Murder is like potato chips: you can’t stop with just one.
― Stephen King
DJEMMY Worang merasa ada yang janggal malam itu. Namun saat itu ia belum tahu malam bisa menjelma begitu jahanam di tempatnya tinggal.
Pukul 23.30 WIB Senin malam (12/11/2018), sepi menyambut Djemmy ketika sampai di depan indekosnya di Jalan Bojong Nangka II, Pondok Melati, Bekasi. Gemerencing dan gesekan rantai dengan gerbang yang dibuka anaknya, Haeril, tak berbalas.
Biasanya, istri pengelola kos, Maya Sofya Ambarita, melongok dari jendela tempat tinggalnya, persis di balik gerbang, lalu menyapa, “Pak Djemmy baru pulang, ya?”
“Polanya sama, nggak berubah," kata Djemmy yang dijumpai di indekos itu, Rabu (14/11/2018).
Djemmy adalah penghuni istimewa di sana. Ia sudah tinggal di indekos itu selama empat tahun, saat tempat tersebut mulai dikelola Daperum pada 2014. Djemmy dan seorang penghuni lain, Dokter Feby Lola, diberi akses kunci gerbang. Penghuni lain tidak.
Indekos yang terletak di kecamatan hasil pemekaran dari Pondok Gede itu terdiri dari dua lantai dengan total 28 kamar―14 kamar di lantai dasar dan 14 kamar di lantai atas. Kosan itu merupakan milik Dogalas Nainggolan.
Tahun 2014, Dogalas menyerahkan pengelolaan kosan kepada adiknya, Daperum Nainggolan. Daperum menetap bersama istrinya, Maya, dan dua anak mereka, Sarah Marisa Putri Nainggolan serta Yehezkiel Arya Paskah Nainggolan, di rumah depan indekos sembari membuka toko kelontong.
Dogalas sendiri tinggal di kosan itu, di kamar yang paling dekat dengan rumah depan yang ditempati keluarga adiknya.
Akses dari jalan menuju indekos harus melewati gerbang yang juga jadi pintu masuk rumah Daperum. Dari total 28 kamar di indekos itu, hanya 14 kamar yang dihuni―10 kamar di lantai dasar dan 4 kamar di lantai atas. Di situ, Djemmy Worang menyewa kamar di lantai dua untuk ditinggali bersama dua putranya.
Empat tahun tinggal di sana membuat Djemmy hafal betul kebiasaan pengelolaan indekos, termasuk soal waktu dan cara penguncian pintu gerbang.
Biasanya, pengelola indekos―suami-istri Daperum-Maya―akan mengunci gerbang dengan cara serupa: gerbang dililit rantai besi sebanyak tiga kali, sebelum dikunci menggunakan gembok berukuran besar.
Hanya Daperum, Dogalas sang abang, Djemmy, dan Dokter Feby Lola yang punya kunci gerbang. Sementara penghuni lain harus menghubungi Daperum atau Maya lewat telepon untuk minta dibukakan gerbang jika pulang larut malam di atas pukul 23.00 WIB.
Membuka dan menutup gerbang selalu menimbulkan suara berisik akibat gesekan besi dan rantai. Itu sebabnya Maya tahu bila ada penghuni kosan datang, dan biasa menyapa.
Namun tidak malam itu. Dan hal tersebut di luar kelaziman yang telah berjalan selama bertahun-tahun. Djemmy dihinggapi perasaan ganjil, tapi tak terlampau memikirkannya karena fisik yang lelah. Ia langsung menuju kamar dan pulas terlelap.
Ketika Djemmy telah tidur nyenyak pukul 01.00 dini hari, penghuni indekos di kamar nomor lima di lantai dasar, Nining, terbangun karena mendengar jerit kesakitan perempuan.
Jeritan itu terdengar selama satu menit dan membuat Nining merinding. Ia gelisah dan tak bisa kembali tidur. Ia mengira suara itu lengkingan setan.
“Saya cuma istighfar. Siapa yang tidak merinding (mendengarnya), sampai saya nggak bisa tidur lagi. Saya tidak tahu (itu suara apa), setan saja mungkin,” ujar Nining.
Satu setengah jam kemudian, pukul 02.30 WIB, Sulistyaningsih yang menghuni kamar nomor tiga di lantai dasar, tak jauh dari Nining, terbangun dari tidur. Ia memang biasa bangun di sepertiga malam untuk salat tahajud.
Sulis belum sepenuhnya terjaga ketika mendengar suara mesin mobil dihidupkan. Lamat-lamat terdengar bunyi mobil bergerak mundur, seperti keluar dari indekos.
Ada yang aneh. Sulis mendengar gerak-gerik tak lumrah dari mobil itu. Biasanya, pemilik dan pengelola indekos akan memanaskan mesin mobil selama beberapa waktu sebelum memakainya. Tapi kali itu tidak.
“Mobil langsung jalan. Biasanya kalau mereka pergi, mobil dipanasin dulu lama,” kata Sulis yang tinggal di indekos itu bersama dua anaknya.
Meski begitu, Sulis tak melongok keluar, sehingga tak tahu siapa yang menggunakan mobil tersebut di pagi buta itu.
“Sekitar jam 02.30 WIB, (ada mobil) melaju kencang sekali (di jalanan kampung yang sempit), sampai polisi tidur saja dihajar,” kata Muhammad Soleh, satpam setempat.
Satu jam setelah terdengar bunyi mobil keluar dari rumah Daperum, pukul 03.30 WIB, Dokter Feby yang menempati kamar nomor dua, hendak membukakan gerbang untuk adiknya yang akan berangkat kerja.
Ia punya kunci gerbang, dan sudah hafal kebiasaan Daperum yang baru membuka gerbang sekitar pukul 05.00 WIB. Namun tak seperti biasanya, jam 03.30 itu gerbang ternyata sudah terbuka lebar.
Feby terkejut, sebab tahu betul pasangan Daperum dan Maya sangat teliti soal urusan mengunci gerbang. Ia makin heran karena suara televisi masih terdengar dari dalam rumah, dan mobil Nissan X-Trail yang terparkir di depan kamar Dogalas sudah tak ada.
Deretan hal di luar kelaziman itu membuat Feby berinisiatif mengetuk pintu rumah Daperum untuk memastikan keadaan. Namun ketukan itu tak mendapat jawaban. Feby lantas menelepon ponsel Maya, dan mendapati nomor telepon seluler ibu kosnya itu tak aktif.
Alih-alih Daperum atau Maya yang muncul, justru Sulis yang keluar dari kamar kosnya karena mendengar ketukan Feby di pintu rumah utama. Melihat Sulis, Feby memberi tahu keganjilan-keganjilan yang ia lihat kepada tetangga kamarnya itu.
Mereka berdua kemudian menyimpulkan, mungkin Daperum atau kakaknya, Dogalas, pergi menggunakan mobil, sedangkan anggota keluarga lain masih terlelap. Feby dan Sulis kemudian masuk kembali ke kamar masing-masing.
Tiga jam kemudian, pukul 06.30 WIB kala hari telah terang, Feby keluar rumah dan melihat keadaan di rumah induk semangnya masih tak berubah. Televisi masih terdengar menyala dan gerbang tetap terbuka lebar.
Lebih aneh lagi, Daperum belum juga tampak. Padahal pada jam tersebut, ia biasa mengantar anaknya ke sekolah.
“Jam setengah tujuh, anaknya harusnya berangkat sekolah, bertepatan dengan Daperum berangkat kerja,” kata Feby saat berbincang dengan penulis.
Gelagat janggal tuan rumah membuat Feby kembali mengetuk pintu Daperum. Tapi lagi-lagi ketukan itu tak mendapat jawaban. Feby lalu kembali mengirim pesan ke nomor WhatsApp Maya, dan masih tak berbalas.
Keterangan pada WhatsApp Maya menunjukkan aplikasi itu terakhir dilihat sang empunya pukul 23.13 WIB. Kecurigaan Feby makin menjadi-jadi. Ia berinisiatif mencongkel jendela untuk mencari tahu kondisi di dalam rumah.
Jendela berterali besi itu pun terbuka, dan Feby menyingkap gorden. Ia langsung berteriak histeris ketika melihat induk semangnya tergeletak bersimbah darah di lantai. Daperum dan Maya mati ditikam linggis.
Teriakan Feby membuat penghuni kos lain keluar. Suasana kian riuh karena kondisi sekitar juga ramai, bertepatan dengan jam masuk sekolah. Di dekat indekos itu, terdapat dua sekolah, yakni SD Jatirahayu II dan SMP Nasional I.
Warga Jatirahayu beserta para orang tua siswa yang terpancing rasa penasaran, berduyun-duyun mendatangi rumah Daperum. Sementara Rahmad, satpam SMP Nasional I, mencoba masuk ke rumah Daperum melalui rolling door toko kelontong milik keluarga itu yang terletak di depan rumah.
Rahmad, atas persetujuan warga, berupaya masuk dengan prioritas untuk melihat kondisi kedua anak Daperum yang hingga saat itu belum diketahui. Sebab dari jendela, hanya terlihat Daperum dan Maya yang terkapar di lantai ruang tengah.
Rolling door toko kelontong yang menyambung ke rumah Daperum ternyata tak dikunci. Padahal, ujar Haji Abdul Salim tetangga korban, rolling door itu biasanya terkunci dan bila dibuka akan berbunyi berisik yang terdengar sampai ke rumahnya.
Rahmad pun masuk dengan mudah melalui rolling door yang tak terkunci. Tragisnya, putra dan putri Daperum-Maya, Sarah dan Arya Nainggolan, juga tewas. Kakak adik berusia 9 dan 7 tahun itu ditemukan di kamar mereka sudah tak bernyawa. Mereka mati dicekik.
Dari kamar Sarah dan Arya, polisi membawa keluar boneka beruang berwarna ungu. Boneka yang diduga sempat dipegang oleh sang pembunuh itu lantas didekatkan ke hidung anjing pelacak untuk diendus-endus guna mencari jejak pelaku.
Dalam hitungan menit, kepala rukun tetangga setempat, Agus Sany, tiba di kediaman Daperum. Saat itu, sekitar pukul 06.45 WIB, rolling door rumah Daperum sudah terbuka lebar degan warga menyemut padat di depannya.
Lima belas menit kemudian, pukul 07.00 WIB, tim penyelidik dari Polresta Bekasi tiba di sana dan melakukan olah tempat kejadian perkara. Tidak ditemukan kerusakan pada pintu masuk ke rumah korban, dan tidak ada harta korban selain mobil Nissan X-Trail yang hilang.
Terbunuhnya keluarga Daperum tak pelak mengejutkan warga Jatirahayu. Terlebih, kediaman mereka berlokasi di permukiman padat penduduk.
Berjarak 20 meter dari rumah Daperum, terdapat gedung SMP Nasional I yang dijaga satpam 24 jam. Sementara dalam 10 meter, tiang listrik di lingkungan itu selalu dipukul oleh petugas ronda malam setiap satu jam begitu lewat tengah malam.
Terlebih, Daperum memelihara anjing jenis mongrel bernama Si Kancil―yang biasa menggonggong kepada mereka yang mendatangi rumah tuannya.
Anehnya, di malam jahanam itu, para penghuni indekos dan tetangga sama sekali tak mendengar Si Kancil menggonggong. Menurut Hilarius, salah satu penghuni kos, Si Kancil biasa sekadar mengendus kepada orang-orang lama yang hilir mudik di sana.
Jasad keluarga Daperum dibaringkan di empat peti terbuka, dikelilingi para pelayat berbusana selempang ulos yang menghadiri upacara pelepasan jenazah di rumah duka di samping Gereja Lahai Roi, Cijantung, Jakarta Timur.
Siang itu, Rabu (14/11/2018), isak tangis tak putus mengiringi pemberangkatan empat jenazah menuju kampung halaman mereka di Pulau Samosir, Sumatera Utara.
Pada saat yang sama, pembunuh mereka, Haris Simamora, berada dalam bus yang melaju ke kaki Gunung Guntur.
Sumber: kumparan.com