PADANG -- Pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Barat (BPBD Sumbar) menolak permintaan informasi dan data penggunaan dana Covid-19 Sumbar yang diajukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. Hal itu membuat LBH Padang mengajukan sengketa informasi atas penolakan tersebut.
“Permintaan informasi dan data penggunaan dana Covid 19 di Sumatera Barat merupakan ikhtiar kami untuk mengawal dan membongkar kasus dugaan tindak pidana korupsi Covid-19 di Sumatera Barat,” tegas Direktur LBH Padang Indira Suryani, kepada awak media di Padang, Selasa (31/8/2021).
Indira mengatakan, di masa pandemi Covid-19, secara bersama semua pihak harus mengawal agar uang rakyat tidak dicuri, dirampok dan dirampas oleh segelintir orang ataupun golongan.
“Hal urgen saat ini, semestinya setiap kepala daerah mewajibkan setiap instansi publik yang menggunakan dana penanggulangan Covid-19 mentransparansikan secara luas kepada publik sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa transparansi penting untuk mencegah terjadinya perampokan dan pencurian uang rakyat di masa Pandemi Covid-19.
Menurut Indira, "drama penegakan hukum dugaan tindak pidana korupsi dana Covid-19 di Sumbar menyita perhatian publik. Bukan hanya karena tingginya angka dugaan kerugian negara dalam penggunaan dana Covid-19 Sumbar, namun juga lemahnya penegakan hukum oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar).
Ia menilai demikian karena Polda Sumbar telah menghentikan penyelidikan dugaan korupsi dengan alasan pengembalian kerugian negara.
Oleh sebab itu, LBH Padang bersama Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Sumbar mengawal dan memonitoring penegakan hukum atas dugaan tindak pidana korupsi Covid-19 di Sumatera Barat.
Monitoring dan pengawalan kasus ini merupakan salah satu bentuk peran serta dan partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi sesuai amanat Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi”.
Sayangnya permintaan LBH Padang tidak diberikan oleh pihak BPBD Sumbar melalui surat Nomor: 360/584/BPBD/2021 dengan alasan menghambat proses jalannya penyelidikan dan penyidikan.
Kemudian karena tidak diperoleh informasi dan data yang dimintakan, maka LBH Padang mengirimkan surat keberatan dengan Nomor: 97/SK-E/LBH-PDG/VII/2021 tertanggal 6 Juli 2021 dengan tujuan Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) selaku Ketua Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama Provinsi Sumbar.
Hingga berita ini diturunkan, LBH Padang tidak mendapatkan informasi dan data yang dimintakan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ulasan Dugaan KKN di BPBD Sumbar
Sebelumnya, Sabtu (28/8/2021), media nasional Tempo mengulas dugaan KKN pada kegiatan pengadaan hand sanitizer atau cairan pembersih tangan di tubuh BPBD Sumbar dengan judul MAIN HARGA PROYEK KELUARGA.
Polisi menghentikan penyelidikan korupsi pengadaan cairan pembersih tangan yang diduga melibatkan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat bersama anak dan istrinya. Apa dasar hukumnya?
Berikut ulasannya:
PENYELIDIKAN itu berakhir antiklimaks. Empat bulan berjalan, Kepolisian Daerah Sumatera Barat mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) kasus korupsi proyek penanganan pandemi Covid-19 di Badan Penanganan Bencana Daerah (BPPD) Sumatera Barat, akhir Juni lalu. Polisi beralasan pelaku sudah mengembalikan kerugian negara.
Polisi juga menganggap barang bukti tak kuat. “Setelah hasil pemeriksaan, kemudian dari saksi ahli menyampaikan bahwa tidak ada bukti pidana. Dan anggaran sudah dikembalikan,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatera Barat Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu Setianto pada Kamis, 26 Agustus 2021.
Kasus korupsi pengadaan hand sanitizer ini sempat menghebohkan Sumatera Barat awal tahun lalu. Polisi membuka penyelidikan pada 26 Februari lalu. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat juga membentuk panitia khusus dari lintas fraksi. Modalnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan dana penanggulangan pandemi Covid-19 di Sumatera Barat yang terbit pada 28 Desember 2020.
Laporan ini mengungkap dugaan penggelembungan harga cairan pembersih tangan dalam botol berukuran 100 militer dan 500 mililiter yang diduga merugikan negara Rp 4,9 miliar. Kerugian ini kian bertambah karena perusahaan pemenang tender tak merealisasi pengadaan 10 ribu botol cairan pembersih tangan senilai Rp 350 juta. Kekisruhan ini diduga melibatkan Kepala Pelaksana BPBD Sumatera Barat Erman Rahman dan keluarganya.
Wakil Ketua Panitia Khusus DPRD Sumatera Barat, Nofrizon, mengatakan timnya juga menemukan kejanggalan lain berupa pencairan anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan. “BPBD Sumatera Barat membayar secara tunai ke delapan perusahaan yang menjadi rekanan keseluruhan sebesar Rp 46 miliar,” ujar politikus Partai Demokrat tersebut.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020 mensyaratkan proyek yang berkaitan dengan penanganan Covid-19 harus mentransfer uang dari kas negara ke rekening pelaksana tender.
Setelah rampung mengumpulkan bukti, Panitia Khusus DPRD Sumatera Barat melaporkan semua temuan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Mei lalu. Namun, menurut Nofrizon, laporan Panitia Khusus berpotensi mentah karena Kepolisian Daerah Sumatera Barat menghentikan penyidikan kasus ini.
Panitia Khusus DPRD Sumatera Barat mengklaim sudah menerima pengakuan Kepala Pelaksana BPBD Sumatera Barat Erman Rahman. Kepada Panitia, Erman mengaku menerima komisi dari perusahaan rekanan pengadaan cairan pembersih tangan. “Saya akui bahwa kami mendapat fee Rp 5.000 tiap sebotol kecil hand sanitizer, Rp 25 ribu untuk botol besar,” ucap Nofrizon menirukan ucapan Erman Rahman saat diwawancarai Pansus.
Namun, dalam berbagai kesempatan kepada wartawan, Erman Rahman membantah tudingan terlibat korupsi pengadaan cairan pembersih tangan. Ia menyebutkan laporan BPK tersebut bukan berstatus temuan, melainkan pertanyaan.
Dihubungi akhir Agustus lalu, Erman beserta keluarganya mengaku sebulan terakhir terjangkit Covid-19. Ia mengatakan kondisi kesehatannya tidak memungkinkan dia menjelaskan kasus ini. “Kondisi saya masih labil, sempat kritis di rumah sakit. Kalau jalan, napas sesak. Kan sudah diperiksa di Polda di BPK,” ujar Erman.
•••
KANTOR CV CBB beralamat di lantai 1 Pangeran Beach Hotel, Padang. Tak banyak aktivitas di dalam kantor. Terlihat hanya ada tiga karyawan penukaran valuta asing di sana. Di depan kantor, terpasang banner bertulisan money changer. Sedangkan di sisi kiri dan kanan bertulisan Uda Metro Exchange Indonesia.
CV CBB merupakan salah satu rekanan BPBD Sumatera Barat dalam proyek pengadaan cairan pembersih tangan. Seorang karyawan Uda Metro Exchange Indonesia, yang menolak menyebutkan nama, mengatakan kantornya menyatu dengan CV CBB. “Bisa beli hand sanitizer dan masker di sini,” ucapnya, Kamis, 26 Agustus lalu.
Menurut karyawan ini, staf CV CBB hanya sesekali berada di kantor. “Mereka ngontrak di bagian dalam kantor kami, yang dulunya dipakai untuk kantor travel,” ujar seorang pria. Dua perempuan di kantor tersebut menjawab hal serupa.
Laporan BPK menyebutkan ada penggelembungan harga cairan pembersih tangan botol berukuran 100 mililiter yang dikerjakan CV CBB dan dua perusahaan lain, yakni CV BTL dan PT MPM. Audit terhadap anggaran penanganan Covid-19 di Sumatera Barat itu mengindikasikan selisih dengan harga sebenarnya diduga mencapai Rp 1,87 miliar. Nilai keseluruhan proyek dari ketiga perusahaan itu sebesar Rp 2,87 miliar
Wakil Ketua Pansus DPRD Sumatera Barat Nofrizon mengatakan sudah mewawancarai perusahaan tersebut. “Mereka mengakui mendapat informasi dan mendapat pekerjaan ini dari istri Kalaksa (Kepala Pelaksana) BPBD. Mereka dikasih tahu, karena berhubungan dekat. Padahal perusahaan mereka belum berpengalaman soal pengadaan alat kesehatan,” tutur Nofrizon.
Semua perusahaan itu belakangan diketahui tak satu pun yang bergerak di bidang kesehatan. Bahkan ada izin perusahaan yang baru diterbitkan beberapa pekan menjelang mereka mendapatkan proyek di BPBD.
CV BTL, misalnya, sebelumnya berbisnis tekstil. Adapun CV CBB baru berdiri pada 25 Juni 2020 dengan usaha di bidang perdagangan eceran alat laboratorium, farmasi, dan kesehatan. Sekitar 12 hari didirikan, CV CBB mendapat kontrak kerja di BPBD untuk pengadaan hand sanitizer dari BPBD Sumatera Barat.
Meski baru seumur jagung, CV CBB juga mendapatkan proyek lain dari BPBD. Pada 3 Juli, perusahaan ini menjadi rekanan pengadaan thermo gun. “CV CBB memperoleh pesanan dari BPBD sebanyak empat kali,” demikian tulisan laporan audit BPK.
Adapun PT MPM didirikan pada 29 Juli 2019 dan disebutkan bergerak di bidang perdagangan besar alat laboratorium, farmasi, dan kedokteran. Namun mereka baru mendapat izin usaha pada 11 Februari 2020.
Ketiganya mendapatkan proyek yang menyebutkan harga sebotol cairan pembersih tangan berukuran 100 mililter senilai Rp 35 ribu. Mereka menutupi merek cairan pembersih dengan stiker berlogo BPBD. Dari penelusuran BPK, harga sebotol hand sanitizer 100 mililiter sebenarnya hanya Rp 9.000. BPK menengarai ketiga perusahaan mengambil keuntungan Rp 26 ribu per botol alias 288 persen dari harga sebenarnya.
Penelusuran BPK juga menemukan fakta bahwa proyek ini diduga dikerjakan oleh istri dan anak Kepala Pelaksana BPBD Sumatera Barat Erman Rahman. BPK menengarai mereka hanya meminjam nama ketiga perusahaan untuk mengikuti tender.
Indikasi BPK ini didasarkan pada temuan bahwa istri Erman, Tuti Sumarni, yang memesan cairan pembersih tangan itu. Menurut BPK, penulisan nama ketiga perusahaan tadi sebagai produsen hand sanitizer seperti yang tertera di faktur, ditengarai dilakukan atas permintaan Tuti.
“Hasil wawancara dengan Kepala BPBD, yang bersangkutan mengakui pemesanan hand sanitizer dilakukan istrinya. Yang bersangkutan mengakui bahwa istrinya yang membayar kepada PT NBF sebesar Rp 9.000 per botol,” tulis laporan BPK tersebut. PT NBF merujuk pada produsen dan distributor hand sanitizer. Semua perusahaan diduga hanya menandatangani berbagai dokumen atas arahan Tuti.
BPK turut menyorot pengadaan cairan pembersih tangan berukuran 500 militer. Dalam pengadaan ini, BPBD Sumatera Barat menggandeng PT AMS untuk menyediakan 55 ribu botol senilai Rp 4,375 miliar. Harga per botol Rp 125 ribu dengan merek Ins+ance. Pengadaan ini juga dianggap mubazir karena BPBD masih menyimpan stok lama sebanyak 16.173 botol.
PT AMS diduga tak berpengalaman di bidang alat kesehatan. Perusahaan ini sebelumnya bergerak di bidang konstruksi. PT AMS diduga berkongsi dengan CV CBB. Faktur pembelian mencantumkan CV CBB seolah-olah menjual cairan pembersih tangan berukuran 500 militer itu seharga Rp 70 ribu per botol kepada PT AMS. Padahal harga asli hand sanitizer berukuran 500 mililiter di pabrik hanya Rp 40 ribu per botol, sudah termasuk ongkos kirim. PT AMS diduga mendapat keuntungan 212 persen dari transaksi ini.
Pembayaran diduga dilakukan oleh menantu Erman. Anak Erman juga diduga pernah ikut membayar cairan pembersih tangan tersebut. “Transaksi ini mengindikasikan bahwa pembayaran tidak dilakukan oleh PT AMS, melainkan oleh orang yang tidak ada hubungannya dengan proses pengadaan hand sanitizer 500 mililiter, namun teridentifikasi sebagai orang yang memiliki hubungan dengan Kepala Pelaksana BPBD,” tulis laporan BPK.
Wakil Ketua Pansus DPRD Sumatera Barat Nofrizon mengatakan lembaganya sempat hendak memanggil istri, anak, dan menantu Erman. Namun Erman pasang badan. “Bicara temuan LHP, ada pihak keluarga, ada anak, menantu, dan istri. Saya tanya, mereka pegawai BPBD atau relawan? Ternyata tidak. Maka ada keterlibatan keluarga. Setelah itu, pucat dia, rapat saya tutup,” ujarnya.
Kepada wartawan di Padang, Erman merasa berterima kasih atas kinerja Panitia Khusus DPRD Sumatera Barat. Dia beralasan BPBD sudah berhati-hati melaksanakan tender. Ia mengaku keadaan sedang sulit, sementara pengadaan barang harus tetap terlaksana. Harga barang kesehatan, menurut dia, menjadi lebih mahal saat di awal masa pandemi Covid-19. “Kami melakukan sudah sesuai dengan aturan,” ucapnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang Indira Suryani mengatakan korupsi tidak hanya terjadi dalam proyek pengadaan cairan pembersih tangan. Ia mengatakan seharusnya polisi juga menelisik pengadaan masker, sepatu, dan disinfektan senilai Rp 168 miliar dari anggaran BPBD Sumatera Barat. “Itu sebabnya kami mengkritik polisi karena kasus ini dihentikan.”
Kordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menduga penghentian kasus ini berkaitan dengan penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Anggaran Penanganan Pandemi Covid-19. Pasal itu menyebutkan “...merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.”
Pasal ini, menurut Boyamin, membuat penyelewengan dana pandemi Covid-19 tidak bisa dipidanakan. MAKI pernah menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi pada April lalu, tapi tak dikabulkan. “Harusnya kasus korupsi di Sumatera Barat tetap berlanjut ke pengadilan dan diputuskan di sana,” katanya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sumatera Barat Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu tak menjawab pertanyaan soal penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dalam perkara korupsi penanganan pandemi Covid-19 ini.
Ia mengatakan penghentian kasus dugaan korupsi pengadaan hand sanitizer ini didasari kajian penyelidik dan arahan Markas Besar Kepolisian RI. “Kasus ini bukan merupakan tindak pidana karena unsur kerugian keuangan negara tidak terpenuhi. Kemudian juga ada arahan Bareskrim (Badan Reserse Kriminal Polri),” ujarnya.
(ila/rdk/wan/red)