Oleh: Wawan Susetya#


SUDAH menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan orang di dunia itu lebih mencintai dengan apa yang disebut “tiga ta”; harta, tahta dan wanita. Artinya, karena tiga hal itu menjadi tujuan utama dalam hidupnya, maka kesadarannya selalu terfokus padanya.

Siang dan malam yang dipikirkan bagaimana agar mereka dapat menggapai pada tujuan yang dimaksud. Dan, itulah kesadaran kebanyakan orang di dunia ini.

Jelas, kesadaran seperti itu bertolak belakang dan berbeda sekali dengan kesadaran orang-orang beriman (orang mukmin).

Hal itu sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah at-Taubah ayat 23-24:

Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu, pemimpin- pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.

Ibnu Katsier dalam Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid IV, (1988) menjelaskan bahwa ayat di atas, Allah memerintahkan orang-orang mukmin menjauhi orang-orang kafir, walaupun mereka itu bapak-bapak, anak, atau saudara-saudara mereka sendiri.

Dan, Allah juga melarang untuk berkasih sayang kepada mereka yang masih lebih mengutamakan kekafiran mereka daripada beriman.

Begitulah, Allah mengecam orang-orang yang mencintai kerabatnya, harta bendanya, perusahaannya dan tempat tinggalnya lebih daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya, lebih daripada melakukan jihad di jalan-Nya. Maka Allah pun mengancam supaya mereka menunggu keputusan-Nya kepada mereka.

Ibnu Katsier lalu menafsirkan Surah al-Taubah ayat 23-24 tersebut dengan Surah Almujadalah ayat 22 yang artinya: 

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.

Mereka itulah orang-orang yang telah ditanamkan keimanan dalam hati mereka oleh Allah dan menguatkannya dengan pertolongan (kebersihan dan kekuatan batin) yang datang daripada-Nya.

Dan dimasukkannya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka akan kekal di dalamnya.

Dari ayat di atas, kita dapat menemukan benang-merah mengenai Teologi Cinta atau mengenai urutan cinta yang diajarkan Allah Swt kepada manusia, yakni; 

Pertama, mencintai kepada Allah Swt. 

Kedua, mencintai Rasul-Nya.

Ketiga, mencintai berjihad di jalan Allah.

Secara umum, pengertian jihad itu sering dimaknai identik dengan perang melawan orang-orang kafir.

Meskipun itu benar, yakni ketika dilaksanakan pada zaman Rasulullah menghadapi serangan kaum kafir, tetapi substansi dari jihad bisa bermakna lebih luas, yakni menegakkan kebenaran atau kejujuran (shidiq).

Maka, dalam perspektif Agama Islam, urutan mengenai cinta yang juga sinkron dengan teologi cinta di atas, yakni mencintai para Nabi/Rasul, shidiqien, syuhada, sholihin. Artinya, penempatan shidiqien (orang-orang yang berjuang di jalan Allah) berada setelah mencintai para Nabi dan Rasul Allah.

Hal itu mengisyaratkan bahwa posisi shidiqien itu lebih tinggi daripada syuhada (orang yang gugur di medan peperangan melawan kaum kafir) dan orang-orang sholeh pada umumnya.

Dalam perspektif umum, setelah mencintai Allah, Rasul dan berjihad di jalan Allah, selanjutnya mencintai ibu, bapak, istri, anak, dan seterusnya. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pandangan Agama Islam, sehingga jangan sampai kita salah menempatkan porsi dan urutan mengenai cinta.

Mengapa demikian? Sebab, jika sampai keliru mengenai persepsi atau pemahamannya mengenai teologi cinta ini, maka mereka akan terkena ancaman Allah yang begitu keras; tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya!

Pada suatu hari, Rasulullah sedang berjalan bersama Umar Bin Khathab. Rasulullah terlihat memegang tangannya sahabatnya, Umar. Dalam kesempatan itu, Umar Bin Khathab berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintaimu lebih dari pada segala sesuatu selain diriku.

Sesungguhnya ucapan Umar Bin Khathab itu bermakna bahwa ia lebih mencintai dirinya sendiri daripada cintanya kepada Rasul. Maka, Rasul pun menegur kepada Umar seraya mengatakan, “Tiada beriman seorang di antara kamu, melainkan bila aku dicintai lebih daripada dirinya sendiri”.

Setelah mendengar sabda Rasul seperti itu, maka Umar Bin Khathab secara spontan mengatakan, Jika demikian, maka demi Allah, engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Rasul pun menyambut perkataan sahabat, Sekaranglah hai Umar.

Peristiwa di atas benar-benar mencerminkan pengalaman spiritual yang sangat menakjubkan yang dialami Umar Bin Khathab. Meski awalnya Umar dengan jujur mengatakan lebih mencintai dirinya sendiri daripada cintanya kepada Rasulullah, namun setelah ditransfer oleh Rasul dengan memegangi tangannya, maka secara spontan Umar berterus-terang bahwa Rasul lebih ia cintai daripada dirinya sendiri.

Artinya, pada momentum itu ada peristiwa perubahan keimanan Umar Bin Khathab dari iman bisa menuju kesempurnaan iman. Keimanan dalam diri Umar benar-benar telah berubah 180 derajad; yakni dari iman biasa ke tahap kesempurnaan iman, yakni; mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaan kepada keluarga dan dirinya sendiri.

Peristiwa spiritual yang dialami Umar itu, dalam Tasawuf, disebut hal; yakni adanya perubahan dalam diri seseorang ketika memperdalam spiritual.

Makanya, Umar dalam waktu sekejap saja telah bisa menerima kebenaran iman secara haq. Dan, kuncinya adalah kesadaran mengenai teologi cinta dalam perspektif Islam secara benar, bukan seperti cintanya kebanyakan orang pada “tiga ta” di atas. (*)

# Penulis adalah sastrawan, budayawan dan penulis Satu Pena Jatim, tinggal di Tulungagung-Jatim




 
Top