Oleh: Drs. Mochamad Taufik, M.Pd
#menulis30esai&opini-edisi ke 21
DALAM budaya Nusantara, kita mengenal sebuah peribahasa yang sarat makna: “Ilmu padi, makin berisi, makin merunduk.” Ungkapan ini tidak hanya sekadar kalimat puitis, melainkan mengandung pelajaran moral yang mendalam: semakin tinggi ilmu dan pengalaman seseorang, maka seharusnya makin rendah hati pula sikapnya.
Sayangnya, di tengah laju modernitas yang serba cepat dan kompetitif, semangat ini mulai terkikis. Tak jarang, seseorang yang telah mencapai gelar akademik tinggi atau posisi sosial tertentu justru menjadikan ilmunya sebagai alat kesombongan. Padahal, Al-Qur’an secara tegas melarang sikap seperti ini.
Dalam QS. Al-Isra’ ayat 37, Allah Swt. mengingatkan:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
Ayat ini menyadarkan bahwa kesombongan hanyalah ilusi. Manusia tidak akan pernah mampu menembus bumi atau menjulang setinggi gunung. Maka, rendah hati adalah pilihan yang lebih bijak bagi orang beriman dan berilmu.
Dalam ranah keilmuan, sikap rendah hati justru menjadi kunci pengembangan diri. Psikolog Margarani dan Budiyani (2021) dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa kerendahan hati berperan penting dalam membentuk kemampuan memaafkan, empati, dan hubungan sosial yang sehat.
Hal ini relevan dalam konteks pendidikan, di mana interaksi antarpelajar dan pendidik akan lebih bermakna bila dilandasi semangat saling menghargai.
Sementara itu, Megawati (2022) menyoroti pentingnya intellectual humility atau kerendahan hati intelektual sebagai benteng dari bias kognitif di era informasi. Ketika seseorang merasa paling benar dan menutup diri dari sudut pandang lain, maka ia rentan tersesat dalam sempitnya pemahaman.
Begitu pula dalam dunia pendidikan tinggi. Penelitian terbaru oleh Zulfa dan Santoso (2023) menegaskan bahwa mahasiswa yang memiliki sikap rendah hati cenderung lebih kolaboratif, terbuka pada kritik, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga matang secara emosional.
Fenomena kesombongan intelektual sejatinya menghambat pertumbuhan. Seseorang yang merasa “sudah tahu segalanya” sejatinya sedang menutup pintu pembelajaran. Sedangkan mereka yang rendah hati akan terus belajar, karena menyadari bahwa ilmu itu tak pernah usai.
Dunia kerja pun menghargai karakter seperti ini. Perusahaan-perusahaan terkemuka kini lebih memprioritaskan emotional intelligence, bukan hanya IQ. Kolaborasi, kepemimpinan yang empatik, dan kemampuan mendengar adalah nilai-nilai yang lahir dari kerendahan hati.
Pada akhirnya, ilmu bukanlah milik pribadi. Ia adalah titipan dari Tuhan untuk membawa manfaat. Maka, makin tinggi ilmu, seharusnya makin tinggi pula rasa syukur, makin besar semangat berbagi, dan makin dalam kerendahan hati.
Karena sejatinya, yang benar-benar berisi… justru tidak pernah merasa lebih tinggi dari yang lain.(*)