Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlahpemilih milenial mencapai 70–80 juta jiwa dari 193 juta jumlah total pemilih, artinya suara mereka mencapai 35–40 persen. Dengan angka tersebut, suara milenial memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu dan menentukan siapa pemimpin pada masa mendatang.
Alih-alih dicap apatis karena tak menaruh minat pada proses politik di Indonesia, partisipasi milenial justru mengalami kenaikan. Meski begitu tak semua milenial memiliki minat yang sama.
Hal ini menimbulkan "ancaman" tersendiri, sebab dikhawatirkan memengaruhi penyelenggaraan Pemilu 2019. Di sisi lain, mengarahkan milenial agar tidak golput bukan perkara mudah. Butuh pendekatan kekinian yang bisa membuat mereka tertarik berpartisipasi dalam pemilihan umum, ini menjadi tantangan tersendiri bagi penggerak demokrasi negeri ini.
Menjawab tantangan tersebut, Dompet Dhuafa (DD) Pendidikan menghelat NGOPI, Ngobrolin Politik Indonesia, yang diadakan di Warunk Upnormal Tebet, Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Mengusung tema “Milenial: Golput Nggak Ya?”, acara ini menghadirkan tiga profesional yang kompeten dan aktif menggerakkan energi pemuda. Mereka adalah Andi Angger Sutawijaya, Direktur Turun Tangan, Alghifari Aqsa, Pegiat Saya Golput dan Aza El Munadiyan, Waketum PP KAMMI. Ketiga pakar secara gamblang menjelaskan kenapa milenial memilih untuk golput.
Diskusi pun berlangsung seru. Menurut Angger, milenial cederung apatis dan malas untuk berinteraksi dengan politik praktis sebab tidak ada hal yang berkorelasi dengan mereka.
"Politik bukan melulu tentang election, politik itu lebih dari bagaimana kita berusaha bersama-sama membangun bangsa dengan cara yang konkrit melalui aktivitas nyata,” ujar Angger.
Oleh karena itu Angger aktif memaksimalkan energi milenial agar bisa terus berkontribusi bagi Indonesia. Senada dengan Angger, Aza pun mengungkapkan fakta mengapa angka partisipasi politik milenial masih tergolong rendah.
“Sistem kita tidak menghadirkan pemimpin yang mewakili wajah milenial, hingga saat ini kita tidak mendapatkan sesuatu dari sistem yang ada”, ungkap Aza.
Aza pun menyampaikan, gagasannya memecahkan permasalahan tersebut. “Tidak memilih merupakan pilihan ideologis, bukan karena tidak peduli. Saatnya membuat sesuatu yang lebih baik. Ketika negara tidak berhasil memajukan kepentingan rakyat, maka kita harus berjuang untuk membuat gerakan pasca pilpres demi kemajuan rakyat,” paparnya.
Sebagai penggerak komunitas golput, Alghifari menyampaikan alasan mengapa ia dan rekan-rekan se-komunitas-nya memutuskan untuk tidak memilih.
“Ekspresi politik harus dihormati dan dilindungi oleh perundang-undangan. Makanya golput pun dilindungi oleh konstitusi negara kita. Adanya golput sehat untuk demokrasi di Indonesia. Golput tidak berarti apatis. Ada banyak varian golput, ada yang karena tidak suka dengan sistemnya, ada juga yang tidak suka dengan calon presiden atau wapresnya,” ungkapnya.
Sebagai pamungkas, Alghifari pun menyampaikan gagasannya terhadap sistem politik negeri ini.
“Sudah saatnya negara memfasilitasi orang-orang muda untuk bisa berpolitik, dengan membuat sistem politik partisipatif, sehingga milenial bisa berpartisipasi aktif tanpa paksaan,” pungkasnya.
Diskusi di NGOPI diharapkan mampu memantik kepedulian milenial terhadap masa depan bangsa ini, khususnya melalui partisipasi aktif dalam Pemilu sebagai proses demokrasi sehingga pemilu dapat terdiseminasi secara luas baik melalui para peserta maupun melalui kanal media. Semoga langkah kecil ini mampu memicu kemanfaatan yang lebih besar.
(rel)