Oleh: Desmond J Mahesa
#Wakil Ketua Komisi III DPR RI
SEPERTI halnya rumah tangga, sebuah negarapun membutuhkan uang untuk menjalankan roda pemerintahannya. Makanya negara memiliki APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) sehingga tergambar dari mana uang didapat dan dibelanjakan untuk apa saja.
Sudah lama diketahui bahwa APBN kita selalu defisit karena antara anggaran untuk belanja dan anggaran yang tersedia selalu tidak sama. Besar pasak daripada tiang, begitu kata peribahasa.
Untuk tahun 2021 ini pemerintah menetapkan rasio defisit APBN 2021 sebesar 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 1.006,37 triliun nilainya.
Angka defisit ini cukup melebar karena jumlah anggaran untuk belanja negara tahun ini masih cukup besar, sementara di sisi lain kondisi penerimaan negara masih begitu begitu saja bahkan cenderung menurun jumlahnya.
Kekurangan uang belanja (alias defisit) itu akhirnya harus ditutup dengan utang khususnya utang dari mancanegara. Jumlah utang Indonesia kini makin meningkat setiap tahunnya. Pada Agustus tahun lalu saja total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp 5.594,93 triliun.
Posisi rasio utang tersebut secara keseluruhan sudah mencapai 34,53 persen dari PDB. Makin banyaknya utang dengan sendirinya akan sangat beresiko bagi kesehatan keuangan negara. Selain semakin susah juga untuk mencari pihak yang mau memberikan utangan baru kepada Indonesia.
Mungkin karena sulitnya menambah pendapatan negara dari sektor pajak dan makin sulitnya mencari utangan ke mancanegara, pada akhirnya Pemerintah memutar otak untuk mendapatkan alternatif pendapatan dari jalur yang tidak biasa.
Sayangnya kebijakan alternatif itu terkesan untuk melindungi para bandit keuangan yang selama ini telah merugikan negara. Kalapnya pemerintah karena tidak mampu mendapatkan sumber pendapatan negara dari jalur normal pada akhirnya melegalkan kebijakan yang tidak elok untuk dilakukannya.
Kebijakan macam apakah yang terindikasi melindungi para bandit keuangan yang selama ini dinilai telah merugikan negara?, Tidak adakah kebijakan lain yang lebih elegan yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan pemasukan bagi negara?
Melindungi Para Bandit
Dalam kesempatan acara sosialisasi program pengampunan pajak atau tax amnesty, di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Senin (1/8/2016) silam, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa uang yang dimiliki oleh orang Indonesia di mancanegara itu besar sekali jumlahnya.
"Banyak sekali uang milik orang Indonesia di luar sana. Ada data di kantong saya, di Kemenkeu di situ dihitung ada Rp 11.000 triliun yang disimpan di manca negara. Di kantong saya beda lagi datanya, lebih banyak. Karena sumbernya berbeda," ujarnya seperti dikutip media.
Dia mengatakan, pemerintah akan membawa pulang kembali uang-uang itu lewat program tax amnesty yang digagasnya. Sehingga bisa membantu untuk membangun ekonomi Indonesia. Sinyalemen adanya banyak uang milik orang Indonesia yang ada di mancanegara itu memang telah mendorong pemerintah untuk bisa mendapatkannya selain uang uang di dalam negeri yang dimiliki oleh para pengemplang pajak,dana-dana yang bersumber dari bisnis ilegal yang dijalankan di Indonesia atau di mancanegara.
Kekurangan uang belanja negara ditambah adanya potensi pendapatan dari sumber sumber dana sebagaimana disebutkan diatas telah mengilhami pemerintah untuk menempuh kebijakan tax amnesty yaitu pengampunan pajak yang dilegalkan berlakunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Adanya kebijakan tax amnesty tersebut menurut Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, sebagai kebijakan yang melegalisasi kejahatan keuangan terutama jika melihat dari sumbernya. Jika melihat sumber dana tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara melakukan legalisasi kejahatan serius yang dilakukan oleh para koruptor, penjahat, kriminal, dan sejenisnya.
Pemberian tax amnesty kepada mereka akan membawa konsekuensi masuknya uang ilegal ke dalam institusi negara. “Hal ini juga berarti bahwa negara membuka peluang lebih luas lagi bagi praktik kejahatan yang sama di masa yang akan datang,” paparnya seperti dikutip media.
Tax amesty, sebuah proyek yang ditengarai sebagai praktek pencucian uang oleh negara dan legalisasi kejahatan pajak dan kejahatan keuangan transnasional atau lintas negara yang kemudian dinilai gagal dalam pelaksanannya. Jadi mencari sumber sumber pendapatan melalui tax amnesty yang dinilai sarat nuasa untuk melindungi bandit keuangan itupun ternyata gagal juga memenuhi target pendapatan yang di canangkannya.
Ternyata mencari dana dengan cara cara “haram” saja masih sulit untuk mencapai target yang diinginkannya. Dalam kaitan ini memang sungguh ironis dimana Pemerintah yang semestinya melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pengemplang pajak yang tidak memenuhi kewajibannya. Tapi yang terjadi malah memberi pengampunan kepada para bandit yang mbalelo tidak patuh pada kewajibannya.
Kasihan kepada warga negara yang sudah lama patuh membayar pajak setiap tahunnya. Sehingga ini akan memunculkan kerusakan moral karena mereka yang patuh bisa saja kemudian menjadi tidak patuh karena menunggu momen adanya pengampunan pajak berikutnya.
Anehnya ketidakberhasilan program tax amnesty gelombang pertama kabarnya akan dilanjutkan untuk tahap kedua. Adanya rencana program tax amnesty jilid II malah bisa menciptakan moral hazard dari sisi kepatuhan jangka panjang wajib pajak yang selama ini konsisten mematuhi kewajibannya.
Sebab, jika tax amnesty jilid II kembali ada maka justru bisa menjadi sinyal program serupa yang akan berulang di tahap berikutnya. Sinyal itu bisa mendorong wajib menunda kepatuhan lantaran berpikir akan ada program tax amnesty lanjutan untuk mengampuni `dosa` pajak mereka.
Selain melalui program tax amnesty jilid I akhirnya pemerintah juga menempuh kebijakan lainnya untuk mengoptimalkan pemasukan uang bagi negara. Salah satunya adalah dengan berupaya mengembalikan uang warga negara Indonesia dimancanegara melalui pengesahan Undang Undang tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (UU MLA).
Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia (diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun 1999), China (diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006), dan juga Korea. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia.
MLA antar negara-negara ASEAN ini diwujudkan melalui UU No. 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana). Terakhir telah disahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss dimana Undang Undang ini disahkan tanggal 5 Agustus 2020 yang lalu.
Objek MLA, antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA.
Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta. Perjanjian ditandatangani menganut prinsip retroaktif atau memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan eksekusinya.
Meskipun telah cukup banyak UU MLA di tandatangani oleh Pemerintah Indonesia namun pelaksanaan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan publik pada umumnya. Akhirnya uang yang dibilang ada 11 triliun di mancanegara itu tetap anteng-anteng saja tinggal disana.
Sejauh ini penegakan hukum berbasis pemulihan aset Perjanjian MLA antara pemerintah Indonesia dengan negara lain dinilai belum berjalan baik sehingga belum terlihat maksimal hasilnya. Salah satu sebabnya penegakan hukum tidak diikuti penguatan penegakan hukum yang memprioritaskan pemulihan aset (asset recovery).
Penegakan hukum yang mempriotaskan pemulihan aset oleh Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pihak yang mewakili Indonesia masih lemah alias terkesan tidak berdaya. Pada hal penegakan hukum yang tidak meletakkan prioritasnya pada asset recovery dalam konteks pemberantasan korupsi, pasti tidak akan pernah menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Dalam kaitan ini kualitas dan kuantitas penegakan hukum berbasis pemulihan aset bisa dilihat dari penanganan perkara. Berdasarkan data yang dihimpun oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) sebagaimana dikutip Kompas.com - 15/02/2019, tentang tren penanganan korupsi tahun 2018 menunjukkan bahwa 454 kasus korupsi yang ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, hanya sedikit yang dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau gratifikasi, padahal itula salah satunya cara.
Dari 454 kasus tersebut , hanya 7 kasus dijerat kejahatan TPPU, itu pun 1 Kejaksaan, 6 KPK, dan Kepolisian tidak melakukannya. Kalau kondisi penegakan hukum di dalam negeri saja seperti ini apalagi mau mengejar aset para bandit di mancanegara yang lebih rumit jalannya.
Menurut ICW, ada tiga pekerjaan rumah yang perlu ditingkatkan Indonesia agar tindak lanjut perjanjian MLA dengan Swiss bisa maksimal jalannya. Pertama, setelah UU diratifikasi, ada PR untuk membuat MLA menjadi susah ditolak oleh negara yang menjadi targetnya. Agar tidak bisa ditolak maka data-datanya harus sudah baik dan lengkap, kalau lemah maka negara lain tidak akan bisa maksimal membantunya.
Kedua, jajaran penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus meningkatkan kualitas dan kuantitas jaringan kerja sama internasional dengan lembaga penegak hukum negara lainnya. Sebab, Indonesia terkadang terkendala dengan urusan birokrasi yang memakan waktu lama. Kekuatan jaringan bisa mempercepat penanganan perkara.
Ketiga, pentingnya kemampuan negosiasi karena seringkali, aparat penegak hukum Indonesia harus berhadapan dengan negara tax haven. Regulasi negara tersebut sangat ketat dalam aturan kerahasiaan keuangan dan volume transaksi sehingga seringkali negara ini enggan mengembalikan uang ke negara korbannya.
Saat ini meskipun UU terkait MLA sudah ditandatangani dengan berbagai negara termasuk yang terakhir dengan pemeritah Swiss namun pelaksanaannya terkesan ogah ogahan sehingga tidak terlihat hasilnya. Keengganan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang tersebut mengesankan pemerintah memang melindungi pelaku kejahatan keuangan yang memarkir uangnya di mancanegara, apakah memang demikian kenyataannya?.
Program tax amnesty telah dinilai gagal dalam pelaksanaannya, menyusul pengesahan perjanjian MLA dengan berbagai negara yang juga belum terlihat hasilnya. Sehingga uang warga negara yang ada dimancanegara sebesar 11 triliun masih belum bisa diboyong ke Indonesia.
Pada akhirnya pemerinta mencari jalan lain untuk menambah pemasukan bagi keuangan negara yaitu melalui perburuan harta dan uang milik pengemplang BLBI yang luar biasa besarnya. Dalam kaitan ini Pemerintah terkesan mengesampingkan perjuangan untuk menyeret mereka secara pidana namun lebih memprioritaskan aspek perdatanya. Yang penting uangnya bisa kembali ke negara begitu kira kira pertimbangannya.
Usaha memperdatakan kasus kejahatan keuangan BLBI yang merupakan skandal korupsi terbesar di Republik Indonesia dilakukan oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kebijakan Pemerintah yang terkesan mengesampingkan aspek pidana dan lebih memburu sisi perdatanya memunculkan kesan bahwa pemerintah memang melindungi para para bandit keuangan itu dari ancaman penjara. Yang penting uangnya kembali dan mereka bebas dari perkara yang menjeratnya.
Ibarat maling maka ketika barang yang dicuri dikembalikan maka status malingnya dianggap hilang dan tidak lagi menjadi perkara. Betapa tidak adilnya sementara maling ayam saja kalau ketangkep bisa digebuki meski ayamnya dikembalikan sementara maling triliunan bisa bebas dari jerat pidana hanya karena yang bersangkutan telah mengembalikan uang yang dicurinya. Kalau memang demikian halnya maka tidak ada efek jera dan mereka bisa mengulangi lagi perbuatannya.
Kini masyarakat masih menunggu apakah satgas pemburu harta dan uang BLBI yang dibentuk presiden tersebut akan berhasil mencapai tujuannya atau mungkin nasibnya akan serupa dengan program tax amnesty dan perjanjian MLA?
Alternatif Pemasukan Negara
Meskipun jalan pintas untuk mencari pemasukan uang ke negara melalui cara cara “haram” telah dilakukan namun hasilnya ternyata belum optimal juga. Yang terjadi dampak negatif justru mungkin lebih besar daripada dampak positifnya.
Getolnya pemerintah mencari uang menambah pendapatan negara, bahkan sampai cara cara “haram” dilakukannya meskipun belum maksimal hasilnya, memunculkanpertanyaan kok bisa seperti ini kondisinya? Pada hal selama ini Indonesia dikenal sebagai negara kaya raya karena melimpah sumberdaya alamnya. Tetapi mengapa kekayaan yang melimpah itu seperti tidak mempunyai efek positif bagi pendapatan negara?.
Dengan mengkaji struktur APBN akhirnya kita akhirnya mengetahui , bahwa kekayaan alam negeri ini yang seyogyanya menjadi sumber utama pendapatan negara telah habis dikuras oleh negara-negara penjajah dengan bantuan para kompradornya. Migas, tambang emas, batubara, hutan, hasil laut dan sebagainya mereka jarah setiap harinya.
Dengan alasan efisiensi, pengelolaannya telah diserahkan bulat-bulat ke mancanegara. Pemiliknya yaitu rakyat dan negara, bernama Indonesia ternyata hanya mendapatkan pajak dan bagi hasil yang tidak seberapa jumlahnya. Akibatnya, negara yang konon didirikan demi menjamin kelangsungan hidup rakyatnya, nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa. Rakyat yang seharusnya menikmati kehidupan yang baik, makmur dan sejahtera, terpaksa harus hidup menderita.
Rasanya tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang maju dan sejahtera karena menyerahkan kekayaan alamnya ke mancanegara. Jika kita lihat negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, Swis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, dan sebagainya, mereka tidak mau menyerahkan kekayaan alamnya.
Dalam postur APBN 2021, pendapatan negara ditargetkan Rp1.743,6 triliun, belanja negara Rp2.750 triiliun, defisit 1.006,4 triliun atau 5,7%.Untuk mendanai kegiatan pembangunan di tahun 2021, akan didukung sumber penerimaan mandiri dari pendapatan negara sebesar Rp 1.776,4 triliun, yang utamanya dari penerimaan perpajakan Rp 1.481,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 293,5 triliun jumlahnya.
Dari sini kita bisa melihat betapa kecilnya sumber pendapatan yang berasal dari kekayaan alam alias SDA. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa pendapatan dari sektor SDA ini begitu kecilnya pada hal Indonesia selama ini dikenal sebagai negara kaya raya karena sumberdaya alamnya?.
Pertanyaan ini mengingatkan kita pada pernyataan Abraham Samad, mantan Ketua KPK. Pada saat menjabat sebagai Ketua KPK, Abraham Samad pernah menyampaikan besarnya potensi pendapatannegara Indonesia. Sebagaimana diberitakan kompas.com , 7/9/2013,saat memberikan materi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Hotel Ecopark, Ancol, Jakarta, Samad menyebutkan bahwa banyak kebijakan impor yang tak jelas arahnya.
Selain itu, Samad juga menyoroti lemahnya regulasi untuk melindungi sumber daya energi Indonesia. Ia mengatakan, dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya dikuasai oleh kepemilikan mancanegara.
Kondisi tersebut semakin parah karena banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Dalam perhitungan KPK, potensi pendapatan negara sebesar Rp 7.200 triliun hilang setiap tahunnya. Bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun nilainya. "Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta," ujarnya.
Namun, pendapatan sebesar itu tergerus karena pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakannya. Alhasil pendapatan yang besar itu sejauh ini hanya merupakan utopia belaka karena sumberdaya alam bukan kita sebagai pemilik yang mengelolanya.
Harusnya pemerintah dan ekonom Indonesia berjuang agar Indonesia bisa mandiri sesuai dengan prinsip trisakti dan nawacita. Tapi seperti kita ketahui bersama, trisaksi dan nawa cita masih menjadi nawaduka.
Pada akhirnya pemerintah Indonesia tetap mengandalkan pendapatan negara dari sektor pajak sebagai sumber terbesarnya. Ditambah dengan jalan ngutang yang kabarnya sudah mulai sulit didapatkanya. Sementara kebijakan kebijakan yang bersifat terobosan jangka pendek seperti tax amnesty, perjanjian MLA dan pembentukan satgas pemburu harta BLBI yang kurang memuaskan hasilnya.
Sudah “bekerjasama” dengan para bandit ternyata belum maksimal juga pemasukan untuk anggaran negara. Sebagai negara yang berdaulat mengapa kita tidak mengoptimalkan pendapatan dari potensi sumberdaya alam yang melimpah jumlahnya?
#H. Desmond Junaidi Mahesa, SH. MH. (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965; umur 55 tahun) adalah seorang aktivis yang kemudian menjadi politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Ia menjabat wakil ketua komisi III DPR dan menjadi wakil dari daerah pemilihan (dapil) Banten III dengan mengantongi 61.275 suara dalam Pemilu Legislatif 2014. Sebelumnya, ia duduk di kursi DPR-RI Komisi III wakil dari daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Timur dengan mengantongi 13.439 suara suara dalam Pemilu Legislatif 2009.