Cerpen M Taufik


LANGIT sore mulai memerah ketika suara tawuran menggema di sudut jalan kota. Sekelompok remaja berseragam sekolah berlarian sambil membawa kayu dan batu, sementara suara sirene polisi mulai terdengar mendekat. Di tengah kekacauan itu, seorang anak laki-laki bernama Reyhan berdiri terpaku.

Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena ia sadar… ia sudah terlalu jauh tersesat.

Dulu Aku Anak Baik

Reyhan bukan anak yang nakal. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarganya. Ia selalu rajin sholat, mengaji dan hormat kepada guru. Ibunya selalu berkata, “Nak, istiqomah itu lebih sulit dari memulai kebaikan. Tapi itulah kunci hidup yang berkah.”

Namun, semua berubah ketika ia mulai kecanduan game online. Awalnya hanya bermain sebentar, tapi lama-lama ia lupa waktu. Sholat mulai bolong, belajar tak lagi penting, dan bahkan ia mulai berani membentak ibunya saat disuruh berhenti.

Tak cukup dengan game, ia mulai terpengaruh teman-teman baru yang mengajaknya ikut geng sekolah. Tawuran, merokok, bahkan menghina guru menjadi hal biasa. Ia tidak lagi peduli dengan nilai agama yang dulu tertanam dalam dirinya.

Dan hari ini, ia baru saja melihat temannya, Dika, memukul seorang guru hanya karena ditegur saat merokok di kelas.

Kebanggaan yang Pudar

Ketika polisi membubarkan tawuran, Reyhan lari pulang. Sesampainya di rumah, ia melihat ibunya menangis di teras.

“Reyhan… kamu bukan anakku yang dulu,” suara ibunya bergetar. “Di mana sholatmu? Di mana akhlakmu? Apakah ini hasil dari semua doa yang Ibu panjatkan?”

Reyhan terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia ingin menjawab, ingin meminta maaf, tapi hatinya terlalu keras.

Tiba-tiba, ibunya membaca ayat yang membuatnya merinding:

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” (QS. Ali ‘Imran: 103).

“Nak,” ibunya melanjutkan, “kamu lupa bahwa Islam mengajarkan kita untuk istiqomah. Kesabaran, akhlak, dan ibadah tidak boleh berubah hanya karena dunia menawarkan kesenangan sesaat. 

Rasulullah SAW bersabda: 

‘Katakanlah, aku beriman kepada Allah, lalu beristiqomahlah.’ (HR. Muslim).”

Reyhan mulai menangis. Baru kali ini ia merasa kosong, seolah semua yang ia kejar selama ini tidak ada artinya.

Perjalanan Kembali

Malam itu, Reyhan mengambil wudhu. Ia berdiri di atas sajadahnya, merasakan betapa asingnya ia terhadap tempat yang dulu paling ia rindukan. Dengan suara bergetar, ia membaca doa:

“Ya Allah, aku ingin kembali. Aku ingin menjadi anak yang Engkau ridhoi.”

Hari-hari berikutnya adalah perjuangan. Meninggalkan kebiasaan buruk itu tidak mudah. Teman-temannya mengejeknya, memanggilnya “sok alim” dan “pecundang.” Tapi ia ingat pesan ibunya, “Istiqomah itu sulit, tapi pahalanya besar.”

Di sekolah, ia mulai berani menegur teman yang membully siswa lain. Ia kembali hormat pada guru dan pelan-pelan, cahaya yang hilang dalam dirinya mulai menyala lagi.

Pesan untuk Generasi Alpha

Reyhan sadar, banyak remaja sepertinya yang tersesat. Kenakalan bukan bukti bahwa kita kuat, justru itu tanda bahwa kita sedang lemah. Karena orang yang kuat adalah yang bisa menahan diri dari godaan dunia.

Jika kamu merasa jauh dari Allah, kembalilah.

Jika kamu merasa sulit istiqomah, berjuanglah.

Dan ingat, dunia ini sementara, tapi nilai-nilai kebaikan akan menjadi bekal selamanya.

Tamat


Catatan:

Statistik Kenakalan Remaja: Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), jumlah pengaduan hak anak pada tahun 2023 meningkat sebesar 30% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan total 3.547 kasus.

Kasus Perundungan: Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan peningkatan kasus perundungan di sekolah, dengan 30 kasus sepanjang 2023 dibandingkan 21 kasus pada 2022.

Pandangan Pakar Psikologi: Pakar psikologi menekankan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku yang melanggar norma sosial dan hukum, seringkali disebabkan oleh pengabaian sosial.(*)




 
Top