Kebebasan Pers yang Beretika
Oleh: Irwan Prayitno*
Prolog
Pada tahun 1931, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan “Persbreidel Ordonnantie”. Dengan kebijakan ini, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda punya hak melarang penerbitan yang mengancam ‘ketertiban umum’.
Pada saat itulah, melalui tulisan berjudul “Tuntut Kemerdekaan Pers” di koran Daulat Rakjat, Bung Hatta melancarkan kritikan pedasnya. Di bagian pembuka artikelnya, Bung Hatta mengutip pasal 12 “Declaration of Human Right: “bahwasanya kebebasan pers itu adalah salah satu benteng kemerdekaan yang besar, dan hanya dapat dimatikan oleh pemerintah yang bersifat sewenang-wenang.”
Bagi Bung Hatta, kemerdekaan pers merupakan hak rakyat yang asli, yang tidak boleh dihilangkan dan disia-siakan. Ia mencatat, ketika terjadi pergerakan besar di Eropa yang menggulingkan kekuasaan feudal, kemerdekaan pers merupakan salah satu hak rakyat yang paling pertama diakui.
Seorang pemikir penyokong revolusi borjuis, John Stuart Mill, menyebut keberadaan pers sebagai penjaga perasaan umum (public opinion).
PENDAHULUAN
Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
Secara konseptual, kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana dan bersih. Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif dan yudikatif.
Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.
Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi, ”setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media yang dinilai melanggar peraturan dan mengeritik penguasa bisa dikenakan pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui ”rezim SIUPP” (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Pascareformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan tersebut antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-Satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
PERS DAN TUNTUTAN GLOBAL
Pengaruh global, telah menempatkan pers sebagai salah satu industri yang sexy. Sebuah industri tentu tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan. Berbagai kepentingan terhadap perusahaan pers, menimbulkan berbagai bias dalam publikasi. Intervensi owner terhadap output pemberitaan adalah sesuatu hal yang lazim terjadi.
Memang benar secara langsung suatu lembaga atau seseorang tidak bisa mengatur berita yang keluar dari media, namun biasanya sang pemilik media akan bisa dipengaruhi oleh lembaga tersebut. Apalagi jika pemilik media telah masuk dalam pusaran politik dan menjadi pendukung salah satu kandidat, maka indepedensi sebuah media akan sangat diragukan.
Jujur saja, saat ini kita akan sulit menemukan media yang benar-benar independen di Indonesia. Hampir semua media pemiliknya "berurusan" dengan kekuasaan, politik dan ekonomi. Hampir mustahil media tidak diintervensi oleh pemiliknya. Hampir tidak ada pemilik media yang tidak terkontaminasi dengan politik.
Peranan Pemda dalam Memajukan Kemerdekaan Pers di Sumbar
Seperti yang saya sampaikan tadi, bahwa industri pers telah menjadi sebuah pilihan yang menarik. Kenapa tidak?
Sebagai perbandingan saja, bahwa di Sumbar ada 19 Kabupaten dan Kota. Jika masing-masing Kabupaten Kota minimal 1 miliar saja dana publikasinya, artinya telah ada Rp19 miliar dana untuk media. Belum lagi anggaran dari BUMN, BUMD. Setidaknya untuk Sumbar, minimal satu tahun telah tersedia anggaran sebesar Rp 30 miliar untuk media. Tentu ini sebuah peluang industri yang menjanjikan. Ini hanya gambaran di Sumbar, bandingkan dengan provinsi lain yang punya alokasi anggaran lebih besar.
Seiring dengan besarnya anggaran untuk media, maka bermunculanlah ratusan media online. Mereka tumbuh tanpa melalui proses yang sesuai dengan kaedah pers. Kadang hanya dengan modal Rp500 ribu, mereka telah membuat sebuah portal wordpress dan telah mengaku sebagai sebuah media massa. Padahal berita-berita yang disajikan hanya copy paste dari berita yang telah ada dari media lain. Esensi jurnalistik mereka tidak faham, apalagi etikanya. Mereka pun telah mengaku juga sebagai wartawan.
Hal ini menimbulkan persoalan yang cukup pelik. Kadang mereka bikin berita sendiri tanpa tahu dengan 5 W + 1 H. Bahasa yang digunakanpun kadang membuat kita risih karena banyak yang tidak patut.
Yang membuat kita gundah adalah, karena mereka banyak (konon lebih kurang 800-an media online di Sumbar), sebahagian masyarakat percaya kepada berita yang mereka buat. Padahal berita mereka tidak melalui investigasi, konfirmasi dan klarifikasi. Di lain pihak, media yang benar, beritanya tertutup oleh berita media yang tidak benar karena jumlah mereka yang sedikit.
Untuk mengatasi hal tersebut, saya mempunyai kiat dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2018 tentang bagaimana sistem kerjasama antara pemerintah provinsi dengan media. Kami tidak menghalangi berita, kami hanya mengatur bagaimana sistem kerjasama.
Tujuan Pergub tersebut salah satunya adalah mendorong media dan wartawan untuk profesional. Media harus berbadan hukum, penanggungjawabnya harus wartawan dengan kompetensi utama, punya kantor, SIUP, TDP dan lain-lain. Walaupun sempat kami didemo, namun demi menghargai profesionalitas media dan dunia kewartawanan, kami jalan terus.
Jadi, saya dan pemerintah daerah tidak ada upaya menghalangi kebebasan dan kemerdekaan pers, justru dengan terbitnya Pergub No. 30 tahun 2018 tersebut, kami mendorong pers yang bebas dan bertanggung jawab. Perusahaan pers akan berupaya profesional melengkapi persyaratan administrarifnya, wartawannya ditantang agar menjadi wartawan yang berkompeten melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Pemerintah daerah butuh pers. Pers adalah mata dan telinga kami. Pers adalah sahabat kami. Tanpa pers kami kehilangan sahabat yang mau mengingatkan kami. Jangan biarkan kami jalan sendiri tanpa pengawalan pers. Kami butuh kritik, kami butuh sahabat yang mau ingatkan kami. Tetapi tentu saja pers yang penuh etika dan bermartabat. Agar pers bermartabat, jadilah pers yang profesional, jadilah wartawan yang berkompeten.
*Penulis adalah Gubernur Sumatera Barat