Oleh Wahyu Iryana

- Sejarawan dan Penyair UIN Raden Intan Lampung


RAMADAN beranjak menuju ujung. Seperti perahu yang mulai menepi, kita pun bersiap-siap menanggalkan pelayaran panjang dalam samudra ibadah. Di langit sore yang perlahan kehilangan jingganya, sering kali muncul pelangi tipis seperti sapuan warna yang nyaris tak kasatmata. Pelangi di ujung Ramadan adalah metafora yang sempurna: indah, tapi fana; menggoda, tapi sulit digenggam.

Setiap tahun, kita menyaksikan bagaimana Ramadan membawa perubahan dalam kehidupan. Lampung yang biasanya riuh oleh lalu-lalang kendaraan, selama sebulan ini lebih teduh. Masjid-masjid penuh, langgar-langgar hidup dengan lantunan ayat suci, dan di sudut gang, anak-anak berlarian mencari bedug. Namun, semua itu memiliki batas. Kita, manusia, adalah makhluk yang mudah kembali pada kebiasaan. Pertanyaannya, apakah Ramadan benar-benar meninggalkan jejak dalam diri kita, atau sekadar lewat seperti pelangi di ujung hujan?

Kita tentu ingin Ramadan menjadi lebih dari sekadar jeda. Ia harus menjadi pintu yang mengantarkan kita pada kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, godaan setelahnya sering kali lebih besar. Setelah sebulan menahan diri, tiba-tiba kita merasa pantas merayakan kemenangan dengan pesta pora. Ketika azan Magrib 1 Syawal berkumandang, sebagian orang lupa bahwa puasa sejati adalah menahan diri sepanjang hayat.

Di Lampung, fenomena ini bisa kita saksikan dalam berbagai bentuk. Jalanan yang sepi sepanjang Ramadan mendadak penuh menjelang Idulfitri. Pasar-pasar malam yang tadinya menjual takjil berubah menjadi lautan manusia yang berburu pakaian baru. Masjid yang tadi ramai oleh jamaah Tarawih mendadak senyap ketika Syawal tiba. Apakah ini yang disebut kemenangan?

Pelangi di ujung Ramadan juga bisa diartikan sebagai harapan. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan deras, Ramadan seharusnya membawa kesejukan setelah perjalanan panjang penuh tantangan. Ibadah yang kita jalani selama sebulan bukan sekadar rutinitas, melainkan proses transformasi. Ada yang tiba-tiba lebih sabar, ada yang lebih rajin berbagi, ada yang menemukan kembali hakikat spiritualitasnya. Itulah hadiah sejati Ramadan bukan sekadar ketupat dan opor ayam.

Namun, pelangi juga mengajarkan kita tentang kefanaan. Ia muncul sebentar, lalu menghilang. Ramadan pun demikian. Jika kita tidak mengikatnya erat dalam diri, ia akan berlalu begitu saja. Inilah tantangan sejati: menjaga semangat Ramadan agar tak luntur seiring berjalannya waktu.

Barangkali, kita bisa belajar dari tradisi yang ada di berbagai daerah. Di beberapa tempat di Lampung, ada kebiasaan untuk tetap menjalankan puasa sunah Syawal, seakan ingin memperpanjang ruh Ramadan. Ada pula yang menjadikan Idulfitri sebagai momen untuk memulai kebiasaan baik baru—entah itu lebih rajin ke masjid, lebih sering bersedekah, atau sekadar lebih ramah kepada tetangga. Semua ini adalah upaya agar pelangi Ramadan tetap berpendar dalam hidup kita.

Pada akhirnya, Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, melainkan perjalanan spiritual yang panjang. Jika kita berhasil membawa cahaya Ramadan ke bulan-bulan berikutnya, maka kita telah menang. Jika tidak, Ramadan hanya akan menjadi pelangi yang indah, tetapi segera lenyap.


Syair; Pelangi di Ujung Ramadan


Ramadan pergi, cahaya meredup,

Langit berbisik, rindu menelusup.

Doa mengalun di batas senja,

Tersisa jejak di dada yang renta.


Pelangi tipis di langit petang,

Seperti janji yang tak bisa ditangkap.

Akankah hati tetap bertahan,

Atau kembali pada kelam yang silam?


Pelangi itu milik siapa? 

(*)



 
Top