istimewanya tanggal 11 Maret bagi Supersemar? Setelah Soeharto mengakhiri masa kekuasaannya sebagai pemimpin Orde Baru, berbagai komentar dan silang bertingkah pun menyeruak ke permukaan. Berbagai hujatan juga ditujukan terhadap Supersemar dan peleksana Supersemar itu. Pro-kontra terhadap lahirnya supersemar bermunculan.
Kecaman yang paling tajam terhadap kesaktian Supersemar itu, pasti dari mereka yang menjadi korban akibat Supersemar itu sendiri. Mereka adalah para musuh atau dianggap musuh oleh rezim Orde Baru yang berkuasa sejak tahun 1966 hingga 1999. Walaupun sesungguhnya banyak pula segi positif yang dihasilkan pemerintahan yang memegang kekuasaan dari Supersemar itu.
Berbicara tentang Supersemar, bayangan kita akan tertuju kepada dua presiden, yakni Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Sebab dengan Supersemar itulah salah satu penyebab beralihnya kekuasaan di republik ini dari Sukarno kepada Soeharto. Walaupun secara resminya jabatan Presiden RI beralih dari Sukarno kepada Soeharto pada tahun 1968.
Tanpa Nomor Surat
Sudah banyak buku sejarah dan dokumentasi media yang kita baca. Beraneka opini dan informasi yang tersiar dan tersebar di jagad nyata dan jagad maya. Semua narasumber menyajikan yang terbaik menurut versinya. Artinya, semua menjual kecap nomor satu!
Tetapi bagaimana dengan Supersemar? Kendati Surat Perintah ini “tanpa nomor”, larisnya luar biasa. Kecap Nomor Satu, tidak ada apa-apanya dibanding Supersemar. Surat Perintah “Tanpa Nomor” bertanggal 11 Maret 1966 yang ditandatangani Soekarno dengan dengan jabatan paling tinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yakni: Presiden/PanglimaTertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, tidak hanya laris manis, tetapi juga menjadi obat kuat bagi pemerintahan Orde Baru.
Jadi, kalau ada yang bertanya, apa istimewanya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar itu? Jawaban yang paling pas adalah: “Itulah surat resmi kepala pemerintahan Republik Indonesia yang berkuasa, yang tidak sah, berdasarkan hukum – saat itu. Mengapa tidak sah? Sebab surat resmi itu tidak diagendakan secara remi. Buktinya, Surat Perintah Presiden itu “Tidak Ada Nomornya”.
Untuk menghapus jejak, karena surat resmi itu tidak ada nomor dan tidak diagendakan secara resmi di Sekretariat Negara, maka dipopularkanlah dengan sebutan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret).
Coba anda perhatikan berbagai kejanggalan dari Supersemar ini. Selain tidak ada nomor suratnya, juga aneh. Mengapa aneh? Sebab surat ini dikeluarkan di Bogor, tetapi di bawahnya tercantum, Jakarta.
Satu lagi keanehan yang didiamkan adalah: Surat Perintah itu ditujukan kepada Panglima Angkatan Darat Soeharto yang pangkatnya masih Mayjen (Mayor Jenderal), tetapi pada Supersemar ditulis besar dan jelas Letnan Jenderal (Letjend) Soeharto.
Sebaiknya, mari kita simak ulang peristiwa yang terjadi di Negara ini, saat lahirnya sang bayi bernama Supersemar.
Pangkopkamtib
Dulu ada lembaga bernama Kopkamtib, singkatan dari Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban. Lembaga ini dipimpin oleh seorang komanda yang disebut Panglima. Saat bayi Supersemar ini dilahirkan yang menjadi Panglima Kopkamtib atau pangkopkamtib adalah Letjen TNI Soeharto.
Supersemar yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966 itu isinya: menginstruksikan kepada Soeharto, selaku Pangkopkamtib untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri.
Versi resmi, awalnya keluarnya Supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, terjadi setelah Presiden Sukarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet ini dikenal dengan nama “kabinet 100 menteri“.
Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden (Paspampres) yang bernama Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Mendapat laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.
Kemudian setelah Supersemar disiarkan kepada masyarakat, maka secara bertahap tampuk kekuasaan yang sebelumnya berada di tangan Presiden Soekarno beralih kepada Soeharto.
Membubarkan PKI
Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, ditindaklanjuti oleh Mayjen TNI Soeharto sebagai pengemban Supersemar segera mengambil tindakan untuk menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Langkah peling strategis yang dilakukan Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966, adalah mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan PKI beserta ormas-ormasnya yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya, beraktivitas dan hidup di seluruh wilayah Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tangal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan dari seluruh rakyat, Sebab, ini merupakan salah satu butir yang diperjuangkan oleh Angkatan 66 melalui aksinya mewujudkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Reshufle Kabinet.
Berikutnya tanggal 18 Maret 1966 pengemban Supersemar mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Diteruskan pada tanggal 27 Maret 1966, berdasarkan Supersemar dibentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh yang duduk di dalam kabinet ini adalah mereka yang jelas tidak terlibat dalam G 30 S/PKI.
Upaya lain yang juga menggunakan kesaktian Supersemar adalah membersihkan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang diduga terlibat G 30 S/PKI. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk pimpinan DPRGR dan MPRS yang baru. Pimpinan DPRGR baru memberhentikan 62 orang anggota DPRGR yang mewakili PKI dan ormas-ormasnya.
Pemagang Supersemar juga melakukan koreksi atas pemerintahan yang menggunakan system Trias Politika. Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G 30 S/PKI. Seperti halnya dengan DPRGR, keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur. Sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga kepresidenan.
Pengamanan Menteri
Mayjen TNI Soeharto selaku pengemban Supersemar mengambil tindakan dengan “pengamanan” terhadap sejumlah Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam G 30 S/PKI, yaitu sebagai berikut:
1. Dr. Subandrio : Wakil PM I, Menteri Departemen Luar Negeri, Menteri Luar Negeri/Hubungan Ekonomi Luar Negeri.
2. Dr. Chaerul Saleh : Wakil PM III, Ketua MPRS.
3. Ir. Setiadi Reksoprodjo : Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan.
4. Sumardjan : Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.
5. Oei Tju Tat, S.H. : Menteri Negara diperbantukan kepada presidium kabinet.
6. Ir. Surachman : Menteri Pengairan dan Pembangunan Desa.
7. Jusuf Muda Dalam : Menteri Urusan Bank Sentral, Gubernur Bank Negara Indonesia.
8. Armunanto : Menteri Pertambangan.
9. Sutomo Martopradoto : Menteri Perburuhan.
10. A. Astrawinata, S.H : Menteri Kehakiman.
11. Mayjen. Achmadi : Menteri Penerangan di bawah presidium kabinet.
12. Drs. Moh. Achadi : Menteri Transmigrasi dan Koperasi.
13. Letkol. Imam Sjafei : Menteri Khusus Urusan Pengamanan.
14. J.K Tumakaka : Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional.
15. Mayjen. Dr. Soemarno : Menteri/Gubernur Jakarta Raya.
Sidang Umum MPRS
Tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut.
a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga- Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
f. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
g. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.
Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS, berarti landasan awal Orde Baru berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tuntutan rakyat (Tritura) telah dipenuhi, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari unsurunsur PKI. Sementara itu, tuntutan ketiga, yaitu penurunan harga yang berarti perbaikan bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkannya perlu dilakukan dengan pembangunan secara terus-menerus dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelaksanaan pembangunan agar lancar dan mencapai hasil maksimal memerlukan stabilitas nasional.
Pelurusan lembaga legislatif dan eksekutif pasca-Supersemar Pelurusan lembaga legislatif dan eksekutif oleh pengemban Supersemar meliputi hal-hal berikut ini.
a. Pimpinan DPRGR tidak diberi kedudukan sebagai menteri, sebab DPRGR adalah lembaga legislatif, sedangkan menteri adalah jabatan dalam lembaga eksekutif.
b. Kedudukan presiden dikembalikan sesuai dengan UUD 1945 yakni di bawah MPRS bukan sebaliknya ***
Isi tulisan disarikan dari laporan Majalah Vidya Yudha No.6 th.1969 Pussemad, Wikipedia dan lain-lain.
* Penulis, Yousri Nur Raja Agam, MH adalah Wartawan Senior di Surabaya, Jawa Timur, Ketua DPP FKB KAPPI Angkatan 66 dan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (Mahawarman)