Cerpen Ilhamdi Sulaiman
DI PINGGIR jalan, sebuah warung rokok menempel di pagar bangunan tua. Lelaki tua itu berdiri di sana, menghisap rokoknya dalam-dalam. Asapnya berputar ke udara, lenyap bersama pikirannya yang tak tenang. Sudah beberapa hari ini, ia selalu kembali ke tempat itu, menunggu seseorang yang terus menghantuinya.
Lelaki itu baru saja bebas dari penjara. Dua belas tahun ia mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2 karena membunuh istrinya sendiri. Kini, tanpa rumah, tanpa harta dan tanpa arah, ia menjalani hidup sebagai gelandangan, tidur di emperan toko, di jembatan penyeberangan, atau sekadar menghabiskan malam dengan mengobrol dengan orang-orang yang tak peduli padanya.
Namun, ada satu hal yang tak bisa ia lupakan—anak perempuannya yang dulu baru berusia empat tahun saat tragedi itu terjadi. Gadis kecil yang, dalam ingatannya, bersembunyi ketakutan di sudut ruangan ketika ibunya meregang nyawa di tangannya. Setelah pembunuhan itu, ia tak pernah tahu lagi ke mana anaknya pergi.
Subuh kemarin, di warung rokok itu, ia bertemu dengan seorang perempuan muda.
“Dia sering ke sini,” kata pemilik warung. “Setiap subuh, sebelum pulang ke kontrakannya, dia beli rokok dan kebutuhan sehari-hari.”
Saat itu, perempuan muda itu menatapnya. Tatapan kosong, tapi menusuk. Lelaki tua itu merasa aneh. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang mengusik hatinya, seolah ada hubungan yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertemuan singkat di warung kecil ini.
Hari ini, ia kembali menunggu di tempat yang sama. Tapi perempuan itu tak datang.
“Apakah perempuan yang kemarin subuh itu tidak ke sini?” tanyanya pada pemilik warung.
“Belum. Biasanya menjelang subuh dia sudah di sini, diantar oleh gigolonya,” jawab tukang warung.
Lelaki tua itu mengerutkan dahi. “Gigolo?”
“Ya. Dia bekerja di rumah kuning. Dia pelacur, Pak.”
Lelaki tua itu terdiam. Ia menguap, kantuk mulai menyerangnya. Tanpa banyak bicara, ia beranjak menuju jembatan penyeberangan. Di sanalah biasanya ia beristirahat. Begitu duduk, kepalanya langsung tertunduk, terlelap di tengah hiruk-pikuk kota yang terus bergerak.
Lima hari berlalu. Lelaki tua itu tak lagi muncul di warung. Pemilik warung merasa ada yang hilang. Ia sudah terbiasa berbincang dengannya di tengah malam hingga pagi.
Lalu, suatu malam, perempuan muda itu kembali datang.
“Rokok setengah, gula seperempat, sampo saset satu,” katanya singkat. Ia tak perlu menyebut merek—Yono, pemilik warung, sudah tahu kebiasaannya.
Namun kali ini, setelah menerima barang pesanannya, ia bertanya, “Yono, lelaki tua itu masih sering ke sini?”
“Sudah beberapa hari ini dia tak pernah datang,” jawab Yono.
“Di mana rumahnya?”
“Dia gelandangan, tidak punya rumah. Biasanya tidur di jembatan sana,” kata Yono, menunjuk ke arah jembatan penyeberangan.
Perempuan itu tak berkata apa-apa. Ia hanya diam, lalu pergi.
Hari ketujuh. Lelaki tua itu tak lagi muncul. Orang-orang pun mulai melupakannya.
Di jembatan penyeberangan, tubuh kurus lelaki tua itu terkulai. Ia sakit. Kakinya lemah, tubuhnya menggigil dan ia bahkan tak punya tenaga untuk bangkit. Orang-orang yang melintas hanya melirik sekilas, lalu berlalu. Bagi mereka, pemandangan seperti ini bukan hal baru.
Namun, malam itu, perempuan muda itu datang. Dari tangga jembatan, ia melihat lelaki tua itu terbaring di sudut. Langkahnya dipercepat. Ia berjongkok di hadapannya.
“Saya tahu darahmu mengalir di tubuh Regina,” katanya pelan. “Tapi sayang, setelah diperkosa, Regina dibunuh oleh para pemerkosa itu. Kini dia telah bersama ibunya di sana. Semoga Bapak bisa bersama mereka nanti… di surga.”
Lelaki tua itu terdiam. Bibirnya gemetar, matanya berkaca-kaca. Nama itu—Regina—menusuk dadanya seperti pisau.
Perempuan itu, Santi, berdiri. Ia meraih tangan lelaki tua itu, menyelipkan beberapa lembar uang ke genggamannya.
Lalu ia pergi, meninggalkan lelaki tua itu sendiri di bawah langit malam yang kian dingin. (*)
Jakarta, 8 Maret 2025
*) Nama Pena Boyke Sulaiman, Sutradara Teater, Penyair dan Pembaca Puisi. Lahir 66 tahun lalu di Medan pada tanggal 12 September 1957.
Menamatkan pendidikan sarjana Sastra dan Bahasa Indonesia di Universitas Bung Hatta Padang pada tahun 1986.
Berkesenian sejak tahun 1976 bersama Bumi Teater Padang pimpinan Wisran Hadi.
Pada tahun 1981 mendirikan Grup Teater Proklamator di Universitas Bung Hatta. Lalu pada tahun 1986, hijrah ke kota Bengkulu dan mendirikan Teater Alam Bengkulu sampai tahun 1999 dengan beberapa naskah diantaranya naskah Umang Umang karya Arifin C. Noer, Ibu Suri karya Wisran Hadi dan tahun 2000 hijrah ke Jakarta mementaskan Naskah Cerpen AA Navis Robohnya Surau Kami Bersama Teater Jenjang Jakarta serta grup grup teater yang ada di Jakarta dan Malaysia sebagai aktor freelance.
Selama perjalanan berteater telah memainkan 67 naskah drama karya penulis dalam dan luar negeri, monolog dan deklamator. Serta mengikuti event lomba baca puisi sampai saat ini dan kegiatan sastra lainnya hingga saat ini.