Penulis: Ririe Aiko
#30Harimenulispuisiesai
Puisiesai 27
UNTUK anak-anak yang bertahan di bawah lampu merah, di negeri yang seringkali melupakan nama mereka –
Di perempatan kota, seorang bocah bersandar pada tiang,
kulitnya berdebu, mimpi-mimpinya tersimpan di saku celana.
Ia menggenggam lembaran koran yang lusuh,
menjual kata-kata di antara klakson yang memekik,
berharap ada tangan terbuka, atau sekadar pandangan iba. (1)
Semakin larut, angin menyusup kedalam tubuh kecil yang mulai gemetar.
namun dinginnya malam, tak setajam tatapan yang mengusir.
Sesekali matanya mengiba,
Melihat anak-anak yang berselimut hangat dibalik kaca jendela,
Bersandar empuk sambil membaca buku,
“Kapan aku bisa sekolah? Jika sekolah hanya bisa terbuka bagi mereka yang bersepatu dan berseragam.” (2)
Ia tak pernah berani bermimpi soal masa depan, baginya lapar sudah menjadi teman.
Kepingan rupiah hanya mampu membuatnya sehari bertahan, kemudian esok? Ia harus kembali berjuang, berperang dijalanan.
“Pak, beli koran ini. Lima ribu saja,”
tapi jendela mobil itu tertutup rapat,
seperti telinga negara yang pura-pura tuli
pada suara kecil yang menggigil di pinggir jalan.
“Di matanya, kota ini seperti panggung otoritarianisme,” (3)
di mana yang lemah semakin dimiskinkan,
dan yang kuat semakin berkuasa.
Mereka menyebutnya angka
statistik yang naik-turun di meja birokrasi.
Tapi bocah itu tahu, ia bukan sekadar data.
Ia bernyawa, bermimpi, meski tak ada yang mengingat namanya. (4)
Pernah, ia ingin menjadi guru
mengajarkan abjad kepada adik-adik jalanan,
agar mereka tak buta pada dunia
yang sering kali hanya ramah pada yang berpunya.
Namun nyatanya, ia hanya bisa menghitung receh di tangannya,
sementara di gedung tinggi, pejabat menghitung anggaran
yang menguap seperti asap di udara. (5)
Ia tahu, di atas sana ada orang-orang yang bicara tentang masa depan,
tapi di bawah sini, masa depan terasa begitu jauh.
Ada program bantuan yang tak pernah sampai,
ada janji-janji yang karam di lautan waktu.
Di bawah bendera yang berkibar gagah,
adakah tempat bagi mereka yang namanya tak tercatat?
Hidup di dunia fana yang tak kenal keadilan,
mereka belajar hukum pertama kehidupan:
yang lemah harus pandai bertahan sendiri,
yang kuat tak perlu bersusah hati, karena seisi dunia akan siap melayani.
Jika suatu hari ia hilang
siapa yang peduli?
Negara tak akan merindukannya.
Karena tak pernah benar-benar mengenalnya.
Malam ini, di bawah lampu jalan yang redup,
ia merapatkan jaket tipis di tubuh ringkihnya.
Ia bukan hanya seorang bocah di pinggir jalan,
ia adalah wajah dari ribuan yang dilupakan,
nama yang hanya tertulis sebagai data,
Jiwa kecil yang mati di pusaran kemiskinan yang tak mengenal belas kasihan.
—ooo—
Catatan:
(1) Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat lebih dari 16 ribu anak jalanan di Indonesia yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan sosial. Mereka terpaksa bekerja di jalanan demi bertahan hidup. (Sumber: KPAI, 2024)
(2) Meski pemerintah menggulirkan program wajib belajar, banyak anak dari keluarga miskin tidak dapat mengakses pendidikan karena keterbatasan biaya seragam, buku, dan kebutuhan sekolah lainnya. (Sumber: Laporan UNICEF, 2023)
(3)https://populis.id/read4413/apa-itu-otoritarianisme
(4)Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka kemiskinan anak di Indonesia mencapai 9,36% pada 2023. Dalam banyak pidato resmi, anak-anak ini hanya menjadi angka di laporan, jauh dari perhatian yang nyata. (Sumber: BPS, 2023)
(5) Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023 mengungkapkan adanya penyimpangan dana sebesar Rp 1,2 triliun di sektor kesejahteraan sosial, termasuk dana bantuan pendidikan. (Sumber: BPK, 2023)