Oleh: Tonny Djayalaksana
SELAMA ini, pikiran saya terganggu oleh kenyataan akan adanya dualitas ghaib-nyata. Bagaimana mungkin saya bisa meyakini sesuatu yang tidak pernah saya saksikan, tidak pernah kenal, alami dan rasakan?
Jika saya meyakini sesuatu yang nyatanya tidak jelas, tidak pasti, tidak nyata dan hanya berdasarkan imajinasi, fiksi, ilustrasi, persepsi dan hanya dengan bekal “katanya” semata, lalu apa bedanya keyakinan saya tersebut dengan ramalan-ramalan paranormal? Sebuah keyakinan yang sifatnya hanya untung-untungan semata yang hasilnya bisa iya, dan juga bisa tidak, sehingga identik dengan judi?
Sampai akhirnya saya menyadari dan memahami, bahwa sesungguhnya semua kehidupan di alam semesta ini hanya terdiri atas dua unsur saja. Yang pertama adalah unsur materi yang nyata, tidak hidup, dan bisa disaksikan oleh panca indera. Sedangkan yang kedua adalah imateri, bersifat ghaib, atau sering disebut ruh, yang tidak bisa disaksikan oleh panca indera, dan tidak pernah mati. Nah, Kehidupan itu tercipta karena menyatunya kedua unsur tersebut. Kedua unsur itu adalah ciptaan Allah sebagai kecerdasan semesta tanpa batas.
Selama ini, saya beribadah kepada Tuhan dengan mengacu kepada pemikiran bahwa Tuhan itu ghaib. Lalu bagaimana caranya mengimani yang ghaib itu, bila yang ghaib tersebut tidak nyata? Terus bagaimana caranya saya bisa mengingat-Nya jika realitanya Tuhan itu ghaib atau tidak nyata? Sementara menurut Al-Qur'an dikatakan bahwa sholat itu disebut khusyu, kalau kita bisa mengingat-Nya.
Banyak sekali teori atau metode yang diajarkan dan sudah saya amalkan. Misalnya, menghafal 99 nama-nama Allah, membaca surat atau ayat sekaligus memahami maknanya, menyebut nama Allah dimana dan kapan saja, dan banyak lainnya. Tapi hasilnya tetap tidak berhasil membuat saya lebih khusyuk.
Bicara mengenai konsep tentang ketuhanan, menurut pemahaman saya harus bicara dulu tentang bagaimana awalnya alam semesta ini diciptakan. Karena tak bisa dipungkiri, adanya hari ini tidak terlepas dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dan jika dirunut terus kebelakang, akhirnya akan sampai ke titik nol. Titik dimana awalnya alam semesta ini diciptakan Allah.
Selama mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran saya, untuk apa Tuhan menciptakan alam semesta ini? Saya menemukan jawaban yang paling relevan dan masuk akal sehat dalam sebuah keterangan Hadits Qudsi yang berbunyi, "Aku adalah sebuah perbendaharaan tersembunyi, Aku Ingin dikenali, maka Aku ciptakan makhluk agar mengenali Aku".
Makna dari Hadits Qudsi ini sungguh sangat dalam. Allah bukan hanya semata-mata ingin disaksikan eksistensinya saja, akan tetapi dengan diciptakannya makhluk dan penghuni alam semesta lainnya, Allah sekaligus ingin menampakan wujud-Nya, yang asalnya ghaib menjadi nyata, melalui media semua makhluk dan benda yang ada di alam semesta ini.
Ada bukti bahwa pemahaman saya tersebut sangat masuk akal sehat atau logis. Contohnya adalah kehidupan di semesta ini. Baik itu makhluk yang namanya manusia, hewan, atau pun tumbuh-tumbuhan, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Bahwa adanya kehidupan di semesta ini, hanya karena menyatunya dua unsur.
Pertama adalah unsur materi/tubuh/jasad/nyata. Misalnya dalam tumbuh-tumbuhan itu pohon, atau yang berbentuk fisik lainnya yang nyata dan bisa disaksikan oleh panca indera manusia. Semua materi ini pada dasarnya tidak pernah hidup. Adapun unsur yang ke dua adalah imateri/ruh/ghaib/tidak pernah mati. Ketika unsur materi menyatu dengan unsur imateri, barulah tercipta adanya kehidupan. Artinya yang menghidupkan materi/tubuh/jasad tersebut adalah imateri/ruh/ghaib.
Pembuktiannya sangat sederhana. Kehidupan masih berlangsung ketika materi/tubuh/jasad tersebut ruhnya masih ada dalam materi/tubuh/jasad itu sendiri. Tetapi ketika ruh yang dalam materi/tubuh/jasad itu keluar, maka yang tadinya tidak pernah hidup itupun kembali tidak hidup. Jenazah manusia, bangkai hewan, atau npohon yang mati, notabene semua bentuk fisiknya sama saja dengan yang masih hidup. Satu-satunya yang membedakannya adalah karena sang hidup (ruh) sudah keluar dari fisiknya. Maka ia terlihat tidak hidup. Begitu juga sebaliknya, ruh yang tidak pernah mati, setelah keluar dari media yang dipakainya, baik itu tubuh/jasad manusia, hewan serta tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya, tetap hidup.
Pemahaman seperti inilah yang menjelaskan bahwa diri sejati dari materi/tubuh/jasad itu adalah ruh, Ruh itu sifatnya adalah ghaib. Agar bisa mewujud menjadi nyata, ruh itu perlu ada media untuk mewujud menjadi bentuk yang nyata, termasuk tubuh/jasad manusia. Karenanya, kalau saya ingin bisa fokus, murni beribadah kepada Allah sebagai Sang Maha Pencipta, maka wajib bagi saya untuk mengenali jati diri sejati saya sendiri (ruh). Melalui jati diri sejati (ruh) itulah saya bisa kontak langsung dengan Sang Maha Pencipta. Hal itu sesuai keterangan dari sebuah Hadits Qudsi, yang berbunyi : "Man ‘Arrafa Nafsahu Faqod ‘Arrafa Robbahu” yang artinya: "Barang siapa kenal dirinya, maka sungguh dia kenal Tuhannya”.
" Wa man ‘arrafa robbahu faqod jahilan nafsahu”, yang artinya: "Barang siapa kenal Tuhannya, sungguh dia merasa bodoh di hadapan Tuhannya.”
"Man tolabal maolana bigoeri nafsi faqod dolla dollaalan ba’iidaa”, yang artinya : "Barang siapa mencari Tuhan keluar dari dirinya sendiri, maka dia tersesat sejauh-jauhnya sesat”.
Tidak mengherankan, jika ternyata seorang ahli fisika kristal dari Jepang, yaitu Prof. Dr. Massaru Emoto setelah menemukan kehidupan di dalam air dan menemukan keajaiban-keajaiban dalam air zam-zam. Ternyata di dalam air juga ada Ruh-Nya, sehingga akhirnya beliau menyatakan sebuah kalimat singkat dan mendalam: "Aku telah menemukan Tuhan dalam air.”
Berikut ini saya lampirkan linknya: https://ahmadsamantho.wordpress.com/2012/11/07/ilmuwan-jepang-ternyata-air-hidup-dan-dapat-dapat-mendengar/ dan http://aceh.tribunnews.com/2014/12/19/masaru-emoto-pun-masuk-islam
Ada juga beberapa ilmuwan Belanda yang menemukan nutrisi makanan ternak melalui dialog dengan hewan-hewan peliharaannya. Begitu juga pengalaman seorang teman yang sering terganggu oleh hama tikus. Ia sudah kehabisan akal dan tak bisa mengusirnya dari rumah.
Akhirnya, dia menemukan metode untuk mengusir tikus-tikus tersebut dengan cara diajak berdialog. Ia memakai kata-kata penuh kasih sayang, dan hasilnya sangat menakjubkan. Seolah-olah para tikus itu mengerti akan maksud dari teman saya tersebut dan pada akhirnya mereka (tikus) tersebut, tidak datang mengganggu lagi.
Masih banyak contoh-contoh lainnya perihal berbicara dengan flora, fauna dan sesama penghuni semesta ini, dan hasilnya memang sangat luar biasa. Mereka yang berinteraksi dengan flora, bunga-bunganya mekar dengan penuh keceriaan.
Begitu pula cerita dari guru saya. Beliau selalu berdialog dengan sebuah pohon Nangka berukuran sedang-sedang saja yang tumbuh di halaman rumah beliau. Pohon tersebut hampir sepanjang tahun berbuah terus.
(Bersambung)
Tentang Penulis: Tonny Djayalaksana, di Bandung 69 tahun silam. Ia menjadi Muallaf (masuk Islam) ketika berusia 30 tahun. Hampir 40 tahun masa hidupnya, ia mencari dan menggumuli terus-menerus berbagai macam pertanyaan spiritual yang berkecamuk dalam batinnya selama ini.