YOGYAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menerima laporan adanya pelarangan liputan yang dialami jurnalis peliput aksi pengosongan bakal lahan New Yogyakarta International Airport (NYIA) Kulonprogo, Kamis (19/7/2018).
Pelarangan itu setidaknya menimpa empat kontributor media nasional di Yogyakarta. Bambang Muryanto (The Jakarta Post), Abdus Somad (Suara.com), Furqon Ulya Himawan (Media Indonesia) dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).
Dalam keterangannya pada AJI Yogyakarta, Bambang menceritakan, pelarangan berlangsung ketika sejumlah jurnalis ingin mendekat ke lokasi penggusuran. Di tengah perjalanan, tak jauh dari portal jalan raya di Desa Glagah, empat polisi lalu lintas yang berjaga menyetop mereka.
Meski para jurnalis itu telah memperlihatkan kartu pers dan menjelaskan kedatangan ke lokasi penggusuran, polisi tetap melarang mereka melakukan tugas jurnalistik. Polisi, menurut dia, mengatakan pelarangan itu merupakan perintah PT. Angkasa Pura I. “Alasan mereka sudah banyak jurnalis yang meliput di lokasi,” katanya.
Negosiasi antara polisi dan jurnalis pun berlangsung alot. Alhasil, polisi akhirnya mempersilahkan para jurnalis meliput ke lokasi penggusuran.
Somad mengatakan meski berhasil mendekat ke lokasi dan mereportase proses penggusuran, sekawanan polisi tak berseragam tak berhenti membuntutinya. Bahkan, ketika ia akan mengambil gambar alat berat yang sedang menghancurkan rumah warga, beberapa di antara mereka sengaja menghalangi lensa kamera.
Menurut dia, tak semua jurnalis peliput menerima perlakukan intimidatif seperti itu. Di lokasi pengusuran, ia melihat ada banyak jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik. Mayoritas di antaranya mengenakan rompi oranye.
Pp“Ini aneh, kenapa mereka (jurnalis berompi oranye) diberikan kebebasan meliput sedangkan kami justru dihalang-halangi,” katanya.
Furqon mengatakan seorang polisi bercerita padanya. Beberapa saat sebelum penggusuran berlangsung, PT. Angkasa Pura membagi rompi oranye pada sekelompok jurnalis. “Hanya jurnalis yang pakai rompi yang boleh mendekat ke lokasi penggusuran,” katanya.
Berdasarkan keterangan yang AJI Yogyakarta himpun, hari ini PT. Angkasa Pura I bersama ratusan polisi dan tentara mengusir 300 warga Temon, Kulonprogo. Mereka merobohkan 38 rumah warga dan memaksa penghuninya angkat kaki dari tanahnya. Pengosongan lahan itu terkait dengan rencana pemerintah membangun bandara baru di Kulonprogo.
Hingga kini, tercatat ada 68 kepala keluarga yang menolak menjual tanahnya. Bukannya mengendepankan cara dialogis dan manusiawi, PT. Angkasa Pura justru menggunakan cara-cara represif-intimidatif untuk mendapatkan tanah warga.
Sesuai uraian di atas, AJI Yogyakarta menyatakan sikap :
1. Lokasi penggusuran adalah ruang publik. Sehingga jurnalis berhak melakukan tugas peliputan di wilayah tersebut. Pelarangan jurnalis menjalankan tugas adalah bentuk pengekangan kebebasan pers dan pelanggaran terhadap UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Pasal 4 UU Pers menjamin kemerdekaan pers, dan pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Dalam ketentuan pidana pasal 18 UU Pers, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat menghambat atau menghalangi ketentuan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 terkait penghalang-halangan upaya media untuk mencari dan mengolah informasi, dapat dipidana dalam pidana kurungan penjara selama 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah.
2. Penggusuran dan pembangunan adalah isu publik. Satu tugas utama jurnalis adalah alat kontrol sosial dan mengawal kepentingan publik. Maka, sudah sepatutnya isu penggusuran warga Kulonprogo menjadi isu prioritas dalam pemberitaan, khususnya media lokal.
3. Mengutuk aksi pelarangan liputan dan perlakuan diskriminatif PT. Angkasa Pura I terhadap wartawan.
Yogyakarta, 19 Juli 2018
Anang Zakaria
Ketua AJI Yogyakarta