Oleh Gunawan Trihantoro
TEMPAT paling sepi di muka bumi di Indonesia adalah: kuburan, kamar mayat, dan perpustakaan.” Ungkapan ini datang dari seorang penulis dan aktivis literasi, Maman Suherman. Terdengar jenaka, tapi sesungguhnya mengandung kritik sosial yang menggigit dan mengusik kesadaran kolektif kita.
Kuburan dan kamar mayat adalah tempat sunyi yang tak terelakkan. Ia menyimpan keheningan kematian yang memang ditakdirkan tanpa suara.
Namun, ketika perpustakaan disandingkan sebagai tempat paling sepi, di sinilah ironi itu menjelma menjadi kegelisahan kultural yang nyata.
Data dari UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya sekitar 0,001 persen, satu dari seribu orang yang benar-benar membaca secara aktif.
Di negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, angka ini mencerminkan keprihatinan yang mendalam terhadap budaya literasi.
Kesepian perpustakaan bukan hanya karena kosongnya pengunjung, tapi juga karena matinya rasa ingin tahu yang seharusnya tumbuh dalam jiwa masyarakat.
Meski demikian, ada secercah harapan. Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat Indonesia meningkat dari 66,77 pada 2023 menjadi 72,44 pada 2024.
Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan mencatat skor tertinggi sebesar 79,99, membuktikan bahwa upaya kolektif membuahkan hasil.
Namun, tren positif ini belum merata. Banyak daerah masih tertinggal dalam akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas dan mudah dijangkau.
Faktor lainnya adalah dominasi tradisi lisan dan gempuran media digital yang lebih menghibur ketimbang mencerahkan.
Dalam kondisi seperti itu, perpustakaan seringkali terpinggirkan, dianggap kuno, dan tak relevan lagi dengan zaman.
Padahal, perpustakaan adalah ruang hidup bagi ide. Ia bukan hanya gudang buku, tapi semestinya menjadi arena pencarian makna dan jendela dunia.
Sama seperti kamar mayat menyimpan jasad, perpustakaan yang sepi menyimpan bangkai-bangkai gagasan yang tak sempat hidup.
Kita harus bertanya, sejak kapan kita lebih memilih hiburan instan daripada pengetahuan yang tumbuh pelan namun membumi?
Sekolah dan keluarga menjadi kunci utama. Anak-anak perlu dibiasakan membaca bukan hanya sebagai tugas, melainkan kebutuhan dan kegembiraan.
Kini banyak inisiatif dilakukan, seperti perpustakaan mini berbasis komunitas dan program literasi di sekolah yang kreatif dan menyenangkan.
Namun, semua itu tidak akan berarti tanpa perubahan paradigma, bahwa membaca bukan sekadar kemampuan, tapi budaya.
Perpustakaan harus direvitalisasi, bukan hanya dari segi bangunan, tapi juga dari jiwa. Ia perlu diisi dengan aktivitas, dialog, dan kebersamaan.
Buku bukan benda mati. Ia bicara pada mereka yang mau mendengarkan. Maka, kesunyian perpustakaan adalah cermin sunyinya semangat membaca kita.
Penting untuk mengubah persepsi bahwa membaca itu membosankan. Justru di sanalah imajinasi, empati, dan wawasan manusia berakar.
Kita tidak butuh perpustakaan mewah bila tidak ada cinta terhadap membaca. Kita hanya butuh satu buku, dan satu anak yang mencintainya.
Sebab dari situlah bangsa besar bermula, bukan dari proyek mercusuar, tapi dari halaman-halaman yang dibaca dengan hati dan pikiran terbuka.
Ungkapan Maman Suherman adalah sindiran sekaligus peringatan. Bila perpustakaan tetap sepi, jangan heran jika peradaban kita perlahan ikut sekarat.
Dan jangan salah, tempat paling sepi bukan yang tak ada suara, tapi yang tak ada gagasan.(*)
Rumah Kayu Cepu, 6 April 2025