Cerpen karya: Lisfi/KBM
“Bagaimana, Pak Raihan dan Bu Andini, desain undangannya sudah cocok belum?,” tanyaku pada klien, calon pengantin yang sedang memakai EO tempatku bekerja. Tugasku di sini membantu mereka menyelenggarakan pesta sesuai keinginan klien.
“Sudah sesuai dengan yang kami inginkan, sudah oke semua kok,” jawab Bu Andini yang kutahu menikah dengan salah satu direktur utama sebuah perusahaan.
Aku tersenyum lega, akhirnya rampung juga proses ini tinggal mengorganisir acara secara keseluruhan dalam berbagai aspek kebutuhan pesta nantinya agar tidak mengecewakan.
“Nanti juga ada teman saya yang akan sharing dengan anda, Mbak Hanum. Teman saya ini ingin membuat pesta untuk resepsi pernikahannya, selama ini mereka baru menikah siri,” kata Pak Raihan.
“Tentu saja dengan senang hati,” jawabku.
“Nah, itu teman saya sama istri yang baru dinikahi,” tunjuk Pak Raihan ke arah belakangku, sontak aku menoleh.
Mataku melebar melihat sosok yang tengah berjalan ke arahku sekarang.
“Mas Tito,” gumamku.
Tatapan kami bertemu, tubuhnya menegang tidak kalah terkejutnya denganku. Yang lebih tidak kusangka perempuan yang kuketahui sekretarisnya sedang bergelayut manja di lengan Mas Tito.
Ya ... Mas Tito adalah suamiku yang sudah 3 hari tidak pulang dengan alasan ada pekerjaan di luar kota. Sungguh selama ini aku tidak mengenal Pak Raihan adalah teman suamiku, jadi selama ini aku telah dibodohi oleh Mas Tito dan sekretarisnya. Tega sekali mereka. Melihat keberadaanku senyum Afikah luntur, berganti dengan wajah tegang, mereka tetap melangkah mendekat.
“Oh jadi ini kelakuanmu di luar, Mas?!” Aku langsung berdiri menyambut mereka.
Afikah menggenggam tangan Mas Tito di depanku, meminta perlindungan atau menunjukkan kepemilikan, entahlah. Hati ini hancur remuk redam melihat pengkhianatan suamiku, tidak kusangka ia tega melakukan hal ini dengan sekretaris yang sudah kukenal sebelumnya.
“Tunggu Hanum, dengarkan penjelasanku,” tuturnya berusaha menggenggam tanganku tapi langsung kutepis.
Sakitnya hati ini, membuat air mata tanpa permisi berduyun-duyun membasahi pipiku. Wajar bukan? Ketika keadaan mengharuskan kita menangis, menangislah tidak perlu pura-pura tidak menunjukkan kesedihan karena tangisan bukan berarti kelemahan.
“Tiga tahun menikah kamu tidak bisa memberikanku keturunan, Hanum. Tapi aku tetap mencintaimu, meski kini ada Afikah di sisiku. Aku tidak akan berkilah, aku dan Afikah telah menikah siri beberapa waktu lalu,” ucapnya tanpa merasa bersalah.
Denyut nyeri di hati semakin terasa ketika dengan entengnya ia mengakui semuanya padaku, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Aku menghapus air mata dengan kasar, sudah cukup air mata ini menerobos keluar dari pelupuk mata.
Aku berdecih mendengar ungkapan cinta yang disertai pengkhianatan.
“Cinta kamu bilang, Mas? Cinta apa yang kau maksud? Jika cinta tidak mungkin berkhianat, tidak mungkin menyakiti orang yang dicintai, kamu tidak akan berpaling ketika belum diberikan keturunan!” hardikku dengan tersenyum getir.
“Dan kamu wanita j****g, tidak adakah lelaki perjaka yang mau untuk menikahimu? Sehingga kamu mau saja menjadi istri kedua. Afikah ... nama yang bagus tapi berhati busuk! Kecantikanmu kau pergunakan untuk menjerat suamiku, dasar murahan!” hardikku lagi menatap nyalang Afikah.
“Jadi kalian saling mengenal?,” ucap Pak Raihan menatap kami dengan kebingungan.
“Tahu kah anda bahwa Tito Prasetyo sudah beristri, Pak Raihan dan Bu Andini?” tanyaku kemudian.
Mereka menggeleng.
“Kami baru bertemu seminggu lalu, dulu kami teman kuliah dan tidak berkomunikasi sama sekali, maaf Mbak Hanum,” kata Pak Raihan yang malah merasa bersalah.
Bu Andini maju beberapa langkah, berdiri bersisian denganku.
“Kami berada di pihakmu, Mbak Hanum,” katanya, mungkin kasihan denganku karena di sini aku lah pihak yang menjadi korban pengkhianatan.
Semenyedihkan itu aku di mata Bu Andini.
“Pulanglah Hanum, kita bicarakan di rumah,” kata Mas Tito.
“Kita akan pulang tapi tidak dengan perempuan gatal ini!” ucapku dengan menunjuk wajah Afikah.
“Aku bukan perempuan gatal, kami saling mencintai. Kita bisa kok Mbak berbagi suami, aku yakin Mas Tito akan berlaku adil pada kita?,” kata Afikah dengan percaya diri, kini ia berani menatapku dan tetap mengapit tangan Mas Tito.
Mbak ... Mas ... panggilannya pun berubah, bukan Pak dan Bu lagi seperti biasanya.
“Iya, Hanum, hari ini kamu, besok Afikah, begitu seterusnya ... aku akan berlaku adil pada kedua istriku. Kamu bisa pegang janjiku!”
Aku tertawa sumbang mendengar pembelaan Mas Tito.
“Kamu mau menjalankan poligami? Iya?” tanyaku.
“Iya, Hanum.”
“Bukan seperti ini caranya jika kamu ingin melakukan poligami, Mas! Tidak semudah itu dan tidak dengan menikah diam-diam seperti apa yang kau lakukan!” ucapku dengan penuh penekanan.
“Sudahlah, Mbak, mau tidak mau, suka tidak suka sekarang kita berstatus istri Mas Tito.”
Plak!
Aku sudah tidak bisa mengendalikan emosi yang sudah sampai ubun-ubun.
“Status kita tentu berbeda, aku istri sah dan kamu hanya pe-la-kor yang tidak memiliki hati dan harga diri,” aku mengeja dan memberikan penekanan ketika menyebutnya pelakor agar ia sadar posisinya hanya perebut suami orang.
Ia mengelus pipinya, mungkin terasa panas.
“Mas lihat istri pertamamu telah menamparku,” katanya dengan wajah meringis menahan sakit dengan suara di buat manja.
Rasakan! Enak saja ia menyamakan status denganku. Cih ....!
“Hanum! Hentikan! Jangan bertindak kasar dengan istriku, benar kata Afikah, kamu dan dia berstatus sama, sama-sama istriku,” kata Mas Tito.
“Aku bahkan bisa melakukan lebih dari ini, Mas! Perempuan ja***g ini pantas diperlakukan kasar bukan dengan kelembutan,” kataku menatap tajam Afikah.
“Sudah kubilang jangan sebut aku perempuan murahan, aku dan Mas Tito saling mencintai, apa salahnya jika kami menikah dari pada berbuat zina? Lagian kamu saja yang tidak becus mengurus suami dan sibuk dengan pekerjaan sehingga suami tidak terurus!”
Afikah berkata seperti itu dengan maju selangkah melewati tubuh Mas Tito.
Berani rupanya dia.
“Afikah sudah, jangan memancing emosi Hanum,” ucap Mas Tito melarang.
Afikah bergeming, ia tetap memajukan tubuhnya. Air mata yang tadi menetes sudah kering, berganti dengan kekuatan hati yang kumiliki ketika menghadapi perempuan tak tahu malu yang sedang menantangku.
“Jangan mentang-mentang Mbak Hanum istri pertama Mas Tito, jadi bisa melakukan seenaknya padaku. Sudah kubilang sejak awal bahwa kita memiliki status yang sama sekarang. Aku bukan hanya sekretaris tapi istri Mas Tito sekarang,” ucapnya.
Ia maju selangkah lagi, lalu mendorong pundakku hingga terdorong ke belakang.
Aku menyeringai jahat.
“Sudah Afikah, Hanum adalah urusanku.” Larang Mas Tito.
Afikah kini menatapku nyalang, ia benar-benar tidak terima di sebut perempuan murahan, perempuan gatal, pelakor dan tidak memiliki harga diri. Sungguh tidak menyangka perempuan perebut suami orang sangat berani dan rasanya urat malu Afikah sudah putus. Tetap merasa benar, tidak merasakan rasa bersalah sedikit pun, sangat tampak dari tatapan matanya yang menggambarkan keberanian.
Tangan Afikah sudah melayang ke udara, sebelum mendarat di pipi mulusku, tangan Afikah kutahan dan langsung menggenggam pergelangan tangannya kuat, memelintir dan membalikkan tubuhnya lalu aku menekuk lututnya hingga ia menunduk dan erangan sakit pun terdengar.
“Hanum, aku mohon lepaskan Afikah.” Pinta Mas Tito dengan wajah khawatir, ia sudah paham dengan keahlianku.
Aku menekan pergelangan tangannya lagi dan memelintir lengan tangannya, biarkan saja terkilir. Rasa sakit terkilir melebihi rasa sakit hati yang kurasakan sekarang.
Belum tahu dia, kalau aku memiliki keahlian bela diri, kungfu Jepang shorinji kempo yang bisa mematahkan tulang orang lain dalam satu hentakan.
“Aww! Sa-kit,” ucapnya lirih merasakan sakit ketika aku menekan pergelangan tangan yang berada di belakang tubuhnya.
“Hanum, tolong kali ini lepaskan Afikah!,” pinta Mas Tito dengan penekanan.
Aku mulai merenggangkan cengkeraman di pergelangan tangan, menarik tengkuk bajunya dan membalikkan tubuh Afikah sekali hentakan hingga kami berhadapan.
Plak!
Plak!
Dua tamparan kulayangkan lagi.
Bugh!
Tubuh Afikah menubruk meja setelah kudorong sangat kuat.
Rasakan!
Afikah menangis, rasanya pasti sakit. Mas Tito langsung memeluknya di depanku, menenangkannya dengan ucapan lembut.
Hatiku perih melihatnya, tapi air mata sudah tidak menetes seperti tadi saat pertama kali mengetahui pengkhianatan ini.
“Tunggu aku di rumah!” tuturnya yang menopang tubuh Afikah.
Tidak terima dengan perhatian Mas Tito terhadap Afikah di depan mata. Kuambil jus yang berada tidak jauh dariku di atas meja.
Byur!
Aku menyiramkan jus itu ke arah suamiku dan istri sirinya, cairan jus alpukat menyiram wajah dan baju mereka dengan rata. Cairan jus alpukat mengenai rambut lalu turun ke wajah mereka, Afikah boleh menang sekarang menjadi istri Mas Tito dan juga mendapatkan perhatian serta cinta tapi ia tidak akan bisa menyakiti fisikku terlebih hatiku nantinya.
Aku kuat! Bukan perempuan lemah yang hanya menerima begitu saja.
“Terimakasih untuk Pak Raihan dan Bu Andini, saya akan menginformasikan semuanya besok, saya pastikan masalah ini tidak berpengaruh dengan acara pernikahan kalian, saya akan profesional,” kataku yang di jawab dengan anggukan, sepasang calon pengantin di depanku terperangah dengan apa yang kulakukan.
“Aku tunggu kamu, di rumah, Mas!” ucapku lagi penuh ketegasan dan melirik sinis suamiku dan istri sirinya, lalu meninggalkan mereka lebih dulu.
Aku tidak akan mundur begitu saja, pernikahan kita akan kujadikan neraka untukmu, kataku dalam hati melangkah semakin jauh dengan kesedihan, amarah dan rasa benci yang menyelimuti hati.
Saat di mobil aku menghubungi sebuah rumah sakit, melakukan appointment pada salah satu Dokter kandungan subspesialis onkologi, memastikan tidak ada penyakit yang berhubungan dengan organ kewanitaan yang bisa saja menghambatku memiliki keturunan. Tapi aku memiliki keyakinan besar, aku sehat ....
Lihatlah apa yang akan kulakukan! Siapa yang akan tersakiti nantinya, aku atau kamu Mas? Geramku mencengkeram stir mobil membayangkan wajah istri siri dan Mas Tito dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.
"Belum tahu apa kalian berurusan sama Mbak Jago?"
###