Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Seri Pahlawan Radin Intan
PAGI yang berkabut di kaki Gunung Rajabasa, Radin Intan berdiri di tepi jurang, memandang ke arah lautan luas yang membentang di selatan. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma garam yang bercampur dengan udara pegunungan yang segar.
Meski matahari belum sepenuhnya terbit, cahayanya yang lembut mulai menyinari wajah Radin Intan, seakan memancarkan harapan di tengah gelapnya masa penjajahan.
Radin Intan, putra keturunan bangsawan Lampung yang sejak kecil telah dibekali dengan nilai-nilai keberanian dan tanggung jawab, kini dihadapkan pada kenyataan yang tak terhindarkan: tanah kelahirannya sedang dijajah.
Rakyat Lampung yang dulu hidup damai kini menderita di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Desa-desa dijarah, petani-petani dipaksa menyerahkan hasil panen mereka, dan setiap suara perlawanan dibungkam dengan kekerasan.
Tapi Radin Intan tak gentar. Di balik pandangan matanya yang tenang, tersemat tekad yang tak tergoyahkan. Ia tahu, perlawanan harus segera dimulai. Hatinya dipenuhi dengan kebencian pada ketidakadilan yang dirasakan rakyatnya, tetapi juga dengan cinta yang mendalam pada tanah kelahirannya.
Baginya, kemerdekaan bukan sekadar impian, tapi hak yang harus diperjuangkan.
Malam itu, di sebuah rumah panggung di tengah hutan, para tetua suku dan para prajurit berkumpul. Mereka datang dari berbagai desa di Lampung, dengan wajah yang penuh harap. Di hadapan mereka, Radin Intan berdiri tegar.
Usianya masih muda, tapi kepemimpinannya diakui oleh semua. Ia bukan hanya seorang bangsawan, tapi seorang pejuang yang telah menunjukkan keberanian di berbagai pertempuran kecil melawan penjajah.
“Radin Intan, apakah kau yakin kita bisa menang?” tanya salah satu tetua dengan suara berat. Wajahnya penuh keriput, tanda dari usia tua dan pengalaman panjang yang ia miliki.
“Kemenangan bukan soal jumlah, tapi soal keberanian dan keteguhan hati,” jawab Radin Intan tegas.
“Kita mungkin kalah dalam jumlah, tapi kita tidak akan kalah dalam semangat. Tanah ini, tanah Lampung, adalah milik kita. Sudah waktunya kita merebutnya kembali.”
Suara gemuruh setuju terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Semangat perjuangan menyala di mata setiap prajurit dan tetua yang hadir. Radin Intan tahu bahwa malam itu adalah awal dari sesuatu yang besar. Mereka bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga melawan rasa takut yang selama ini menguasai mereka.
Pagi itu, kabut yang menyelimuti lembah perlahan menghilang, seiring dengan datangnya pasukan Radin Intan. Mereka bergerak dalam senyap, menyusuri pepohonan lebat di lereng Gunung Rajabasa. Di bawah, pasukan Belanda sudah bersiap dengan senjata lengkap, merasa yakin dengan kemenangan mereka yang telah lama mereka nikmati.
Namun, yang tidak mereka ketahui adalah bahwa Radin Intan dan pasukannya telah mempelajari medan pertempuran dengan seksama. Setiap sudut lembah sudah menjadi bagian dari strategi mereka. Radin Intan sendiri memimpin di garis depan, matanya tajam meneliti gerak-gerik musuh.
Saat sinyal serangan diberikan, pasukan Lampung menerjang. Seruan perang memenuhi udara, mencampur dengan denting senjata dan jeritan. Radin Intan berjuang dengan gagah berani, mengayunkan pedangnya dengan penuh keterampilan. Setiap tebasannya membawa nyawa musuh, sementara pasukannya mengikuti dengan semangat yang sama.
Pertempuran berlangsung sengit, namun perlahan-lahan, pasukan Belanda mulai terdesak. Taktik gerilya yang diterapkan oleh Radin Intan berhasil membingungkan musuh.
Mereka menyerang dengan cepat, lalu menghilang di balik pepohonan sebelum musuh sempat bereaksi.
Di tengah medan perang, Radin Intan tak pernah kehilangan fokus. Ia terus memimpin, meski darahnya sendiri sudah mulai mengalir dari luka-luka di tubuhnya. Baginya, luka-luka itu hanyalah bukti dari perjuangannya. Setiap tetes darah yang tumpah adalah pengorbanan untuk tanah airnya.
Namun, di balik kemenangan-kemenangan kecil yang diraih oleh pasukan Radin Intan, awan gelap mulai mengintai. Tak semua yang berada di pihaknya benar-benar setia. Salah satu bawahannya, yang iri dengan kepemimpinan Radin Intan, diam-diam berkhianat. Ia memberikan informasi kepada Belanda tentang strategi dan lokasi persembunyian pasukan Lampung.
Suatu malam, saat pasukan Radin Intan sedang beristirahat setelah pertempuran panjang, mereka diserang tiba-tiba oleh pasukan Belanda. Serangan itu begitu mendadak dan terorganisir, membuat banyak prajurit Lampung gugur tanpa perlawanan. Radin Intan sendiri berhasil lolos, namun dengan hati yang penuh luka. Pengkhianatan ini adalah pukulan berat bagi perjuangannya.
Meskipun demikian, Radin Intan tidak menyerah. Baginya, perjuangan untuk kemerdekaan adalah jalan panjang yang penuh rintangan. Ia memutuskan untuk menyusun strategi baru, mengumpulkan pasukan yang tersisa, dan mempersiapkan serangan balasan yang lebih besar.
Pertempuran terakhir terjadi di lereng Gunung Rajabasa. Pasukan Belanda, yang merasa telah menang, tidak menyangka bahwa Radin Intan akan kembali dengan kekuatan penuh. Di bawah komando Radin Intan, pasukan Lampung sekali lagi bangkit, dengan semangat yang lebih membara.
Pertempuran berlangsung sengit, dan meski pasukan Belanda memiliki senjata yang lebih canggih, keberanian dan kecerdikan Radin Intan berhasil membuat mereka kewalahan. Di tengah pertarungan, Radin Intan berhadapan langsung dengan komandan Belanda. Pedang mereka beradu dalam pertarungan sengit, namun akhirnya, dengan satu tebasan yang cepat dan tepat, Radin Intan berhasil mengakhiri nyawa musuhnya.
Namun, kemenangan ini tidak datang tanpa pengorbanan. Radin Intan sendiri terluka parah dalam pertempuran tersebut. Meski tubuhnya lemah dan darah mengalir deras, ia tersenyum. Baginya, kemerdekaan adalah sebuah harga yang pantas dibayar dengan nyawa.
Di saat-saat terakhirnya, Radin Intan memandang ke arah matahari yang mulai terbit di ufuk timur. Cahaya itu terasa hangat, seolah menjadi simbol dari harapan yang selama ini ia perjuangkan.
Dengan napas terakhirnya, ia berbisik, “Kemerdekaan akan selalu menjadi milik kita.”
Meskipun Radin Intan telah gugur, semangat perjuangannya tetap hidup di hati rakyat Lampung. Namanya dikenang sebagai pahlawan besar, seorang penerang dari selatan yang tak pernah gentar melawan ketidakadilan. Perjuangannya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya untuk terus memperjuangkan kebebasan dan kedaulatan tanah air.
Dan hingga kini, di setiap sudut Lampung, nama Radin Intan tetap bersinar terang, seperti cahaya yang tak pernah padam di langit selatan.
Cerita ini menggambarkan Radin Intan sebagai seorang pejuang yang penuh keberanian dan tekad dalam memperjuangkan kemerdekaan Lampung, menghadapi pengkhianatan, pertempuran, dan pengorbanan demi kebebasan tanah airnya. (*)